5 October 2024 19:22
Opini dan Kolom Menulis

Beras Politik


BERAS POLITIK

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Beras di negeri ini, telah ditetapkan sebagai komoditas politis dan strategis. Kesepakatan semacam ini penting ditempuh Pemerintah, mengingat sebagian besar masyarakat, telah kecanduan beras sebagai bahan pangan karbohidrat utama untuk menyambung nyawa kehidupan. Beras adalah segala-galanya. Tanpa beras, seolah-olah tidak ada lagi kehidupan.
Itu sebabnya, beras harus selalu ada dan tersedia sepanjang waktu.

Dalam beberapa bulan belakangan ini, produksi beras secara nasional terekam mengalami penurunan. Banyak faktor yang membuat produksi beras menurun. Bukan saja ada indikasi luas tanam yang makin berkurang, namun produktivitasnya pun susah untuk ditingkatkan. Terlebih dengan adanya sergapan El Nino, yang melahirkan gagal panen dengan jumlah cukup besar. Pemerintah meramalkan, gagal panen karena El Nino dapat mencapai sekitar 1,2 juta gabah kering panen.

Menyikapi hal yang demikian, wajar jika Pemerintah tampak serius untuk menggenjot produksi beras setinggi-tingginya. Untuk tahun depan, Pemerintah telah mematok target sebesar 37,65 juta ton beras yang harus diwujudkan. Artinya, dibandingkan dengan “kebiasaan” peningkatan produksi beras per tahun sekitar 2 juta ton, maka untuk tahun depan, kita dituntut untuk dapat meningkatkan produksi sekitar 5 juta ton. Info terkini, target tersebut telah direvisi Pemerintah.

Terlepas dari pandangan yang menyebut target 37,65 juta ton sebagai keinginan yang sangat ambisius, tapi kita optimis, lewat kerja keras dan kerja cerdas, mestinya jumlah sebesar itu, dapat kita raih. Pertanyaannya adalah adakah niatan untuk mewujudkannya ? Lalu apakah kita sudah memiliki teknologi budidaya padi dan inovasi terkini dalam menggenjot produksi sampai optimal ? Dan apakah kita memiliki cara atau metode untuk menggapainya ?

Bantuan langsung beras yang digratiskan kepada para penerima manfaat, mengingatkan kita kepada program beras untuk masyarakat miskin (Raskin) beberapa tahun lalu. Bedanya, kalau Raskin harus ditebus oleh para penerima manfaat, sedangkan program bantuan langsung, tidak perlu dibayar. Program ini, dianggap cukup efektip untuk membantu masyarakat dalam mencukupi kebutuhan hidupnya.

Di tengah ekonomi yang belum pulih seratus persen, sebagai dampak Covid 19, program bantuan beras langsung kepada penerima manfaat, tentu akan disambut dengan kegembiraan yang mendalam, terlebih ketika daya beli masyarakat sedang melemah. Para penerima manfaat banyak berpendapat dengan adanya program seperti ini, maka Pemerintah benar-benar hadir di tengah kehidupan masyarakat berpendapatan rendah.

Masalahnya menjadi semakin nyata, manakala harga beras di pasaran terekam melejit dan naik secara ugal-ugalan. Pemerintah sendiri cukup kewalahan mengendalikannya. Bahkan ada kesan Pemerintah seperti yang tak berdaya mencarikan jalan keluarnya. Sekalipun telah ditempuh berbagai upaya, namun harga beras tampak masih membandel tak mau turun. Bayangkan, jika tidak ada bantuan langsung beras, bagaimana nasib dan kehidupan para penerima manfaat ini.

Beras sebagai komoditas politis, memang bukan cuma sebuah jargon. Dalam penyelenggaraan Pesta Demokrasi misalnya, beras sering dijadikan alat kampanye para calon pemimpin bangsa, baik kalangan eksekutif maupun legislatif. Tentu kita ingat, ketika musim kampanye tiba, banyak para calon yang membagi-bagi beras ke masyarakat, hanya sekedar mengenalkan diri tentang kepeduliannya kepada para pemilih.

Beras pun tampil, bukan hanya sebagai kebutuhan bahan pangan pokok, namun secara tidak langsung beras pun muncul jadi alat kampanye, yang dinilai efektip dalam merebut simpati masyarakat. Itu sebabnya, menjadikan beras sebagai penarik simpati rakyat, sering dijadikan modus dalam setiap Pesta Demokrasi. Bahkan istilah, dirinya terpilih jadi Wakil Rakyat, karena adanya “beras politik”.

Adanya kebijakan Pemerintah yang memberi bantuan langsung beras kepada para penerima manfaat menjelang diselenggarakan Pesta Demokrasi, sering dituding sebagai kampanye yang dilakukan kekuasaan untuk memuluskan pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden tertentu. Di masa Orde Baru, kita mengenal pola seperti ini disebur sebagai “input teknis, output politis”. Atau bisa juga disebut memanfaatkan peluang atas kekuasaan yang digenggamnya.

Bagaimana modus “beras politik” ? Biasanya para calon pemimpin bangsa ini akan mengemas beras dalam kantong dalam jumlah 5 kilogram. Lalu, beras itu akan digabung dengan minyak goreng, super mie, dan lain sebagainya. Setelah semua lengkap, sembako tersebut, dimasukan dalam kantong untuk disebarkan kepada masyarakat. Menariknya, di dalam kantong itu disisipkan selembar kertas, lengkap dengan foto diri sang calon.

Tak lupa, dalam selembar kertas itu, tertulis kalimat : “jangan lupa coblos nomor urut sekian dari Partai Politik tertentu. Melalui, kampanye semacam ini, banyak calon pemimpin bangsa yang berhasil meraih cita-citanya. Banyak para Wakil Rakyat yang terpilih, karena melakukan modus seperti ini. Persoalannya, dengan semakin banyak para calon pemimpin yang menggunakan modus semacam ini, kini langkah ini menjadi tidak efektip lagi.

Namun begitu, dengan dikeluarkannya kebijakan bantuan langsung beras ke masyarakat hingga bulan juni 2024, upaya merebut dukungan dan simpati masyarakat terhadap calon yang menjadikan beras sebagai alat kampanye, terkesan jadi tidak manjur lagi. Terlebih jika banyak calon yang menggunakan modus seperti ini. Pemerintah terlihat selangkah lebih maju ketimbang para calon pemimpin bangsa.

Tahun 2024 merupakan tahun berat bagi upaya peningkatan produksi beras. Mundurnya musim tanam karena adanya sergapan El Nino, ditengarai bakal menciptakan kenaikan harga beras kembali. Naiknya harga beras, jelas akan memperberat kehidupan masyarakat berpenghasilan rendah, apalagi disertai dengan daya beli yang semakin merosot. Kita butuh kerja cerdas untuk mencarikan jalan keluar terbaiknya.

Menteri Pertanian sendiri telah menargetkan agar tahun depan, Kementerian Pertanian dapat menggenjot produksi beras hingga 37,65 juta ton. Ini penting, karena kalau saja kita tidak mampu meraihnya, boleh jadi impor beras sekitar 5 juta ton, harus dilakukan. Pilihan ada di kita. Mau genjot produksi atau impor ?

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Muhasabah Diri

Semangat SubuhSabtu, 5 oktober 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUHASABAH DIRI Saudaraku,Kadangkala dalam seharian kehidupan kita tak sadar ada tutur kata

Read More »

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Benar yang dikatakan Proklamator Bangsa Bung Karno ketika meletakan batu pertama pembangunan.Gedung Fakultas

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *