BERPALING KE DIVERSIFIKASI PANGAN
BERPALING KE DIVERSIFIKASI PANGAN
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Diversifikasi pangan adalah strategi untuk meningkatkan keragaman jenis pangan yang dikonsumsi dan diproduksi. Tujuannya antara lain,
meningkatkan ketahanan pangan;
mengurangi ketergantungan pada beberapa komoditas pangan;
meningkatkan kualitas gizi;
mengurangi risiko kekurangan pangan dan meningkatkan pendapatan petani.
Diversifikasi pangan atau sering juga disebut penganekaragaman pangan merupakan solusi cerdas, sekiranya suatu bangsa berkeinginan untuk memiliki ketahanan pangan bangsa dan negara yang kokoh. Terlebih jika bangsa tersebut telah mengalami “darurat beras”, karena ketidak-mampuan menjawab iklim ekstrim yang tidak bersahabat dengan petani.
Bagi bangsa kita, kemauan politik untuk meragamkan pola makan rakyat agar tidak bergantung kepada satu jenis bahan pangan karbohidrat yaitu beras, sebetulnya telah digarap sekitar 65 tahun lalu. Saat itu tumbuh kesadaran, kaitan antara pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan pangan, seperti yang diingatkan Malthus sekitar 350 tahun lalu, penting dikendalikan secara maksimal.
Dibandingkan dengan bahan pangan karbohidrat lain, beras memang memiliki banyak kelebihan. Selain gampang pengolahannya, harganya pun relatif terjangkau oleh masyarakat. Akibatnya wajar jika sebagian besar masyarakat telah menjadilan beras sebagai sumber bahan pangan pokok ketimbang jenis bahan pangan karbo lain dalam menyambung nyawa kehidupannya.
Namun begitu, jika kita perhatikan dunia perberasan nasional dalam beberapa tahun belakangan ini, memaksa kepada kita untuk menyimpulkan kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Jumlah surplus beras terus melorot, karena produksi yang dihasilkan petani dalam negeri anjlok dengan angka cukup signifikan. Resikonya kran impor beras terpaksa harus dibuka lebar-lebar.
Dihadapkan pada suasana seperti ini, wajar bila impor beras dianggap sebagai satu-satunya solusi jangka pendek yang harus ditempuh Penerintah. Impor beras telah dijadikan andalan untuk keberlanjutan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Impor beras dianggap sebagai “dewa penolong”, yang menyambungkan nyawa kehidupan.
Langkah menggenjot peningkatan produksi dan produktivitas, sepertinya kurang menggigit jika tidak dibarengi dengan upaya meragamkan pola makan rakyat dalam kehidupan kesehariannya. Penyelamatan bangsa ini dari darurat beras, karena produksi yang menurun, tidak bisa lagi dijawab hanya dengan pendekatan produksi, tapi sudah saatnya berpaling juga ke sisi konsumsi.
Hal ini penting ditempuh, karena sekarang muncul suasana yang cukup membingungkan dalam memotret dunia perberasan di dalam negeri. Sebut saja data yang dirilis Badan Pusat Sratistik (BPS) berbasis Kerangka Sampling Area (KSA) yang memprediksi produksi beras tahun 2024 lebih rendah dibandingkan dengan produksi beras tahun 2023. Padahal, sejak awal 2024 ini, Pemerintah sangat gencar mengkampanyekan peningkatan produksi setinggi-tingginya.
Yang lebih mengagetkan adalah adanya pernyataan Menko bidang Pangan yang dengan penuh optimis menyebut untuk tahun 2025, bangsa kita tidak akan menempuh impor beras. Fenomena seperti ini, sepertinya sulit dicerna secara akal sehat. Kok bisa, saat produksi beras anjlok dengan angka cukup signifikan, pilihannya dengan menyetop impor beras.
Pengalaman selama ini membuktikan impor beras adalah langkah terbaik yang diambil Pemerintah dalam menghadapi krisis beras. Secara regulasi, impor beras tidak diharamkan untuk ditempuh sekiranya produksi beras dalam negeri dan cadangan beras Pemerintah mengalami gangguan. Atas hal demikian, impor beras menjadi opsi memperkokoh ketersediaan beras secara nasional.
Kehati-hatian para pejabat negara dalam menyampaikan pernyataan kepada publik, sepertinya menjadi hal yang sangat urgen dalam kehidupan penuh rekam jejak. Selain itu, masyarakat pun kini tampak semakin cerdas dalam mengikuti dinamika pembangunan yang terjadi. Termasuk apa yang disampaikan Bung Zulhas, tahun 2025 tidak akan impor beras lagi.
Catatan kritisnya adalah bagaimana kalau iklim dan cuaca tidak berpihak ke dunia pertanian ? Mampukah kita menggenjot produksi setinggi-tingginya menuju swasembada, jika tiba-tiba La Nina atau El Nino menyergap kembali seperti yang terjadi beberapa waktu sebelumnya ? Bila kejadian lagi, apa jawaban terbaik yang bisa disampaikan kepada masyarakat ?
Ketimbang bicara soal stop impor beras tahun 2025, boleh jadi akan lebih senafas dengan tugas fungsi yang diembannya, kalau Kemenko bidang Pangan menginisiasi perumusan Grand Desain Diversifikasi Pangan 2045. Ini akan lebih nyata dan terukur. Sebab, hingga kini program meragamkan pola makan lebih banyak digarap, hanya sekedar menggugurkan kewajiban tanpa ada skenario yang jelas dalam berkiprah.
Akhirnya penting disampaikan, sekalipun laju konsumsi masyarakat terhadap beras masih cukup tinggi dan cenderung jalan ditempat, bukan berarti membuat kita tidak banyak berkiprah untuk mengembangkan program diversifikasi pangan. Namun dengan dimilikinya Grand Desain Pencapaian Diversifikasi 2045, setidaknya kita punya arah dan peta jalan untuk meragamkan pola makan rakyat.
Semoga jadi percik permenungan kita bersama !
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).