7 July 2024 00:47
Opini dan Kolom Menulis

CATAT ! SWASEMBADA PANGAN, BUKAN SWASEMBADA BERAS !

CATAT ! SWASEMBADA PANGAN, BUKAN SWASEMBADA BERAS !

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Pangan bukan hanya beras. Pangan banyak jenis dan ragamnya. Ada pangan karbohidrat dan ada juga pangan protein, baik protein hewani atau protein nabati. Beras sendiri, di Tanah Merdeka, telah ditetapkan sebagai komoditas politis dan strategis. Disebut politis, karena beras harus selalu ada dan tersedia dalam kehidupan nyata di lapangan.

Undang Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebut definisi pangan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. 

Di sisi lain, menurut Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional, yang dimaksud dengan jenis-jenis bahan pangan adalah Beras; Jagung; Kedelai; Gula Konsumsi; Bawang; Telur Unggas Daging Ruminansia; Daging Unggas; dan Cabai. Dalam revisi Perpres 66/2021 ditambah dengan ikan dan beberapa jenis pangan strategis lain.

Atas gambaran seperti ini dapat disimpulkan, beras hanyalah salah satu jenis bahan pangan karbohidrat yang merupakan kebutuhan pangan pokok. Namun begitu, masih saja ada pejabat di negeri ini yang menyebut beras sama dengan pangan. Mereka pun terkadang menyebut bangsa kia telah mampu meraih swasembada pangan tahun 1984 lalu. Padahal, yang betul adalah swasembada beras.

Salah kaprah semacam ini, tentu harus segera diluruskan. Persepsi soal swasembada beras atau swasembada pangan, sebaiknya segera kita kembalikan pada hakekat yang sebenarnya. Beras ya beras. Pangan ya pangan. Beras beda dengan pangan. Beras bukan pangan. Mohon dicatat. Kita pernah berpengalaman dengan swasembada beras, tapi belum dengan swasembada pangan.

Adanya kemauan politik dari Pemerintah untuk meraih swasembada pangan, sebetulnya patut kita dukung dengan sepenuh hati. Hanya perlu dicatat, dalam suasana kekinian, boro-boro meraih swasembada pangan, untuk meraih kembali swasembada beras saja, kelihatannya cukup sulit untuk dibuktikan. Banyak tantangan dan kendala yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Bangsa ini, telah dua kali mendapat piagam penghargaan internasional atas kisah sukses meraih swasembada beras. Keberhasilan ini, tentu saja memperoleh acungan jempol dari bangsa-bangsa lain di dunia. Walau begitu, semua warga dunia pun tahu persis, swasembada beras yang kita raih adalah swasembada beras on trend, bukan swasembada beras yang permanen.

Swasembada beras on trend sendiri memiliki makna, sebuah bangsa akan mampu berswasembada beras, kalau iklim dan cuaca mendukungnya. Namun, kalau iklim ekstrim seperti El Nino dan La Nina menyergap dan tidak bersahabat dengan petani, maka pupuslah prestasi swasembada beras. Produksi menurun karena banyak yang gagal panen. Impor beras lagi-lagi kita tempuh.

Hal ini jelas berbeda dengan makna swasembada beras permanen. Artinya, apapun gangguan dan ancaman yang menghadang, bangsa tersebut masih mampu mencukupi kebutuhan berasnya dari hasil produksi petani dalam negerinya. Ke depan, bangsa kita mestinya mampu merancang dan menyiapkan diri agar mampu meraih swasembada beras yang permanen.

Swasembada Pangan, berarti kita harus manpu meraih dahulu swasembada jagung, swasembada kedele, swasembada daging, swasembada gula, swasembada bawang putih dan lain sebagainya. Perjumlahan dari swasembada-swasembada komoditas itulah yang disebut dengan swasembada pangan yang sifatnya permanen.

Mencermati penjelasan diatas, hasrat meraih swasembada pangan, jelas lebih berat dan rumit. Dengan memperhatikan kondisi pembangunan pangan di neveri ini, kita tengah disodorkan pada masalah pangan yang sangat pelik. Hampir sepuluh tahun lalu, kita sudah mengumandangkan perlunya pencapaian swasembada jagung dan swasembada kedele.

Sayang, jangankan untuk meraih swasembada jagung dan kedele, sekedar untuk mempertahankan swasembada beras saja, kita sudah cukup kesusahan. Jadi, kalau Pemerintah betul-betul berkehendak untuk menggapai swasembada pangan, maka sangat dibutuhkan adanya perubahan yang radikal dan mendasar, baik dalam hal cara pandang ataupun penataan infra struktur pangan.

Sebagai cita-cita, sekalipun lebih bersifat utophis, swasembada pangan, sah-sah saja untuk dikumandangkan di berbagai kesempatan, khususnya oleh mereka yang membutuhkan simpati masyarakat. Lalu, bagaimana dengan kenyataannya, apakah swasembada pangan akan dapat diraih ? Kalau dapat dicapai, kira-kira dalam berapa tahun kita akan dapat mewujudkannya ?

Pemerintah telah bertekad, ketika bangsa kita memperingati hari ulang tahun kemerdekaan ke 100 tahun, para petinggi bangsa yang kini tengah manggung, telah bersepakat tahun 2045 pantas disebut sebagai suasana Indonesia Emas. Pemerintah ingin agar pada saat itu lahir program-program yang sifatnya monumental. Termasuk di dalamnya soal pembangunan pangan.

Swasembada pangan, rupanya telah dipilih untuk dapat diwujudkan pada tahun 2045. Pertanyaannya adalah apakah dengan sisa waktu sekitar 21 tahun ke depan, kita akan dapat membuktikan cita-cita politik menjadi kentataan politis ? Memang masih ada waktu. Peluang terbuka lebar. Tinggal sekarang ada niat tidak melaksanakan nya ?

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah pada 6 Juli 2024Naning Kartini (Guru Ngaji SDN Ciawigede Majalaya) Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *