17 March 2025 02:59
Opini dan Kolom Menulis

“PE-ER” BERAT BULOG MENYERAP GABAH SETARA 3 JUTA TON BERAS

“PE-ER” BERAT BULOG MENYERAP GABAH SETARA 3 JUTA TON BERAS

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

 

Gabah setara 3 juta ton beras, bukanlah angka yang kecil. Penugasan Pemerintah kepada Perum Bulog untuk menyerap gabah setara 3 juta ton ini, benar-benar membutuhkan kerja keras dan kerja cerdas dari seluruh Keluarga Besar Perum Bulog yang berada di seluruh Indonesia. Hal ini jelas merupakan pekerjaan yang sangat mulia dan berkaitan dengan mati hidupnya suatu bangsa.

 

Bagi Perum Bulog sendiri, yang jadi persoalan, bukan hanya terkait dengan masalah penyerapan gabah yang penuh dengan rintangan, tapi juga akan bertalian dengan masalah penyimpanan gabah setelah diserap sebesar 3 juta ton setara beras. Dengan jumlah gudang penyimpanan yang terbatas, dapat dipastikan Perum Bulog dituntut untuk mencari lokasi lain yang layak dijadikan tempat penyimpanan gabah.

 

Itu sebabnya, kita berharap agar Perum Bulog, tidak hanya memfokuskan diri pada upaya penyerapan gabah semata, namun juga telah membahas secara cerdas, bagaimana dengan penyimpanannya nanti. Ini berarti, perlu ada desain perencanaan yang holistik dan komprehensif antara penyerapan dan penyimpanan berbasis hasil kajian mendalam.

Sebagai sebuah semangat, menyerap gabah setara 3 juta ton beras, sah-sah saja untuk ditetapkan. Namun, secara realitas, kita perlu mempertimbangkan banyak faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian tekad tersebut. Kita penting mendalami dengan seksama bagaima perilaku sehari-harinya, sehingga dirinya paham bahwa bekerja ini mengandung kehormatan dan tanggungjawab.

 

Salah satu soal yang bakal muncul adalah bagaimana dengan kualitas gabah petani yang dihasilkan, mengingat sekarang penyerapan Perum Bulog tidak lagi disyaratkan oleh kadar air dan kadar hampa dengan ukuran tertentu, supaya gabahnya diterima Bulog seharga Rp. 6500,- per kg. Berapa pun kadar air dan kadar hampa, asalkan sudah berbentuk gabah kering panen, Perum Bulog wajib menyerap dengan harga sebesar Rp. 6500,- per kg.

 

Dalam suasana iklim ekstrim yang kita hadapi beberapa tahun belakangan ini, sering terjadi hal-hal yang membuat banyak pihak terpaksa mengerutkan dahi, karena ada pengalaman buruk bagi petani. Sebut saja ketika El Nino menyergap dua tahun lalu, banyak petani yang nelangsa karena mengalami gagal panen akibat cuaca panas yang menyengat dan berkepanjangan.

 

Sekarang pun demikian. Di banyak daerah, dilaporkan para petani terpaksa memanen hasil panenannya bersamaan dengan musim hujan. Akibatnya, gabah yang dihasilkan rata-rata berupa gabah basah dengan kadar air diatas 25 %. Jika Perum Bulog dituntut untuk menyerap gabah berdasar aturan yang ada, maka jika kadar air berada di angka 30 %, maka harga jualnya pasti akan lebih rendah dari Rp. 6500,- per kg.

 

Untungnya, persyaratan itu, kini telah dicabut dan tidak diberlakukan lagi. Artinya, berapa pun kadar air dan kadar hampanya, selama berbentuk gabah, Perum Bulog bakal menyerapnya dengan harga Rp. 6500 -. Pemerintah sengaja menggunakan “satu harga” gabah, agar petani terlindungi dari oknum-oknum yang doyan memainksn harga jual di petani tatkala musim panen tiba.

 

Penetapan harga pembelian Pemerintah Rp. 6500,- tentu telah dipertimbangkan masak-masak oleh Pemerintah. Melalui perdebatan cukup panjang diantara para pemangku kepentingan dunia pergabahan dan perberasan, diputuskanlah HPP Gabah dan Beras yang dianggap dapat menguntungkan semua pihak. Catatan kritisnya keputusan HPP Gabah, angkanya selalu lebih rendah dari yang diusulkan para petani.

 

Diberlakukannya HPP Gabah tanpa syarat, tentu saja mengundang perdebatan banyak pihak, khususnya para pihak yang merasakan kenikmatan sesaat dengan ditetapkannya syarat kadar air maksimal 25 % dan kadar hanpa 10 %, seandainya petani ingin memperoleh harga jual Rl. 6500,- tersebut. Mereka bisa saja bermain-main dengan tabel rafaksi, untuk mendapatkan keuntungan sesaat.

 

Dengan diterapkannya “satu harga” gsbah oleh Pemerintah, mestinya tidak perlu lagi terdengar keluhan petani yang menyatakan harga anjlok. Siapa pun yang berperan sebagai offtaker gabah petani, baik itu Perum Bulog atau Pengusaha Penggilingan Padi di seluruh Indonesia, telah dimintakan untuk menyerap gabah petani pada harga Rp.n6500,- per kg.

 

Menariknya, ternyata Presiden Prabowo memantau langsung bagaimana penerapan program ini berjalan. Di lokasi yang sudah melaksanakan panen, memang masih terekam ada penggilingan padi swasta yang membeli gabah petani dengan harga dibawah Rp. 6500,-. Mendengar laporan seperti ini, Presiden Prabowo otomatis memerintahkan jajarannya untuk “turun gunung” guna mengamankan HPP Gabah pada angka yang telah ditetapkan.

 

Perum Bulog sebagai operator pangan yang ditugaskan Pemerintah menyerap gabah petani sebanysk-banyaknya, tentu akan sukses melaksanakan tugas, jika memang gabahnya berlimpah di petani. Namun, bila gabahnya tidak ada, maka gabah mana yang akan dibelinya. Itu sebabnya, keakuratan data luas tanam dan luas panen menjadi sangat penting. Pertanyaannya, apakah data proyeksi Badan Pusat Statistik sudah seakurat yang diharapkan ?

 

Keraguan terhadap data pangan, sebetulnya telah mengemuka sejak lama. Tidak sedikit kalangan pengusaha yang mempercayai data sendiri, ketimbang memakai data Pemerintah, sekiranya mereka akan memulai membangun usaha pertanian. Pebisnis paham betul, data adalah segalanya. Jika datanya sampah maka hasilnya pun akan menjadi sampah. Untuk itu, kita berharap agar data luas tanam dan luas panen yang ada, bukan yang sifatnya data abal-abal.

 

Akhirnya kita berharap, data produksi padi yang diproyeksikan BPS adalah data yang benar-benar akurat dan bukan data pesanan. Ini penting disampaikan, karena datanya tidak sesuai dengan fakta di lapangan, boleh jadi keputusan Pemerintah menyetop impor beras tahun ini merupakan kekeliruan yang cukup fatal. Semoga tidak begitu !

(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *