BANGSA YANG “DIBERASKAN” !
BANGSA YANG “DIBERASKAN” !
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Kekuatan beras dalam menghipnotis sebagian besar warga bangsa, betul-betul susah untuk dilawan. Tidak ada satu pun kebijakan Pemerintah yang mampu menghentikannya. Ketergantungan terhadap beras sebagai pangan pokok, tampak semakin menjadi-jadi. Pemerintah sendiri, terekam setengah hati dalam mencarikan jalan keluarnya.
Beras, betul-betul pas ditetapkan sebagai komoditas politis dan strategis. Bukan saja setelah dinanak menjadi nasi, lebih dari 90 % warga bangsa menggantungkan kehidupannya kepada beras, namun jika dilihat dari ketersediaan beras di dalam negeri, terlihat semakin merisaukan. Produksi beras yang anjlok membuat Pemerintah cukup kebingungan mencari solusinya. Jurus pamungkasnya, ya impor lagi.
Itulah yang terjadi di tahun 2024. Dengan mengkambing-hitamkan sergapan El Nino, Pemerintah berargumen, produksi beras secara nasional untuk tahun lalu, benar-benar dibawah target. Bahkan dibandingkan dengan produksi beras tahun 2023 pun, produksi beras 2024 terbukti lebih rendah. Pertanyaan kritisnya adalah apakah benar hal ini terjadi karena lemahnya tata kelola perberasan ?
Sergapan El Nino yang belum mampu dicarikan sulosi cerdasnya, hanyalah satu penyebab utama dari turunnya produksi beras. Di luar itu, masih ada 9 penyebab utama lain, yang membuat bangsa ini harus mengalami “darurat beras”. Beberapa diantaranya adalah persediaan benih unggul yang kurang. Lalu, masih langkanya pupuk bersubsidi. Kemudian, banyaknya irigasi pertanian yang terbengkalai dan lain-lainnya lagi.
Pengakuan Pemerintah semacam ini, tentu patut menjadi perhatian kita bersama, utamanya para Pembantu Presiden yang terkait dengan dunia perberasan, agar dalam tempo yang sesegera mungkin dapat berkiprah untuk mencarikan jawabannya. Turunnya produksi beras, mestinya tidak boleh terjadi, jika dan hanya jika, kita menggarapnya dengan serius.
Persoalannya adalah benarkah dalam beberapa tahun terakhir kita melakoninya dengan penuh tanggung-jawab ? Apakah selama ini telah terpola, upaya peningkatan produksi beras merupakan program yang sifatnya multi-sektor dan multi-pihak, sehingga dibutuhkan adanya sinergi dan kolaborasi diantara segenap komponen bangsa ?
Ya, seharusnya begitu. Peningkatan produksi beras adalah “program keroyokan dari semua pemangku kepentingan” yang terkait, baik kalangan Pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas dan media. Khusus untuk kalangan Pemerintah dibutuhkan adanya koordinasi dan komunikasi yang lebih inten, sehingga terbangun kesamaan sikap dan tindakan dalam melaksanakan program yang ada.
Langkah Kementerian Pertanian beberapa hari setelah dilantik Presiden Prabowo langsung menggelar silaturahmi dengan Menteri-Menteri terkait seperti Menko bidang Pangan, Menteri PU, Menteri BUMN dan lain-lainnya lagi, memberi gambaran kepada kita, soal pencapaian swasembada pangan, memang tidak boleh digarap sembarangan. Tapi, butuh ketekunan dan ketelatenan.
Anjloknya produksi beras secara nasional, salah satunya, bisa juga disebabkan oleh adanya kejahatan “kerah putih” yang dilakukan secara lsngsung oleh Menteri Pertanian, Sekretaris Jendral Kementerian Pertanian dan Direktur di salah satu Direktorat Jendral Kementan. Tiga serangkai petinggi Kementan inilah yang membuat kinerja Kementan jadi amburadul.
Tugas dan fungsi utana Kementan adalah meningkatkan produksi dan proxuktivitas hasil pertanian setinggi-tingginya menuju swasembada. Mana mungkin target menggenjot produksi beras tercapai kalau para petingginya sibuk mengumpulkan uang setoran untuk memuaskan sang pemimpin. Anjloknya produksi dan menurunnya produktivitas, tidak tertutup kemungkinan, karena terjadinya kejagatan kerah putih itu sendiri.
Tak kalah penting untuk dicermati, beras memang sangat penting untuk keberlanjutan pembangunan. Bagi banyak bangsa di dunia, beras juga merupakan sumber kehidupan dan sumber penghidupan bangsa. Bahkan Proklamator Bangsa Bung Karno secara gamblang mengingatkan 73 tahun lalu, urusan pangan menyangkut mati dan hudupnya suatu bangsa.
Namun begitu, apa yang disampaikan diatas, bukan berarti semua kiprah kehidupan harus “diberaskan”, tapi pelan dan pasti, ketergantungan terhadap nasi, mesti bisa dikurangi. Stop kebijakan dan program yang sifatnya “tojaj’ah” serta mengganggu semangat diversifikasi pangan. Jangan diulang lagi program Raskin atau Rastra.
Begitu pun dengan Program Bantuan Beras langsung kepada keluarga penerima manfaat. Bukankah akan lebih keren, jika yang diberikan tidak hanya beras, tapi juga jagung, sagu, sungkong dan bahan pangan lain sesuai dengan kearifan lokal daerahnya. Mereka yang biasa makan jagung sebagai pangan pokoknya, ya diberi jagung. Begitu pun yang budayanya makan sagu atau singkong.
Mumpung Ketua Dewan Pengawas Perum Bulog adalah Kepada Badan Pangan Nasional, apa salahnya kalau program Bantuan Beras Langsung yang tersisa 4 kali lagi, bisa diisi oleh beragam jenis pangan sesuai dengan budaya lokalnya masing-masing. Bapanas dan Bulog tidak ada salahnya, bila membagasnya dengan Kemenko bidang Pangan dan BAPPENAS.
Mari kita tunggu perkembangan berikutnya.
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).