19 April 2025 10:28
Opini dan Kolom Menulis

ARIF DAN BIJAKSANA MENDENGAR SUARA PETANI !

ARIF DAN BIJAKSANA MENDENGAR SUARA PETANI !

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Sebagaimana yang dikenali, dalam pergaulan sehari-hari, pengunaan kata “arif” sering dibalut dalam satu kata yaitu bijaksana. Karena seseorang dapat disebut sebagai orang yang arif adalah jika dirinya bisa bersikap bijaksana. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri, kata ”arif” bermakna bijaksana, pandai, paham, dan mengerti.

Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasan-kebiasan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya.

Kaitannya dengan “suara petani”, kearifan dan ketulusan untuk mau mendengarnya, menjadi kebutuhan yang sangat mendasar, jika dan hanya jika, kita ingin melakukan pembelaan dan perlindungan petani atas kiprah oknum-oknum yang ingin meminggirkan dari panggung pembangunan atau bahkan memarginalkan kehidupannya.

Secara regulasi sekelas Undang Undang, sebetulnya sejak 12 tahun lalu, bangsa ini telah memiliki UU No.19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Sayang, dalam perkembangannya UU ini tidak ditindak-lanjuti dengan Peraturan Pemerintah yang diamanatkannya. Kita sendiri, tidak tahu dengan pasti, mengapa Pemerintah seperti yang enggan melaksanakannya.

Akibatnya wajar, jika petani di negeri ini, sering menuntut agar hak petani untuk dapat hidup sejahtera, segera diwujudkan oleh Pemerintah. Sebab, kewajiban Pemerintahlah untuk mewujudkannya. Catatan pentingnya adalah apakah ada niatan Pemerintah untuk segera membuktikannya ? Jawaban atas pertanyaan inilah yang paling dibutuhkan.

Apa yang disuarakan petani selama ini, sebetulnya tidak terlampau berlebihan. Petani tidak pernah meminta agar nasib dan kehidupannya disetarakan dengan 9 Naga yang dinilai menguasai perkembangan ekonomi nasional. Petani juga tidak pernah menuntut untuk menikmati bagaimana rasanya jalan-jalan di angkasa raya menggunakan Jet pribadi.

Yang diminta petani bagaimana usaha Pemerintah untuk memperjuangkan agar petani dapat hidup layak diatas Tanah Merdeka ini. Petani tidak mau untuk terus-terusan terjebak dalam suasana hidup miskin, melarat dan sengsara. Petani ingin terbebaskan dari lingkaran setan kemiskinan yang tidak berujung pangkal (the vicious circle of poverty).

Ada yang menengarai, terjerembab nya petani, khususnya petani gurem dan buruh tani dalam suasana hidup miskin, lebih disebabkan oleh lemahnya keberpihakan Pemerintah terhadap “pembangunan petani”. Pemerintah sendiri terekam lebih menekankan tercapainya tujuan “pembangunan pertanian”. Padahal, paradigma “pembangunan petani” sangat berbeda dengan paradigma pembangunan pertanian”.

Pemerintah sepertinya terobsesi oleh pemikiran, bila produksi dapat ditingkatkan setinggi-tingginya, maka otomatis penghasilan petani akan meningkat, sehingga kesejahteraan hidupnya bakal semakin membaik. Pemikiran ini, sepertinya sudah tidak relevan dengan suasana kekinian. Kesejahteraan petani tidak bisa lagi diukur oleh peningkatan priduksi semata. Banyak faktor yang mempengaruhinya.

Salah satu fakfor yang dominan adalah harga. Artinya, mana mungkin petani akan memperoleh penghasilan yang optimal, bila pada saat panen tiba harga gabah selalu anjlok. Jika Pemerintah berpihak kepada petani, mestinya sejak jauh-jauh hari, Pemerintah wanti-wanti menjaga agar saat psnen berlangsung, harga gabah tidak merosot.

Disodorkan pada kondisi seperti ini, para petani padi, sudah sering bersuara dan meminta Pemerintah untuk hadir ditengah masalah petani di lapangan. Petani akan kecewa berat, kalau Pemerintah hanya datang saat panen sambil mempertontonkan keberhasilan produksi dan produktivitas padi per hektar misalnya. Tapi, ketika harga gabah anjlok, jarang pejabat Pemerintah yang mendatanginya.

Hal lain yang sering disuarakan petani adalah soal sulitnya bertemu dengan petugas Penyuluh Pertanian di lapangan. Petani mempertanyakan sistem latihan dan kunjungan (LAKU) apakah masih dilaksanakan ? Jangan-jangan petugas Penyuluh Pertanian nya yang senakin berkurang, mengingat banyak yang pensiun. Di sisi lain regenerasi Penyuluh Pertanian bisa dibilang telat.

Jujur kita akui, di beberapa daerah, memang terekam ada Penyuluh Pertanian yang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kantor, ketimbang melakukan anjangsono dan berkomunikasi dengan para petani. Mereka melakukan itu, karena ditugaskan atasannya untuk terlibat dalam kegiatan proyek yang dikelola oleh eselon 1 di Kementerian.

Fenomena ini, sebetulnya sudah diketahui oleh para penentu kebijakan di sektor pertanian. Paska diberlakukannya UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka dunia Penyuluhan Pertanian mengalami kegalauan. Kelembagaan Penyuluhan Daerah diporak-porandakan. Rumah Bersama Penyuluh dibubarkan. Bahkan peran fungsinya pun kurang dioptimalkan.

Sebetulnya, masih banyak suara petani yang membutuhkan kearifan untuk mendengarnya. Beberapa hal yang disampaikan diatas, barulah sebagian kecil dari suara mereka. Itu sebabnya, akan menjadi lebih bermakna bila suara-suara petani ini selalu kita up-date agar dapat dijadikan Pemerintah dalam melahirkan solusi cerdas dan bernasnya.

(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *