BAHASA POLITIK SWASEMBADA BERAS
BAHASA POLITIK SWASEMBADA BERAS
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Ingat beras, mestinya ingat Bulog. Mengkaji politik beras, jangan lupakan beras politik. Itu sebabnya, ketika bangsa ini diterpa isu “darurat beras”, banyak pihak yang kebakaran jenggot. Produksinya turun cukup signifikan. Harganya melejit sangat ugal-ugalan. Bahkan jumlah impor beras yang kita tempuh, angkanya cukup fantastis.
Di negeri ini, beras masih tercatat sebagai komoditas politis. Ketersediaan beras, tentu harus terjaga sepanjang waktu. Jangan sampai terjadi kelangkaan beras dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, harga beras di pasar harus terjangkau oleh segenap komponen bangsa. Harga beras jangan melesat tinggi, apalagi kenaikannya terekam “ugal-ugalan”.
Itulah beras ! Komoditas bahan pangan yang memiliki karisma tersendiri dalam kehidupan. Beras, benar-benar mampu menghipnotis warga bangsa, untuk terus mengkonsumsinya. Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat, yang susah untuk digantikan dengan komoditas pangan lainnya. Tanpa beras, seolah tidak ada kehidupan.
Dalam dua tahun belakangan ini, situasi dan kondisi perberasan nasional, terlihat berada dalam suasana yang sedang tidak baik-baik saja. Beberapa pengamat malah menuding, Indonesia tengah menghadapi “darurat beras”, mengingat anjloknya produksi beras dalam negeri, karena adanya sergapan iklim ekstrim yang hingga kini belum ditemukan obat mujarabnya.
Iklim ekstrim, khususnya sergapan El Nino, betul-betul menjadi biang kerok terjadi nya penurunan produksi beras dengan angka cukup signifikan. Peluang terjsdinya gagal panen terjadi di berbagai daerah sentra produksi padi. Kementerian Pertanian sendiri menghitung gagal panen karena El Nino, berkisar antara 380 ribu hektar hingga 1,2 juta ton beras.
Yang sangat memilukan, anjloknya produksi beras, membuat kran impor beras, terpaksa dibuka kembali lebar-lebar, sehingga Pemerintah merencanakan untuk tahun ini, Indonesia bakal mengimpor beras menembus angka 4 juta ton. Angka 4 juta ton ini betul-betul mengejutkan, mengingat jumlah impor beras, sangat membengkak.
Turunnya produksi dengan angka cukup signifikan dan membengkaknya jumlah impor beras, tentu saja membuat banyak pihak mengerutkan dahi. Kok bisa, Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negeri berswasembada beras, tiba-tiba menjadi importir beras cukup besar di dunia ? Ada apa sebetulnya dengan swasembada beras yang kita raih ?
Jujur kita akui, sasembada beras versi Indonesia adalah swasembada beras “on trend”. Bukan swasembada beras berkelanjutan. Sifatnya yang “on trend”, membuat swasembada beras bangsa kita tidak permanen. Tergantung faktor-faktor yang mempengaruhinya. Contoh, kalau iklim dan cuaca mendukung, maka kita bisa swasembada. Sebaliknya bila iklim dan cuaca tidak menopang.
Apa yang terjadi di tahun 2022, cukup menarik untuk dijadikan bahan pembelajaran kita bersama. Di awal tahun 2022, International Rice Reaseurch Institute (IRRI), Lembaga Riset Dunia yang mengkhususkan meneliti komoditas padi, telah memberi Piagam Penghargaan kepada Presiden Jokowi karena selama tiga tahun berturut-turut (2019-2021) tidak melakukan impor beras komersial.
Selain itu, IRRI juga mencatat Indonesia mampu meninglatkan produksi padi dengan menerapkan teknologi budidaya terbaru dan inovatif. Hal ini benar-benar sangat membanggakan, ditengah berlangsung nya pandemi Covid 19, ternyata para petani padi kita mampu meningkatkan produksi dan produktivitas beras cukup tinggi.
Ironisnya, baru beberapa bulan setelah menerima Piagam Penghargaan berkelas dunia soal swasembada beras, kembali Pemerintah harus melakukan impor beras kembali, karena cadangan beras Pemerintah berada dalam kondisi yang merisaukan. Di lain pihak, saat itu produksi beras dalam negeri mengalami penurunan produksi cukup terukur. Pemerintah cukup kesulitan untuk memperoleh beras dari hasil petani di dalam negeri.
Untuk menutupi kebutuhan beras dalam negeri, tidak ada cara lain yang dapat terkecuali dengan membuka kran impor secara besar-besaran. Terlebih saat itu, bangsa kita akan menyambut tibanya Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024. Bayangkan bila tidak impor beras. Dari mana Pemerintah akan memperoleh beras untuk Program Bantuan Langsung Beras bagi 22 juta rumah tangga penerima manfaat.
Sebagai langkah jangka pendek, kebijakan mengandalkan kepada impor beras, bisa diterima. Namun, untuk jangka psnjang, impor beras harus dapat dihentikan. Apa pun masalahnya, Indonesia kembali harus menggenjot produksi setinggi-tingginya menuju tercapainya swasembada beras. Rancang swasembada beras permanen, bukan swasembada beras “on trend”.
Apa yang digarap Pemerintahan Jokowi di tahun-tahun terakhir kepemimpinannya, benar-benar telah berada dalam track yang betul. Segenap komponen bangsa, mesti bahu membahu meningkatkan produksi beras secara nasional. Perluasan areal tanam dan percepatan masa tanam, penting dijadikan prioritas kebijakan dan dikemas dalam bentuk gerakan masyarakat.
Kebijakan Pemerintah menambah dua kali lipat alokasi pupuk bersubsidi, dari 4,7 juta ton menjadi 9,55 juta ton, patut diberi acungan jempol. Ini perlu disampaikan, karena pupuk merupakan faktor penentu meningkatkan produktivitas padi per hektar. Coba kalau kebijakan seperti ini ditempuh 5 tahun lalu, boleh jadi masalah pupuk bersubsidi tidak akan selalu dikeluhkan para petani setiap musim tanam tiba.
Swasemvada beras, seharusnya kita kejar terlebih dahulu. Peluang meraih swaselbada beras, ditengarai lebih membuka peluang untuk diwujudkan, ketimbang swasembada pangan. Swasembada beras, kini sudah berada dihadapan kita. Tinggal sekarang, bagaimana menggarapnya dan menerapkan dari “bahasa politik” menjadi “bahasa realitas”.
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).