4 October 2024 13:25
Opini dan Kolom Menulis

“BEUBEULIEUN”

"BEUBEULIEUN"

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Beubeulieun bisa dimaknai sebagai “hayang dihormat, hayang diajenan da ngarasa dirina jalma penting”. Diterjemahkan secara bebas, artinya: seseorang yang gila hormat. Ia merasa dirinya seseorang yang penting. Peribahasa ini betul-betul cocok dengan suasana kekinian, mengingat sekarang banyak orang yang tiba-tiba menjadi pejabat dan dianggap sebagai orang penting.

Melalui proses Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat, peluang menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota terbuka lebar. Orang yang sama sekali kurang dikenal, dapat saja terpilih menjadi Bupati, bila dirinya mampu “membeli” partai politik dan mengusungnya menjadi Calon Bupati. Meraih tiket seperti ini, jelas butuh cuan yang tidak sedikit. Artinya, Calon Kepala Daerah harus memiliki cuan yang kuat.

Seorang Kepala Daerah di negeri ini diatur oleh regulasi yang menjadikan dirinya memperoleh fasilitas hidup yang dibiayai dan ditanggung oleh negara. Rumah Dinas disediakan. Begitu juga dengan mobil dinas. Listrik gratis. Air ledeng gratis. Dirinya dilengkapi oleh seorang Sekretaris Pribadi yang bertugas di kantor dan seorang Ajudan dan petugas pengawalan yang mendampinginya ketika bertugas ke lapangan.
Akibatnya wajar, jika kemudian banyak Kepala Daerah uang “mengunggah adat”, karena mengalami kehidupan baru sebagai pejabat publik. Beberapa Kepala Daerah malah ada yang menutupkan ponsel pribadinya ke Ajudan. Dirinya ingin bebas dari orang-orang yang akan menghubunginya. Seorang sahabat sempat nyeletuk, kenapa setelah jadi Bupati, dirinya menjadi beubeulieun ?

Kepala Daerah, tampaknya tidak mampu melepaskan diri dari aturan keprotokoleran. Perilaku kesehariannya diatur sedemikian rupa, sehingga tidsk boleh “semau gue” dalam berpikir, bertindak dan berwawasan. Sebagai pemimpin, Kepala Daerah adalah simbol negara dan Pemerintah, yang harus selalu menjaga marwah dan keberadaannya sebagai pejabat negara.

Konsekwensinya, selama 5 tahun dirinya tidak bisa lagi keluyuran di tengah malam atau menghabiskan waktu dengan bernyanyi bersama di Karaoke. Setiap langkah perlu diukur dan tidak boleh hanya mengedepankan keinginan pribadinya. Ingat “jengkol” yang menempel di dada adalah simbol pejabat negara yang harus selalu hati-hati dalam melangkah.

Seorang pejabat negara atau pejabat publik, dipersepsikan sebagai pemimpin yang patut diteladani. Rakyat, tentu akan kecewa berat ketika diumumkan oleh KPK ada seorang Menteri yang terlibat praktik korupsi di Kementerian yang dipimpinnya. Kecewaannya semakin menjadi-jadi ketika cuan hasil korupsinya digunakan untuk membayar kartu kredit pribadinya dan membayar cicilan mobil mewah sekelas Toyota Alphard.

Tak kalah penting untuk disampaikan, ternyata dalam beberapa kejadian, ditemukan ada kiprah pejabat publik yang menampilkan sikap “beubeulieun”. Dirinya pura-pura jual mahal ketika ada teman SMAnya yang ingin bertemu. Dengan alasan kesibukan yang luar biasa, dia menolak untuk bisa bertemu dengan teman lamanya itu.

Selidik punya selidik, keengganan itu lebih disebabkan oleh ketakutannya jika temannya itu meminta cuan, mengingat di masa lalunya, sang pejabat ini selalu meminta cuan juga kepadanya. Sikap seperti ini, seharusnya tidak perlu terjadi. Orang Sunda selalu mengingatkan “hade ku omong, goreng ku omong”. Artinya, semua masalah akan selesai bila kita mau berbincang-bincang secara terbuka.

Sebetulnya, beda-beda tipis antara “beubeulieun” dengan aturan protokoler. Umumnya akan muncul kata hati seseorang yang umumnya ingin dianggap penting. Contoh kalau kita sebagai organisasi tingkat RT dan ingin mengundang Bupati untuk hadir dalam acara tersebut, biasanya akan di “delete” oleh Sekpri atau Ajudan dari agenda Bupati.
Cerita lain, jika yang mengadakan acara tersebut adalah salah seorang anggota Tim Sukses utama pada saat Pilkada dulu. Sang Bupati pasti akan memunta Ajudan untuk mencatatnya dan pada wajtunya hadir. Bagi seorang Bupati, yang bernama Tim Sukses adalah segala-galanta. Berkat mereka inilah dirinya mampu menduduki posisi sebagai orang nomor 1 di daerahnya.

Bupati atau Walikota di daerah, sempat disebut sebagai “raja-raja kecil”. Dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki, Kepala Daerah dapat dengan mudah menetapkan anggaran politiknya, mengangkat dan memutasi pegawai, dan menetapkan tata ruang dan wilayah (RTRW). 3 hal inilah yang tidak boleh diganggu.

Sejujurnya harus diakui, melalui proses politik yang cukup ketat, untuk menjadi pejabat publik saat ini, perlu dibeli dengan harga yang cukup mahal. Jadi Bupati atau Walikota, jelas tidak ada yang gratis. Inilah risiko politik, proses Pemilihan Umum secara langsung oleh rakyat. Artinya, jika tidak punya cuan yang cukup, jangan coba-coba untuk mencalonkan diri.

Mengingat syarat utama jadi pejabat publik harus dibeli dengan harga cukup mahal, maka lumrah bila kemudian banyak pejabat publik yang beubeulieun. Harga yang mahal, seolah-olah perlu dibayar dengan perilaku keseharian yang memposisikan diri sebagai orang penting. Yang tersedot, jika cuan yamg digunakannya dibayar lewat praktik yang tercela seperti korupsi.

Akhirnya, dengan semakin banyaknya kasus pejabat publik yang ditangkap KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, karena terjebak dalam praktik korupsi atau pun penyalah-gunaan kekuasaan dan wewenang, kita berharap agar ke depan dapat membuat efek jera bagi pejabat publik yang akan menghinakan dirinya sendiri. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang amanah.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Benar yang dikatakan Proklamator Bangsa Bung Karno ketika meletakan batu pertama pembangunan.Gedung Fakultas

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *