16 January 2025 15:48
Opini dan Kolom Menulis

“DEBLO”

“DEBLO”

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Deblo adalah makanan khas Jawa Barat yang terbuat dari bahan dasar singkong. Jajanan ini memang tak asing di daerah Jawa Barat terutama Sukabumi. Kata deblo sendiri, memang jarang diucapkan dalam kehidupan keseharian kita. Bahkan di benak generasi milenial, kata deblo jarang mereka dengar dalam dunianya. Padahal istilah deblo merupakan kata yang penuh dengan perilaku kurang terpuji dalam mengarungi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Sebutan “deblo” dalam dunia keproyekan sering dikaitkan dengan kata “ngengkenkeun” (bahasa Sunda). Artinya, dikerjakan oleh orang lain dengan diberi imbalan. Dalam perkembangannya, terutama di dunia keproyekan yang melibatkan pihak ke tiga, deblo menjadi mata pencaharian tambahan bagi pelaksana proyek yang nilainya cukup menjanjikan. Selain itu, bila dibandingkan dengan gaji yang diterima setiap bulan, pekerjaan ngadeblo, jauh lebih tinggi berkali-kali lipat. Ngadeblo pun menjadi pekerjaan tambahan untuk meningkatkan penghasilan mereka.

Akar masalah perdebloan ini, umumnya akan datang dari dua kondisi. Para pengusaha atau pemenang proyek, sepertinya tidak mau belajar dan ingin mudahnya saja. Mereka rela menyisihkan keuntungannya untuk diberikan kepada para pendeblo. Di lain pihak, para pendeblo tampak cukup senang, karena apa yang dilakukannya menambah pendapatan, sehingga kebutuhan keluarganya menjadi semakin baik. Deblo dipersepsikan menjadi berkah kehidupan, walaupun pekerjaan itu sering melahirkan penggugatan dari banyak pihak.

Sebut saja dalam satu proyek di sebuah Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) yang cukup besar nilainya, ada sekitar 1000 kegiatan. Kalau 1 kegiatan yang dideblo oleh staf proyek dihargai Ro. 1 juta rupiah, maka akan terkumpul uang sekitar 1 Milyar rupiah. Bayangkan kalau dalam satu proyek mencapai 2000 jenis kegiatan dan nilai per satu deblonya Rp. 2 juta, maka akan terkumpul uang sekitar Rp. 4 Milyar rupiah. Ini jelas, penghasilan yang cukup menggiurkan, ketimbang gaji per bulannya.

Pekerjaan ngadeblo atau mengadministrasikan sebuah kegiatan keproyekan, mulai dari perencanaan hingga pengawasan, mestinya menjadi tugas fan tanggungjawab pihak ke tiga. Ironisnya, di berbagai daerah, banyak pemenang lelang, yang kurang memahami bagaimana mengadministrasikan proyek yang dimenangkannya itu. Mereka sudah terpola sejak lama, mengadministrasikan kegiatannya lebih baik digarap oleh staf yang ada di SKPD tersebut.

Jujur kita akui, kualitas para pemenang lelang sebuah pekerjaan di daerah, terutama yang sifatnya penunjukan langsung, belum memiliki kemampuan memadai dalam menyusun pengadministrasian sebuah proyek/kegiatan. Hal ini wajar terjadi, karena para pengusaha di daerah, ada juga yang “menjual” lagi pekerjaannya kepada pengusaha lain. Umumnya, kelas pengusaha yang demikian, hanya mengejar fee atau komisi ketimbang harus menggarap sendiri lelang pekerjaan yang dimenangkannya.

Jika tidak menggunakan atau memanfaatkan jasa “pendeblo”, secara administratif mereka tidak akan mampu menyelesaikan soal administrasi proyek yang dimenangkannya. Para pengusaha akan lebih baik menyisihkan dana untuk membayar staf pelaksana proyek yang telah sangat piawai dalam mengadministrasikan sebuah proyek. Langkah ini mereka tempuh agar pelakaanaan proyek atau kegiatan dapat berlangsung dengan baik, tanpa harus diwarnai oleh kesalahan yang fatal.

Dilihat dari sisi pelaksanaan kegiatan keproyekan, proses pendebloan adalah “take” dan “give”. Pengusaha memberi pekerjaan kepada staf pelaksana proyek, di lain pihak staf proyek memperoleh kompensasi atas apa yang dikerjakan nya. Ke dua belah pihak sama-sama diuntungkan dan tidak merasa ada yang dirugikan. Catatan kritisnya adalah apakah dari sisi kehormatan dan tanggungjawab bisa diterima sebagai hal yang wajar ? Atau tidak, dimana perilaku pendebloan merupakan perilaku yang sangat tidak terpuji ?

Pendebloan, khususnya yang terkait dengan pengadministrasian kegiatan keproyekan, mestinya dapat dilakukan dengan baik oleh para pengusaha yang memenangkan lelang pekerjaan tertentu. Akan tetapi, mengingat para pengusaha di daerah, yang lebih banyak hanya bermodalkan bendera perusahaan, maka sumber daya manusia perusahaan, kurang disiapkan dengan baik. Lebih parah lagi perusahaan yang setelah menenangkan lelang, langsung menjualnya lagi ke perusahaan lainnya. Yang penting, mereka mendapatkan fee, masa bodoh dengan kualitas pekerjaannya.

Atas gambaran yang demikian, wajar jika banyak pekerjaan proyek di lapangan, digarap apa adanya. Pelaksana proyek, jarang yang bicara soal kualitas. Pekerjaan yang dijual-belikan, bahkan sudah sampai ke tangan kedua, cenderung berujung dengan kualitas pekerjaan buruk. Sebut saja pembuatan jalan. Yang seharusnya jalan tersebut bisa tahan minimal satu tahun, baru enam bulan saja sudah rusak lagi. Ini lumrah, karena anggaran nya sudah disunat oleh banyak pihak yang terlibat dalam kegiatan dan proses keproyekan itu sendiri.
Fenomena seperti ini, sudah bukan hal yang baru bagi kita. Kualitas proyek yang digarap para pengusaha, umumnya jauh dibawah standar yang diharapkan. Itu sebabnya, langkah dan upaya Pemerintah untuk memprofesionalkan para pengusaha, mutlak ditempuh sesegera mungkin. Kita ingin agar para pengusaha di daerah mampu memiliki keakhlian yang lebih baik dan tidak hanya sekedar mendapat pekerjaan dan penghasilan belaka. Pengusaha wajib hukumnya untuk berkualitas dan profesional.

Di lain pihak, aparat Pemerintah sebagai “pemilik” kegiatan sudah saat nya bersikap tegas dan tidak melayani apa yang hanya diinginkan oleh para pengusaha. Pemerintah perlu menyiapkan agar para pengusaha bisa tampil dengan keakhlian yang piawai. Berbagai bimtek, khususnya yang berkenaan dengan administrasi keproyekan, penting untuk diberikan, sehingga para pengusaha mampu tampil lebih berkualitas dan profesional. Kita butuh para pengusaha yang dapat diandalkan dan amanah dalam menjalankan profesinya.

Penguatan diri sebagai pengusaha, sebetulnya telah tersedia lewat Kamar Dagang dan Industri atau lebih populer dengan sebutan KADIN. Lembaga profesi inilah yang diharapkan mampu membimbing dan membina para pengusaha sesuai dengan tingkatan nya masing-masing. KADIN mestinya tampil sebagai “kawah candradimuka” nya para pengusaha dalam menggembleng diri agar kehadiran dan keberadaannya mampu memberi sumbangsih nyata terhadap jalannya pembangunan.

Pertanyaannya adalah apakah KADIN sudah memerankan diri sebagai lembaga yang mampu memoles para pengusaha untuk tampil sebagai lembaga bisnis yang dapat melahirkan berkah kehidupan bagi masyarakat ? Sudah sejauh mana KADIN dapat menjadikan para pengusaha hadir sebagai profesional sejati di dunia usaha ? Apakah benar, para pengusaha di daerah sangat mengandalkan kegiatannya hanya kepada APBD ? Artinya, tanpa ada APBD, praktis para pengusaha tidak mampu berkiprah ?
Upaya menghilangkan “pendebloan” dalam sebuah keproyekan, bukanlah hal yang cukup mudah untuk ditempuh. Banyak tantangan dan kendala yang butuh penanganan dengan serius. Namun patut dicatat, sesulit apapun tantangan yang menghadang, kita sepakat deblo bukanlah perbuatan yang perlu dikembangkan. Deblo secepatnya harus dihilangkan. Penyebabnya, deblo benar-benar sangat tidak mendidik.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah Bapak Endan Sukardan Guru SDN Pasirbenteng Kec Arjasari kabupaten Bandung Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Bahagia di Keheningan Malam

RENUNGAN SHUBUH Kamis, 16 Januari 2025   Bismillahirahmanirahim Assalamu’alaikum wrm wbrkt   BAHAGIA Di Keheningan Malam   Saudaraku, HENINGNYA MALAM,

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *