16 January 2025 16:02
Opini dan Kolom Menulis

BANSOS “HULLER” SKALA MINI

BANSOS “HULLER” SKALA MINI

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

 

“Huller” sering diartikan sebagai mesin untuk mengupas kulit tanduk dan kulit ari padi. Huller dianggap sebagai alat yang mampu menambah nilai tambah ekonomi suatu komoditas, khususnya padi. Berkat huller inilah gabah bisa dirubah menjadi beras. Harga beras yang terjadi pasar, bisa dua lali lipat harga gabah. Otomatis, nilai tambah ekonominya pun berubah.

 

Dalam mencermati dunia petani padi di negeri ini, ternyata sebagian besar petani padi kita adalah petani gurem dan petani buruh. Menurut Sensus Pertanian 2023, jumlah petani gurem selama 10 tahun terakhir (2013-2023), mengalami peningkatan sekitar 2,64 juta rumah tangga. Mereka hidup, hanya sekedar menyambung nyawa dari hari ke harinya.

 

Lebih menyedihkan lagi, ketika tersiar kabar sebesar 47,94 % warga bangsa yang tergolong dalam kategori kemiskinan ekstrim berada di sektor pertanian. Dapat dipastikan, mereka adalah petani gurem dan buruh tani, yang cuma menguasai lahan pertanian, rata-rata 0,3 hektar dan sama sekali tidak memiliki lahan pertanian. Mereka ada dan hidup disekitar kita.

 

Dihadapkan pada suasana seperti ini, tentu saja memanggil kita untuk mencarikan solusi cerdas, agar hak petani untuk dapat hidup sejahtera, betul-betul dapat segera diwujudkan. Petani padi berlahan sempit, sudah waktunya dibebaskan dari jeratan hidup miskin dan melarat. Jangan biarkan mereka jadi korban pembangunan sepanjang waktu, tapi sudah saatnya mereka tampil elegan sebagai penikmat pembangunan.

 

Sebetulnya, banyak langkah dan strategi yang dapat dipilih untuk memberdayakan dan memartabatkan petani padi di Tanah Merdeka. Salah satunya adalah menggeser “status petani”, dari petani gabah menjadi petani beras. Artinya, petani padi yang selama ini menjual hasil akhir dari usahatani padi berujung dalam bentuk gabah kering panen, perlu dirubah menjadi beras.

 

Jujur kita akui, selama ini, para petani padi mengalami kesulitan untuk mengolah gabah menjadi beras atau menjual hasil panennya dalam bentuk beras. Masalahnya, bukan hanya disebabkan oleh adanya kemesraan antara petani dengan para bandar dan tengkulak, namun juga petani memang tidak memiliki kemampuan untuk mengolahnya.

 

Dengan bahasa lain, dapat juga dosebutkan, umum nya para petani kita akan berhenti dan selesai berusahatani nya bila mereka sudah memanen tanaman nya dalam bentuk gabah. Mereka menjual gabah nya kepada para pedagang. Ada juga yang menjual tanaman padi nya sebelum di panen. Memelas nya, ketika musim panen tiba, mereka hanya bisa duduk termenung di pinggiran sawah nya.

 

Usahatani padi di negara kita, betul-betul terkendali atau boleh juga dikatakan dikendalikan oleh Pemerintah. Benih disarankan agar yang bertifikat. Pupuk masih ada yang disubsidi. Harga diatur lewat Harga Penetapan Pemerintah (HPP), baik untuk harga gabah atau pun harga beras. Semua ini ditempuh, karena bagi bangsa kita, beras tetap diposisikan sebagai komoditas politis dan strategis. Akibat nya wajar jika ada pihak yang menyatakan bahwa beras merupakan komoditas yang berkharisma.

 

.Di sisi lain, dikenali pula bahwa jika rangkaian produksi padi diawali dari benih kemudian berubah jadi gabah, lalu diolah menjadi beras dan akhir nya jadi nasi yang kita makan, maka nilai tambah ekonomi yang paling tinggi adalah proses dari beras menjadi nasi. Yang paling kecil nilai ekonomi nya adalah dari benih menjadi gabah. Proses pengolahan dari gabah menjadi beras, memiliki nilai tambah ekonomi yang cukup memberi banyak manfaat.

 

Mengamati rangkaian proses diatas, ternyata sebagian besar petani padi kita berada dalam proses benih menjadi gabah. Mereka tentu akan memiliki nilai tambah ekonomi yang relatif kecil. Berbeda dengan mereka yang melakukan proses merubah gabah menjadi beras. Umum nya yang melaksanakan proses ini, jika tidak tengkulak, para pengusaha penggilingan padi atau BUMN milik Pemerintah.

 

Perubahan nilai tambah ekonomi dari gabah menjadi beras, mesti nya dapat dinikmati oleh para petani padi. Sayang, dengan berbagai keterbatasan dan kondisi obyektif petani padi di lapangan, para petani hanya mampu menjadi penonton menyaksikan bekerja nya para pemilik penggilingan memproses perubahan gabah menjadi beras.

 

Dihadapkan pada suasana yang demikian, andaikan kita memiliki keinginan untuk menggeser nilai tambah ekonomi itu agar dapat dinikmati para petani, maka salah satu langkah cerdas nya adalah melatih petani padi supaya mampu tampil sebagai pengusaha penggilingan padi kecil-kecilan di daerah masing-masing. Disinilah negara harus hadir di tengah-tengah petani.

 

Cara nya, Pemerintah perlu merancang bantuan alsintan, yang bukan hanya mengarah pada upaya peningkatan produksi, namun juga perlu dipikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan nilai tambah ekonomi petani. Bantuan huller atau penggilingan padi skala mini merupakan program bantuan alsintan yang sepatut nya dipikirkan oleh Pemerintah.

Huller ini dikelola oleh Kelompok atau Gabungan Kelompok Tani. Lalu mereka diberi pelatihan bagaimana mengoperasikan mesin penggilingan padi mini ini. Bayangkan, kalau setiap desa ada 5 Huller, maka hal ini akan mendongkrak pendapatan nya. Mereka yang selama ini hanya memperoleh nilai tambah dari benih ke gabah, kini nilai tambah itu menjadi lebih besar, karena mereka mampu menikmati tambahan nilai dari gabah menjadi beras.

 

Inilah esensi petani beras. Apa yang mereka lakukan dalam berusahatani padi, berujung menjadi beras. Upaya menggeser dari petani gabah menjadi petani beras, pada dasar nya merupakan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi yang selama ini tidak dirasakan nikmat nya oleh para petani padi kita. Nikmat itu malah dirasakan oleh para pengusaha penggilingan padi atau BUMN. Betapa indah nya bila kita mampu berbagi kenikmatan.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *