7 July 2024 00:25
Opini dan Kolom Menulis

ADUH, NTP TURUN LAGI !

ADUH, NTP TURUN LAGI !

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Badan Pusat Statistik (BPS), belum lama ini merilis, NTP nasional April 2024 sebesar 116,79 atau turun 2,18 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Penurunan NTP dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) turun sebesar 1,74 persen, sedangkan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) naik sebesar 0,45 persen.

Selanjutnya, dicermati per Provinsi, pada April 2024, NTP Provinsi Banten mengalami penurunan terbesar (6,31 persen) dibandingkan penurunan NTP provinsi lainnya. Sebaliknya, NTP Provinsi Sulawesi Barat mengalami kenaikan tertinggi (6,81 persen) dibandingkan kenaikan NTP provinsi lainnya.

Pada April 2024 terjadi kenaikan Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) di Indonesia sebesar 0,58 persen yang utamanya disebabkan oleh kenaikan indeks pada sebagian besar kelompok pengeluaran. Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) nasional April 2024 sebesar 120,25 atau turun 1,88 persen dibanding NTUP bulan sebelumnya.

Rilis BPS ini jelas menambah keanehan yang terjadi dalam dunia pertanian di negeri tercinta. Ironis, ketika panen raya tiba, NTP malah turun. Bukankah seharusnya naik ? Pertanyaan kritisnya, apa penyebab utama turunnya NTP ? Apakah hal ini berkaitan dengan anjloknya harga gabah di berbagai daerah ? Atau ada faktor lain, yang membuat Pemerintah kehilangan kemampuan untuk mempertahankan NTP ?

Sebagaimana dijelaskan BPS, NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.
Walau belum tentu benar, ada juga yang mengaitkan NTP dengan tingkat kesejahteraan petani. Terlepas dari perdebatan yang sampai sekarang masih berlangsung, selama ukuran yang diidealkan belum ada, tidak salah bila NTP pun dijadikan ukuran untuk melihat kesejahteraan petani. Persoalan nya, mengapa kita tidak berani melahirkan ukuran yang lebih akurat terkait dengan kesejahteraan petani ?

Jujur kita akui, para petani padi di Tanah Merdeka ini, dalam menggarap usahataninya akan berujung di gabah. Tepatnya gabah kering panen (GKP). Petani belum memiliki kemampuan mengolahnya menjadi gabah kering giling (GKG), apalagi menjadi beras. Itu sebabnya, bila kita ingin melihat para petani riang gembira, maka tugas utama Pemerintah adalah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah pada angka yang menguntungkan petani.

Tapi, jika Pemerintah ingin mengecewakan petani, maka biarkan saja harga gabah di saat panen anjlok. Apa yang terjadi sekarang, dimana di banyak daerah banyak petani yang mengeluhkan anjloknya harga gabah, mestinya Pemerintah segera bersikap dan bertindak cepat untuk mengendalikan harga gabah ke tingkat yang wajar sekaligus membuat para petani senang dan bahagia.

Revisi HPP Gabah dan Beras merupakan langkah cerdas yang secepatnya harus ditempuh. Prinsip “kalau bisa diperlambat mengapa harus dipercepat”, semestinya kita tendang jauh-jauh. Prinsipnya perlu dirubah me jadi “segera percepat dan jangan diperlambat”. Lagi-lagi kita dihadapkan pada keanehan dunia pertanian. Yang ditunggu revisi HPP yang datang Harga Fleksibilitas Pembelian Gabah/Beras.

Kita sendiri tidak tahu dengan pasti, mengapa pembahasan revisi HPP Gabah dan Beras terkesan lambat. Padahal, usulan dari para pemangku kepentingan sudah sejak lama disampaikan, seperti dari KTNA, HKTI, SPI dan lain sebagainya. KTNA mengusulkan agar HPP Gabah dipatok pada angka Rp.6500,- per kg GKP dan HKTI usul sebesar Ro 6757,- per kg.
Petani sendiri, beberapa minggu sebelum panen raya, sebetulnya merasa senang banget, tatkala harga gabah mampu menembus angka Rp.7000,- per kg. Petani sungguh merasakan apa yang digelutinya selama kurang lebih 100 hari, terbayar dengan bagusnya harga gabah. Itu sebabnya, ketika Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Subang dan Indramayu, secara spontan para petani menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Presiden.

Sayang, rasa riang gembira para petani dalam menikmati harga gabah seperti ini, hanya berjalan sesaat. Pada waktu panen raya tiba, harga gabah di berbagai daerah banyak yang anjlok. Petani lagi-lagi mengeluh. Kok, bisa harga gabah turun dengan angka yang cukup signifikan. Lalu, dimana keberpihakan Pemerintah terhadap petani ? Lebih kecewa lagi, manakala terekam Pemerintah lambat mencarikan solusi cerdasnya.

Di beberapa sentra produksi, petani tidak lagi sekedar berkeluh-kesah, namun terdengar pula jeritan yang menyayat hati. Anjloknya harga gabah di waktu panen raya, betul-betul memupus harapan untuk memperbaiki nasib dan kehidupan. Panen raya yang awalnya diharapkan menjadi berkah kehidupan, kini bergeser menjadi sebuah tragedi kehidupan yang mengenaskan.

Akibatnya wajar jika penghasilan petani pun jadi berkurang. Dengan kata lain, naiknya produksi sampai melimpah ruah, ternyata tidak otimatis meningkatkan penghasilan petani, jika harga gabah di tingkat petani anjlok. Para petani sering merenung, mengapa di saat panen raya harga gabah selalu anjlok ? Kejadian ini selalu berulang setiap panen raya. Lalu, kenapa Pemerintah seperti yang tak berdaya menanganinya ?

Bila penghasilan petani menurun karena Pemerintah tidak mampu mewujudkan keinginan dan aspirasi para petani, maka BPS membuktikan kondisi itu dengan melorotnya NTP. Itu sebabnya, jka kita ingin menggenjot produksi sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, maka revisi HPP Gabah sesuai dengan usulan para pihak sebagaimana yang disebutkan diatas. Dijamin NTP akan semakin membaik.

 

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah pada 6 Juli 2024Naning Kartini (Guru Ngaji SDN Ciawigede Majalaya) Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *