BENARKAH PETANI ENGGAN JUAL GABAH KE BULOG ?
BENARKAH PETANI ENGGAN JUAL GABAH KE BULOG ?
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Panen Raya padi kini mulai terjadi di berbagai daerah. Para petani tampak antusias menyambut tibanya panen raya padi untuk Musim Tanam Okt-Mar 2025. Walaupun di beberapa daerah terekam masih ada petani yang menanti panen usahatani padinya, namun harus diakui panen raya kali ini, mengalami kemunduran beberapa bulan, mengingat adanya iklim ekstrim yang menyergap sesuka hati.
Bagi sebagian besar petani, panen raya merupakan momentum untuk berubah nasib dan kehidupan. Di benak mereka, panen raya merupakan satu-satunya jalan untuk dapat membebaskan diri dari suasana hidup miskin dan melarat yang selama ini menjerat krhidupannya. Panen raya harapan satu-satunya untuk dapat hidup sejahtera dan bahagia.
Sayangnya, harapan kaum tani yang demikian, belum dapat dibuktikan dalam kehidupan nyata di lapangan. Sekalipun hampir 80 tahun Indonesia Merdeka, ternyata belum ada satu pun Pemerintahan di Tanah Merdeka ini, yang mampu mewujudkan kata hati petani tersebut. Lingkaran setan kemiskinan yang melilit lehidupan petani, tetap saja sulit untuk diputus.
Petani Bangkit Mengubah Nasib, masih saja mengumandang sebagai jargon. Banyak pengamat menyebut, kemauan politik Pemerintah untuk mensejahterakan petani, belum mampu diikuti oleh tindakan politik yang mendukung. Begitu pun dengan semangat memakmurkan petani, hal ini tak ubahnya hanya sekedar mengecat langit dan susah menapak bumi.
Banyak faktor yang membuat petani susah untuk berubah nasib dan kehidupan. Satu hal yang dominan adalah faktor harga jual gabah di tingkat petani, tatkala panen tiba. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah yang ditetapkan Pemerintah dibuat hanya sekedar menggugurkan kewajiban, tanpa ada upaya pengendalian dan pengamanan dalam penerapannya.
Hal ini patut jadi pencermatan kita bersama, karena sekalipun produksi gabah dapat ditingkatkan cukup signifikan, namun jika harga jual gabahnya anjlok, praktis pendapatan petani tidak akan meningkat. Akibatnya, nasib dan kehidupan petani pun tetap jalan ditempat. Inilah suasana yang puluhan tahun terjadi dalam kehidupan petani di Tanah Merdeka.
Menjawab hal seperti ini, teritama dalam memastikan harga gabah yang menguntungkan petani, Pemerintah mencoba melahirkan kebijakan “satu harga” gabah dengan mematok HPP Gabah pada harga Rp. 6500,- per kg. Kebijakan ini, tentu akan menuai pro kontra di masyarakat. Di satu sisi ada yang mendukung, namun di sisi lain ada yang mempersoalkannya.
Jujur diakui, kebijakan “satu harga” gabah, tentu dengan harga yang memberi keuntungan bagi petani, merupakan langkah tepat untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan petani. Adanya kebijakan seperti ini, jelas menutup peluang bagi para oknum yang doyan memainkan harga gabah di petani ketika musim panen tiba.
Kebijakan ini, diharapkan akan mampu meredam keluhan petani yang selalu merisaukan anjloknya harga gabah di petani. Justru yang perlu digarap lebih lanjut adalah sampai sejauh mana kita dapat melakukan pendampingan, pengawalan, pengawasan dan pengamanannya di lapangan agar semangat kebijakan ini dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata di lapangan.
Pemerintahan Presiden Prabowo dan Kabinet Merah Putihnya ini, jelas ingin mempertontonkan keberpihakan nyata terhadap dunia pangan dan pertanian. Hasrat untuk mencapai swasembada pangan yang mensejahterakan petani, kini ditetapkan sebagai salah satu program priorotas pembangunannya. Petani harus tampil menjadi penikmat pembangunan. Jangan lagi hanya menjadi korban pembangunan.
Pemerintah tahu persis, kalau strategi pembangunan pertanian hanya sekedar meningkatkan prodiksi dan produktivitas setinggi-tingginya menuju swasembada, boleh jadi yang namanya kesejahteraan petaninya akan terlupakan. Itu sebabnya kita berharap agar penerapan kebijakan satu harga gabah ini, secara nyata bakal mampu mendongkrak kesejahteraan petaninya.
Dibandingkan dengan komponen bangsa lain, petani tergolong dalam kelompok masyarakat yang belum terbebaskan dari suasana hidup miskin. Malah Badan Pusat Ststistik (BPS) sendiri merilis, sebesar 47,94 % mereka yang terkategorikan “miskin ekstrim” berbasis di sektor pertanian. Mereka itulah yang sering kita sebut sebagai petani gurem dan petani buruh.
Kaitannya dengan judul tulisan kali ini, yakni kemana para petani akan menjual gabah hasil panen mereka, apakah bakal dijual ke Perum Bulog atau ke tengkulak, jelas akan memerlukan analisis mendalam, kalau kita ingin memberikan jawaban cerdas. Banyak faktor yang membuat Bulog kurang populer ketimbang para tengkulak. Salah satunya, karena tengkulak memiliki nilai tersendiri dengan tengkulak dalam mengarungi kehidupannya.
Bagi petani, “persahabatan”nya dengan tengkulak/bandar, terekam lebih kental ketimbang dengan Perum Bulog. Petani dan tengkulak, terkesan memiliki suasana kebatinan yang sangat erat dalam melakoni kehidupan nya. Hal semacam ini, sepertinya belum mampu digarap Perum Bulog dikarenakan berbagai keterbatasan yang dimilikinya.
Adanya fakta, petani lebih senang menjual gabah hasil panennya kepada tengkulak, sebetulnya telah kita kenali bersama. Hal ini terjadi karena ada alasan khusus yang membuat petani enggan menjualnya ke Perum Bulog.
Berikut beberapa alasan mengapa petani lebih senang menjual gabahnya ke tengkulak daripada ke Bulog:
Pertama alasan ekonomi. Tengkulak biasanya menawarkan harga yang lebih tinggi daripada Bulog, sehingga petani dapat mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Lalu, tengkulak biasanya melakukan pembayaran secara tunai dan lebih cepat daripada Bulog, sehingga petani dapat segera mendapatkan uang. Selain itu, tengkulak biasanya tidak memiliki biaya administrasi yang tinggi seperti Bulog, sehingga petani dapat menghemat biaya.
Kedua, alasan operasional.
Tengkulak biasanya memiliki proses yang lebih sederhana dan tidak memiliki banyak persyaratan seperti Bulog. Kemudian, tengkulak biasanya dapat menerima gabah pada waktu yang lebih fleksibel daripada Bulog. Dan tengkulak biasanya berada di dekat lokasi petani, sehingga petani tidak perlu mengangkut gabah ke jarak yang jauh.
Ketiga, alasan sosial. Tengkulak biasanya memiliki hubungan yang lebih dekat dengan petani dan dapat memberikan pelayanan yang lebih personal. Lalu, petani biasanya memiliki kepercayaan yang lebih tinggi terhadap tengkulak daripada Bulog. Dan tengkulak biasanya dapat memberikan dukungan yang lebih baik kepada petani dalam hal teknis dan lain-lain.
Namun, perlu diingat bahwa Bulog memiliki peran yang penting dalam menjaga kestabilan harga dan ketersediaan beras di Indonesia, sehingga petani juga perlu mempertimbangkan untuk menjual gabahnya ke Bulog. Semoga jadi perhatian kita bersama. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).