14 April 2025 02:35
Opini dan Kolom Menulis

CULANGUNG

“CULANGUNG”

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Culangung atau calutak dalam bahasa Sunda adalah istilah untuk menyebut orang yang tidak sopan atau kurang ajar. Biasanya dilakukan orang yang lebih muda pada orang yang lebih tua. Culangung cenderung dianggap sebagai perilaku (sikap dan tindakan) buruk yang tidak seharusnya tumbuh subur dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Orang dapat menjadi culangung (tidak sopan atau kasar) karena beberapa alasan, antara lain pertama,
orang yang tidak memiliki pendidikan yang memadai atau tidak memiliki kesadaran tentang norma-norma sosial dapat menjadi culangung. Kedua,
lingkungan yang tidak mendukung nilai-nilai kesopanan dan kebaikan dapat membuat orang menjadi culangung.

Ketiga, orang yang tidak dapat mengontrol emosi mereka dapat menjadi culangung ketika mereka merasa marah atau frustrasi. Keempat,
beberapa budaya atau tradisi dapat memiliki norma-norma yang berbeda tentang kesopanan dan kebaikan, yang dapat membuat orang menjadi culangung. Kelima, orang yang tidak memiliki rasa empati terhadap orang lain dapat menjadi culangung karena mereka tidak mempertimbangkan perasaan orang lain.

Dan keenam, faktor ekonomi atau sosial seperti kemiskinan, kekurangan sumber daya, atau diskriminasi dapat membuat orang menjadi culangung. Namun, perlu diingat bahwa menjadi culangung bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah. Dengan pendidikan, kesadaran, dan latihan, orang dapat belajar menjadi lebih sopan dan baik. Culangung, bukan sebuah “harga mati” dalam menjalani kehidupan.

Dalam dunia kepolitikan, kita pernah dihebohkan dengan munculnya fenomena “culangung politik”. Beberapa pihak mengartikan culangung politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana seseorang atau kelompok politik melakukan tindakan yang tidak etis atau tidak bermoral untuk mencapai tujuan politik mereka.

Beberapa contoh dari “culangung politik” antara lain dapat berupa menyebarluaskan informasi palsu atau menyesatkan untuk mempengaruhi opini publik. Kemudian, menggunakan uang atau kekuasaan untuk mempengaruhi proses politik. Lalu, tidak memenuhi janji-janji politik yang telah dibuat. Dan terakhir,
menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi proses politik atau untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Bila dibiarkan dan tidak dilakukan perbaikan, culangung politik dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik dan dapat menyebabkan ketidakstabilan politik. Oleh karena itu, penting untuk mempromosikan etika dan moralitas dalam politik. Semangat ini memang sangat mudah diucapkan, tapi sulit untuk diterapkan dalam kehidupsn nyata di masyarakat.

Pemaksaan kekuasaan sendiri dapat ditempuh dengan berbagai macam cara. Salah satunys dengan melakukan perekayasaan terhadap regulasi. Tidak sedikit penguasa yang melampiaskan syahwat kekuasaannya, melalui cara mengutak-atik aturan perundang-undangan yang ada. Salah satu teladannya, untuk memuluskan kepentingan politiknya, penguasa cenderung akan merubah aturan yang ada demi pencapaian maksud dan tujuan politiknya.

Sebagai gambaran, ketika ada keinginan untuk memposisikan seseorang dalam jabatan politik tertentu, namun terganjal oleh urusan usia yang belum memenuhi syarat, maka dengan gampangnya penguasa merubah aturan usia tersebut. Sekalipun banyak protes dari rakyat atas perlakuannya itu, tapi penguasa di banyak negara, cenderung akan mengabaikannya.

irrigation water canal for paddy rice field in Thailand.

Culangung politik yang demikian, semestinya tidak membudaya dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Tanah Merdeka. Penguasa haruslah memiliki moral politik yang teruji. Penguasa juga perlu memiliki “kode etik” dalam menjalankan roda Pemerintahannya. Yang lebih penting, penguasa juga harus selalu mendengar dan mengindahkan suara rakyatnya sendiri.

Pertanyaannya adalah apakah dalam dunia kepolitikan sekarang, masih ada penguasa yang mau mendengar keinginan dan kebutuhan masyarakat ? Apakah para penguasa masih mampu membedakan mana yang namanya kepentingan pribadi, keluarga, kelompok/golongan dan rakyat secara proporsional ? Atau tidak, dimana penguasa cenderung menganak-tirikan kepentingan masyarakat.

Melahirkan penguasa yang masih mau menyelami hati rakyat, dalam aura politik yang hanya mengejar kepentingan sesaat, betul-betul membutuhkan perjuangan keras untuk mewujudkannya. Begitu pun dengan menghadirkan penguasa yang mampu berbuat satu antara tutur kata dan perbuatannya. Budaya politik pun tidsk mendukung ke arah itu.

Saat ini memang banyak sosok pemimpin yang pintar hanya sebatas ompn-omon. Ketika diminta untuk menerapkan apa yang diomon-omonkannya dalam kehidupan nyata, ternyata hampir tidak pernah dapat diterapkan dengan baik. Terlalu banyak spleteran yang menggsnggunya. Terlebih bila disekitar kekuasaan telah terbangun oligarki politik yang cukup mapan. Idealisme pun tergerus oleh realisme politik yang berkembang.

Tumbuh suburnya culangung politik dalam kehidupan, jelas harus dilawan dan dihentikan perkembangannya. Salah besar kalau kita membiarkannya. Untuk melakukan pembenahan, kata kuncinya, tetap berada pada penguasa yang kita pilih. Selama penguasa di berbagai tingkat kekuasaan masih terhipnotis oleh budaya politik yang hedonis dan bergaya hidup sofistikasi, maka semangat itu hanyalah sebuah mimpi di siang bolong.

Mari kita ikuti perkembangannya. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *