BENARKAH FOOD ESTATE GAGAL ?
BENARKAH FOOD ESTATE GAGAL ?
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
CNN Indonesia merilis, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan alasan utama kegagalan program lumbung pangan (food estate) di Indonesia.
Menurutnya, pendekatan yang selama ini diterapkan tidak holistik. Hal ini dinilai menyebabkan proyek-proyek besar seperti program cetak sawah 1 juta hektare (ha) dan pengembangan lahan pertanian di Merauke tidak berjalan sesuai harapan.
Lebih lanjut, Menteri Pertanian menjelaskan salah satu kesalahan utama dalam implementasi food estate adalah sistem pengelolaannya yang parsial dan kurang melibatkan teknologi secara berkelanjutan. Catatan kritisnya adalah apakah pelaksanaan food estate ini tanpa adanya sebuah desain perencanaan yang utuh, terukur, holistik dan komprehensif ?
Pengakuan Menteri Pertanian yang menyebut kesalahan utama dalam penerapan food estate adalah soal pengelolaan di lapangan, tentu saja bisa mengundang banyak tafsir. Kok bisa, program besar sekelas food estate mengalami kesalahan pengelolaan ? Kalau pengelolaan dimaknai sebagai proses mengatur, mengorganisir, dan mengawasi sumber daya, kegiatan, atau sistem untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, masa sih kita tidak mampu melakukannya dengan baik ?
Jujur diakui, pengelolaan sendiri, dapat mencakup berbagai aspek, seperti
perencanaan (menetapkan tujuan, strategi, dan rencana aksi). Lalu,
pengorganisasian (mengatur sumber daya, struktur organisasi, dan tugas-tugas). Kemudian, pengawasan (memantau dan mengawasi kegiatan, kinerja, dan hasil). Selanjutnya,
pengendalian (mengambil tindakan untuk memperbaiki atau mengoreksi kesalahan). Dan juga evaluasi (menganalisis hasil dan kinerja untuk meningkatkan pengelolaan).
Bila kita telaah dari sisi perencanaan, maka aspek pentingnya adalah apakah pengembangan Food Estate telah dirancang sedemikian rupa, sehingga terdokumentasikan dalam sebuah Grand Desain Pengembangan Food Estate untuk jangka waktu 25 tahun ke depan lengkap dengan Roadmap pencapaian nya ? Atau tidak, dimana pengembangsn food estate lebih diwarnai kepentingan sesaat ?
Kalau Menteri Pertanian yang bertanggungjawab pada sisi produksi pertanian mengakui titik lemah pengembangan food estate berada pafa aspek pengelolaan, maka persoalannya adalah siapa dan kelembagaan Pemerintah mana yang paling bertanggungjawab ? Lalu, apa yang harus digarap ke depan agar pengembangan food estate tidak mengalami kegagalan ?
Perdebatan soal lanjut atau tidaknya Program Food Estate, sepertinya masih akan terus berlangsung, seiring dengan terungkapnya berbagai kegagalan program Food Estate di berbagai daerah. Pemerintahan Prabowo/Gibran telah memberi kepastian, program Food Estate akan dilanjutkan. Catatan kritisnya, hal-hal apa saja yang perlu direvitalisasi agar beragam kegagalan tersebut dapat dirleminir.
Mengacu pemahanan dari sejumlah literatur, food estate diartikan sebagai konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan. Para pakar sering menyampaikan bahwa program lumbung pangan atau food estate merupakan hasil kolaborasi berbagai kementerian dalam upaya mengantisipasi terjadinya krisis pangan di Indonesia.
Atas pengertian seperti ini, dapat ditegaskan food estate merupakan kebijakan atau program yang bersifat multi-sektor. Dalam penyelenggaraan nya akan melibatkan berbagai Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah sebagai “prime mover”. Dengan kata lain, food estate merupakan program “keroyokan” diantara segenap pemangku kepentingan di bidang pembangunan pangan menuju ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan yang semakin berkualitas.
Kebijakan dan pengembangan Food Estate sendiri, tentu saja harus diawali dengan disusunnya Grand Desain atau Master Plan atau Rencana Besar untuk jangka panjang. Kita butuh Grand Desain Food Estate 25 Tahun Mendatang, lengkap dengan Roadmap pencapaiannya. Lazimnya perumusan perencanaan, tentu sangat dibutuhkan adanya pendekatan sistemik yang teknokratik, partisipatif, top down-bottom up dan politis.
Pendekatan teknokratik menjadi sangat penting untuk menyiapkan adanya Grand Desain. Pemerintah, tentu dapat mengajak kalangan Akademisi dan para pemangku kepentingan terkait untuk menyusunnya. Adapun definisi dari pendekatan teknokratik adalah perencanaan dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional yang bertugas melibatkan atau mengakomodasi keilmiahan dan perkembangan teknologi.
Lalu apa yang disebut dengan pendekatan partisipatif ? Perencanaan partisipatif menurut banyak literatur adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan masyarakat, dan dalam prosesnya melibatkan masyarakat (baik secara langsung maupun tidak langsung). Dalam pandangan beberapa ahli, suatu perencanaan pembangunan dikatakan partisipatif bila memenuhi ciri-ciri terfokus pada kepentingan masyarakat, partisipatoris, dinamis, sinergitas dan legalitas.
Proses perencanaan partisipatif, pada dasarnya mempertemukan perencanaan bottom up (masyarakat) dan perencanaan top down (pemerintah). Keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan perencanaan dapat disebut sebagai partisipasi. Hal ini sangat berpengaruh pada keberhasilan program. Proses dan mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), yang digarap mulai tingkat desa hingga nasional adalah wujud nyata dari semangat perencanaan ini.
Bottom up adalah perencanaan yang mendengarkan aspirasi rakyat dan kemudian menjadi pemikiran dalam perencanaan oleh pemerintah. Dalam kaitan ini, perencanaan yang ditempuh, mengutamakan sinergitas, kolaboratif dan koordinasi antar berbagai jenjang pada sektor yang sama. Pendekatan manajemen top-down adalah ketika keputusan hanya dibuat oleh kepemimpinan tingkat atas, sedangkan pada pendekatan bottom-up, semua tim dapat bersuara dalam jenis keputusan tersebut.
Tak kalah penting untuk dirumuskan terkait dengan pendekatan politik. Apa itu maksud pendekatan politik dalam perencanaan pembangunan? Seperti yang diketahui, pendekatan politik merupakan proses penyusunan rencana pembangunan didasarkan atas penjabaran visi dan misi dan program Presiden yang bersifat indikatif. Pendekatan ini merupakan komitmen dan keberpihakan Pemerintah terhadap perjalanan pembangunan yang dilakoninya.
Pro kontra food estate yang sekarang ini terjadi, boleh jadi penyebab utamanya karena belum ada komitmen yang jelas soal pembangunan food estate. Atau bisa saja dalam perencanaannya tidak meramukan keempat pendekatan perencanaan diatas, sebagai pisau analisa utama dalam penyusunannya. Lebih parah lagi, jika dalam pelaksanaannya diwarnai oleh target-target tertentu yang harus dicapainya. Ini yang tidak betul, sehingga melahirkan kegagalan disana-sini.
Jika kita menggarapnya dengan baik dan cerdas, tidak seharusnya program Food Estate mengalami kegagalan. Fakta menjelaskan kepada kita, kegagalan terjadi karena lemahnya petencanaan yang dilakukan. Kalau saja pola perencanaan menggunakan pendekatan yang digambarkan diatas, kita optimis, kegagalan tidak perlu terjadi.
Selain itu, penting diingatkan, penyelenggaraan program food estate, jangan lagi seluruhnya dikemas dalam bentuk proyek, namun sudah waktunya dirancang dalam bentuk gerakan masyarakat. Itu sebabnya dalam desain perencanaan yang ditempuh, dibutuhkan kehadiran penta helix sebagai pelaku aktif pengembangan food estate.
Akhirnya, sah-sah saja kalau Menteri Pertanian membuat pengakuan terhadap kegagalan food estate. Namun begitu, jangan lupa Food Estate adalah harapan masa depan. Dengan kekayaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki, mestinya Indonesia perkasa dalam menampilkan diri sebagai salah satu lumbung pangan dunia. Secara cita-cita, tekad seperti ini, memang telah mengumandang. Dalam memperingati 100 tahun Indonesia Merdeka, kita berkeinginan agar Indonesia mampu mencatatkan diri sebagai kekuatan baru pangan dunia.
Pertanyaannya adalah apakah kita sudah menyiapkan langkah pencapaiannya ? Jawaban inilah yang menjadi “pe-er” penting bagi Kabinet Merah Putih bentukan Presiden Prabowo. Sedini mungkin, secara konseptual Pemerintah perlu memiliki keberanian membuat rumusan : “sukses perencanaan = sukses pelaksanaan” program Food Estate.
Pengembangan Food Estate, sebetulnya sangat seirama dengan program prioritas Pemerintahan Prabowo/Gibran yang ingin mencapai swasembada pangan. Tinggal sekarang, bagaimana kemampuan Pemerintah dalam mendesain perencanaan yang digarapnya agar betul-betul dapat terterapkan dalam kehidupan nyata di lapangan.
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).