13 April 2025 11:40
Opini dan Kolom Menulis

“ELEGI GABAH”

“ELEGI GABAH”

OLRH : ENTANG SASTRAATMADJA

Elegi adalah syair atau nyanyian yang mengandung ungkapan dukacita dan ratapan, terutama untuk meratapi orang yang telah meninggal. Kata elegi berasal dari kata Yunani elegos yang berarti “nyanyian duka”. Elegi merupakan salah satu jenis puisi inkonvensional yang biasanya menyampaikan ekspresi duka cita, keluh kesah, rasa rindu, atau rasa sedih.

Dalam kaitannya dengan tulisan kali ini, yakni Elegi Gabah, sebetulnya lebih mengarah pada gambaran umum terkait dengan gabah petani. Sebagai sumber penghasilan utama para petani padi, gabah petani, khususnya gabah kering panen, sering menimbulkan rasa duka dalam kehidupan petani. Petani bakal kecewa, ketika musim panen, harga gabah di petani anjlok.

Gambaran seperti ini, selalu berulang setiap musim panen. Petani padi sendiri, sering mengeluhkan ketidak-hadiran Negara/Pemerintah dalam kesulitan petani. Padahal, kalau Pemerintah hadir dan mencarikan solusi cerdas, boleh jadi turunnya harga gabah saat panen berlangsung, tidak akan terus terjadi. Sayang, hal itu hampur tidak pernah terjadi.

Sebagian besar petani padi di negeri ini, dalam melaksanakan usahatani padinya, akan berujung di gabah. Jarang sekali petani yang mampu mengolahnya terlebih dahulu menjadi beras. Bukan saja hal ini disebabkan oleh keterbatasan teknologi, namun juga para petani padi, sudah banyak yang menijonkan hasil panennya kepada bandar atau tengkulak.

Akibatnya, saat panen tiba, tidak sedikit petani yang hanya menghasilkan jerami. Gabahnya sendiri langsung diangkut oleh para bandar dan tengkulak. Seorang sahabat menyebut, mereka itulah yang layak dikatakan selaku “petani jerami”. Sebab, saat panen, yang mereka peroleh hanyalah setumpuk jerami. Betul-betul sangat mengenaskan.

Adanya kemauan politik Pemerintahan Prabowo/Gibran untuk meraih swasembada pangan, tentu patut diberi acungan jempol. Kita usul agar swasembada pangan yang dimaksud, tentu bukan hanya menggenjot produksi pangan setinggi-tingginya, namun juga bakal diikuti dengan semakin membaiknya tingkat kesejahteraan petaninya.

Swasembada pangan yang mensejahterakan para petani inilah, langkah nyata Kabinet Merah Putih dalam mewujudkan cira-cita mulianya. Namun begitu, patut dicatat, upaya menggenjot produksi pangan, rupanya tidak serta merta memperbaiki nasib dan kesejahteraan petaninya. Produksi memang meningkat, tapi kesejahteraan petaninya jalan dirempat.
Inilah “pe-er” berat bagi Presiden Prabowo dalam semangatnya meraih swasembada pangan. Memang, secara jujur kita akui, sejak Indonesia merdeka, bangsa ini belum pernah mencapai swasembada pangan. 79 tahun Indonesia Merdeka, kita baru mampu mewujudkan swasembada beras. Itu pun sifatnya “on trend” dan belum berkelanjutan.

Sedangkan swasembada jagung, swasembada kedelai, swasembada daging sapi, swasembada gula pasir, swasembada bawang putih dan lain sebagainya, masih belum dapat dicapai. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kita tetap mengandalkan kepada impor. Impor pangan, sepertinya masih menjadi sebuah kebutuhan, bukan lagi hanya sekedar pelengkap.

Kehendak untuk mencapai swasembada pangan sendiri, telah mengumandang sejak lama. Gaungnya terekam semakin menjadi-jadi di era Pemerintahan Orde Baru. Sayangnya, sedari awal upaya mencapai swasembada pangan ini, tidak dibarengi dengan semangat untuk mensejahterakan petaninya. Soal kesejahteraan petani kalah sexy ketimbang menggenjot produksi.

Hal seperti ini, mestinya tidak boleh terjadi lagi di era kekinian. Swasembada pangan, memang perlu. Tapi, yang tak kalah pentingnya adalah kesejahteraan para petani. Buat apa kita habis-habisan menggenjot produksi, jika nasib dan kehidupan petaninya menderita. Ysng diinginkan adalah produksi meningkat, namun kesejahteraan petani nya pun semakin membaik.

Fenomena seperti ini, hampir tidak jauh berbeda dengan nasib dan kehidupan petani padi. Mereka, sekitar 3 bulan menghabiskan waktunya bercocok-tanam, namun yang mereka hasilkan hanya dalam bentuk gabah kering panen. Padahal, nilai tambah ekonomi yang diperoleh petani bakal lebih tinggi lagi, jika mereka mampu menjualnya dalam bentuk beras.

Kalau pun kia belum mampu melahirkan “petani beras” dan masih tetap berkutat di “petani gabah”, maka upaya menjaga harga gabah supaya tidak anjlok saat panen, tentu perlu diprioritaskan Pemerintah. Selain itu, perlu dikaji ulang, berapa pantasnya Pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), agar petani mendapat keuntungan yang layak selaku bangsa yang merdeka.

Thailand view near Bangkok.

Dipatoknya HPP Gabah Kering Panen sebesar Rp.6500,- per kg, rupanya perlu dikaji ulang. Apakah dengan harga sebesar itu, para petani menikmati harga yang wajar ? Apakah dengan harga sebesar itu, petani memiliki kesempatan untuk menabung guna kepentingan di hari tua ? Atau harga itu, hanya sekedar untuk menyambung nyawa dan kehidupan belaka ?

Kejujuran untuk membela petani, sebetulnya akan terbuka, ketika kita memberi penghormatan terhadap kehidupan petani. Membeli gabah petani saat panen tiba dengan harga yang wajar adalah bentuk keberpihakan nyata atas nasib dan kehidupan petani ke arah yang lebih baik. Masalahnya adalah adakah niat Pemerintah untuk mewujudkannya ?

Elegi Gabah sering terngiang-ngiang dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Petani akan kecewa berat, jika Pemerintah hanya berdiam diri ketika saat panen datang, harga gabah anjlok. Petani pun wajar bertanya, kapan Pemerintah akan hadir di tengah kesulitan mereka ? Sangat menggelikan, kalau pertanyaan itu dijawab dengan kalimat “kapan-kapan” !
Rasa was-was petani seperti ini, kini tidak perlu terjadi lagi. Presiden Prabowo dan Kabinet Merah Putih telah hadir dan berada di tengah kehidupan kaum tani. Ditetapkannya kebijakan “satu harga” gabah sebesar Rp.6500,- menjamin petani tidak akan menjual gabah kering panennya dibawah harga Rp. 6500,-. Pemerintah telah menugaskan Perum Bulog, Pengusaha Penggilingan Padi dan Offtaker lain, untuk membeli gabah petani minimal di harga Rp. 6500,- per kg.

(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *