4 July 2024 10:46
Opini dan Kolom Menulis

“Adat Kakurung Kuiga”

"ADAT KAKURUNG KU IGA"

OLEH :ENTANG SASTRAATMADJA

Peribahasa “adat kakurung ku iga” dapat diterjemahkan sebagai kebiasaan terkurung oleh tulang rusuk. Dalam bahasa lain, bisa juga dikatakan sebagai kebiasaan atau tabiat yang sudah mendarah daging sehingga susah untuk dibuang atau diubah lagi. Sebagai teladan ada seorang politisi yang berkampanye dalam sebuah Pemilihan Kepala Daerah yang mengumbar janji-janji gombal ke para pemilihnya. Banyak janji politik yang disampaikan seperti mengecat langit.

Sebut saja salah satu janjinya, jika dirinya terpilih, maka nanti setiap orang akan diberi sarapan gratis. Selidik puny selidik, ternyata sejak kecil sudah terkenal sebagai tukang berbohong. Seorang pemilik warung nasi di kampungnya, malah menyebut sebagai “sang darmaji”. Artinya, dahar lima ngaku hiji. Makannya 5 tempe, pas bayar mengaku hanya 1. Di mata teman-tenannya sendiri sering disebut sebagai pembohong ulung dan sangat susah dirubah perilakunya.

Jadi, dapat dibayangkan bagaimana nasib bangsa dan negara jika pemimpin nya sendiri banyak yang bertabiat, amat senang membohongi orang lain. Lebih gawat jika kita menemukan pejabat publik yang bermuka kesalehan, tapi berhati munafik. Kalau lagi pidato seperti manusia yang penuh kesalehan, namun dalam kehidupan kesehariannya, menjadi manusia yang durjana. Hal ini, benar-benar sangat memalukan dan sekaligus memiluksn.

Adat kakurung ku iga, bukanlah nilai kehidupan yang perlu dijadikan kebanggaan seseorang. Dalam mengarungi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, sebaiknya kita selalu mengedepankan dua hal utama dalam setiap momen kehidupan. Pertama, berkaitan dengan kemauan introspeksi atas apa-apa yang telah dilakukan selama ini, dan kedua, berhubungan dengan antisipasi terhadap tanda-tanda jaman yang tengah menggelinding.

Soal introspeksi, bukanlah hal mudah untuk dilakukan dengan penuh kejujuran. Membaca diri sendiri saja, sekarang ini banyak pertimbangan. Terlebih dalam dunia politik, yang namnya rekam jejak merupakan syarat utama untuk memuluskan kepentingan politik pribadinya. Kalau bisa, mereka akan membungkus keburukan dengan perlakuan khusus, sehingga sebisa mungkin tidak dikerahui publik. Yang muncul ke masyarakat, haruslah yang baik-baik saja.

Anehnya, regulasi yang kita miliki, terlihat sangat tidak tegas. Sebut saja fenomena mantan napi yang masih boleh menjadi Pejabat Publik. Beberapa waktu lalu, ketika Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota Legislatif disampaikan kepada masyarakat, ternyata masih banyak Partai Politik yang mengusung calon Wakil Rakyat ini adalah orang-orang yang pernah dibui, karena terjerat kasus korupsi. Rakyat pun bertanya : kok masih bisa ya ?

Sekarang Daftar Calon Tetap (DCT) telah diputuskan. Gugatan terhadap mantan napi koruptor pun berhenti dengan sendirinys. Putusannya tetap, mereka dapat mengikuti proses Pemilihan Umum selanjutnya. Perdebatan soal, bisa tidaknya mantan napi koruptor jadi Wakil Rakyat atau Pejabat Publik lainnya, sepertinya secara hukum telah selesai. Selama mereka dicslonkan partai politik dan dipilih rakyat, maka sah-sah saja dirinya menjadi pejabat publik.

Terlepas dari pro kontra mantan napi koruptor jadi pejabat publik, untuk saat ini memang sudah selesai. Bukan saja, mereka memiliki hak untuk dipilih jadi Wakil Rakyat, untuk menjadi Bupati pun tetap diperbolehkan. Tidak ada satu aturan pun yang melarang mereka untuk menjadi pemimpin bangsa. Mereka memiliki hak untuk meraihnya. Tinggal sampai sejauh mana kita menghormati hak-hak politik yang mereka miliki. Komisi Pemilihan Umum, tentu sudah memiliki landasan hukum nya.

Berikutnya soal antisipasi. Jujur kita akui, langkah untuk membaca isyarat jaman, menjadi kebutuhan mendesak yang harus ditempuh oleh kita bersama. Perguliran waktu yang sangat cepat, dibarengi dengan terjadinya lompatan teknologi yang semakin canggih, menuntut kepada segenap anak bangsa untuk menyikapinya dengan penuh rasa tanggungjawab. Kita perlu untuk menyiapkan diri sebaik-baiknya agar dapat mengisi perubahan tersebut.

Introspeksi dan antisipasi merupakan dua kata kunci, manakala kita ingin menyelesaikan masalah krusial bangsa yang kini kita hadapi selama ini. Untuk itu, supaya dua hal diatas dapat dilakukan dengan baik, sangatlah dibutuhkan adanya data yang berkualitas. Pertanyaannya adalah apakah data yang kita miliki bisa dikatakan berkualitas ? Apakah para petinggi partai politik mempunyai rekam jejak yang terukur dan akuntabel ? Dan lain sebagainya lagi.

Dalam dunia kepolitikan, menata masa depan bangsa dan negara yang kita cintai, kata kuncinya tetap berada di partai politik. Para petinggi partai inilah yang memiliki kesempatan untuk menampilkan Calon Presiden/Wakil Presiden di negeri ini. Tidak ada lembaga lain, selain partai politik, yang dapat mencalonkan seseorang menjadi orang nomor 1 dan 2 di Tanah Merdeka. Itu sebabnya, cukup logis jika banyak pihak yang ingin melahirkan partai politik.

Persoalannya adalah bagaimana dengan kualitas partai politik yang ada sekarang ? Lalu, apakah betul Calon RI 1 dan RI 2 yang diusung partai politik adalah orang-orang yang diinginkan rakyat ? Jangan-jangan para Calon tersebut hanyalah yang diinginkan partai politik ? Yang lebih aneh lagi adalah bila ada yang berpandangan, Calon yang nanti bakal dipilih rakyat adalah orang-orang yang telah dipilih partau politik ?

Sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang independen, mestinya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mampu melahirkan terobosan politik dalam menghormati aspirasi rakyat yang sesungguhnya. KPU bisa saja menyampaikan terlebih dahulu nama-nama yang dicalonkan partai politik kepada rakyat, sesuai dengan aturan yang ada. Hasil pilihan rakyat inilah yang nanti bakal dijadikan Calon Presiden/Calon Wakil Presiden. Ini berarti, calon yang akan dipilih benar-benar merupakan pilihan rakyat, bukan hanya pilihan partai politik.

Selama adat kakurung ku iga masih melekat dalam nurani sebagian besar pemimpin bangsa, sangat susah keinginan diatas dapat diwujudkan. Dalam proses pemilihan umum yang kita lakoni, masyarakat yang tidak tergabung dalam partai politik akan kesulitan menentukan pemimpin bangsa yang akan dipilihnya. Belum tentu yang dicalonkan partai politik adalah keinginan nuraninya. Atau apakah hal ini merupakan pemaksaan demokrasi ?

Semoga jadi percik permenungsn kita bersama.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Jangan Sembunyikan Ilmumu

WASILLAH SHUBUHKamis, 4 Juli 2024. BismillahirahmanirahimAssallamu’alsikum wr wbrkt JANGAN SEMBUNYIKAN ILMUMU. Saudaraku…Ketika saya menyampaikan postingan tentang agama, itu tidak berarti

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *