MENUJU “SATU HARGA” GABAH !
MENUJU “SATU HARGA” GABAH !
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Soal cabut-mencabut regulasi, bukanlah hal sulit untuk dilakukan. Yang susah adalah menetapkan regulasi berkelanjutan. Regulasi butuh kematangan dari mereka yang membidaninya. Regulasi tidak hanya berisi Bab, Pasal dan Ayat. Lebih penting lagi adalah sampai sejauh mana regulasi itu memiliki ruh atau jiwa yang dapat diterima oleh segenap komponen bangsa.
Beberapa literatur menyatakan, regulasi adalah aturan atau ketentuan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga lain untuk mengatur dan mengawasi kegiatan atau aktivitas tertentu. Regulasi dapat berupa undang-undang, peraturan, keputusan, atau standar yang harus dipatuhi oleh masyarakat atau pelaku usaha.
Umumnya, regulasi memiliki beberapa tujuan, antara lain pertams
mengatur dan mengawasi kegiatan atau aktivitas tertentu untuk menjaga keamanan, keselamatan, dan keseimbangan. Kedua, melindungi hak-hak dan kepentingan masyarakat atau pelaku usaha. Ketiga, meningkatkan efisiensi dan efektifitas kegiatan atau aktivitas tertentu. Dan keempat,
mengurangi risiko dan dampak negatif dari kegiatan atau aktivitas tertentu.
Dalam beberapa hari belakangan ini, Pemerintah sepertinya dibuat sibuk oleh regulasi terkait penyerapan gabah dan beras menjelang panen raya padi berlangsung. Pemerintah merasa penting untuk menetapkan regulasi yang dapat memuaskan segenap warga bangsa, utamanya para petani yang akan terkena secara langsung dengan lahirnya regulasi tersebut.
Namun begitu, sekalipun sudah disiapkan dengan sungguh-sungguh, terkadang ada saja titik lemah dari aturan yang telah ditetapkan. Salah satunya berkaitan dengan Peraturan Kepala Badan Pangan Nasional No. 2/2025 tentang Perubahan atas Harga Pembelian Pemerintah dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras. Dalam Peraturan tetsebut ada beberapa poin ysng perlu dicabut karena tidak sesusi dengan situasi dan kondisi yang tengah tercipta.
Dicabutnya aturan itu tertuang dalam Keputusan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Harga Pembelian Pemerintah dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras. Aturan ini ditetapkan pada 24 Januari 2025. Dengan aturan baru ini, petani tidak perlu was-was, jika harga jual gabah yang dipanennya bakal dibeli dengan harga lebih rendah dari Rp. 6500,-
Pertanyaan mendasarnya, mengapa aturan ini dilahirkan setelah Peraturan Kepala Badan Pangan Nasional No. 2/2025 dilahirkan ? Anehnya lagi, kurang dari sebulan aturan itu ditetapkan, kini langsung dicabut dan dirubah dengan aturan lain. Ini yang membuat tanda tanya besar. Padahal, kalau kita menyiapkan aturan yang melibatkan kaum tani, sebaiknya dilakukan kajian yang mendalam dan komprehensif.
Kita sendiri tidak tahu dengan pasti, kok bisa hal itu terjadi. Akibatnya wajar, bila kemudian muncul diskusi di masyarakat, yang menilai lahirnya Perkabadan No. 2/2025 terkesan seperti yang tidak matang. Pengalaman semacan ini, sungguh memilukan. Kesannya, buat aturan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti yang tidak serius.
Menetapkan sebuah regulasi, tentu harus dilandasi oleh berbagai pertimbangan. Esensinya, tentu bukan hanya sekedar menerbitkan, namun yang lebih penting bagaimana mengawal regulasi itu, supaya memberi berkah bagi masyarakat. Itu sebabnya, mengapa dalam menyusun sebuah Undang Undang atau Peraturan Daerah selalu diawali dengan penyusunan Naskah Akademik.
Hal yang sama, bisa saja diterapkan dalam penetapan Peraturan Menteri atau Peraturan Kepala Badan. Para perumus dan penyusun Peraturan atau Keputusan, pasti sudah memikirkan dalam-dalam atas materi yang akan dituangkan dalam aturan tersebut. Artinya, sebelum aturan itu ditetapkan, selalu ada rancangan peraturan yang disiapkan untuk dijadikan Peraturan.
Rancangan inilah yang akan didiskusiksn dengan sungguh-sungguh, sehingga akan terjadi diskusi yang penuh dengan kehangatan. Seabreg masalah yang menghadang, bila peraturan tersebit diterbitkan, pasti aksb dibahas secara serius. Begitu pun dengan rintangan dan tantangan yang bakal mengganggu penerapan aturan tersebut di lapangan.
Kaitannya dengan Perkabadan No. 2/2025 yang belum sebulan ditetapkan, kemudian Lampirannya dicabut kembali, benar-benar membuat banyak pihak terperanjat. Seorang sahabat sempat nyeletuk, “kenapa ya dalam membuat aturan yang sangat penting, mesti terjadi kekeliruan segala”. Ya itu alasannya, melahirkan rsgulasi sangat membutuhan kematangan berbagai aspek kehidupan.
Dicabutnya Lampiran I huruf A dan Lampuran II Perkabadan No. 2/2025 dan kemudian diberlakukannya satu harga untuk membeli gabah petani seharga Rp. 6500,- per kg, memang tidak menyusahkan petani dalam menjual hasil panennya. Dapat dibayangkan nagaimana ribetnya, jika persyaratan kadar air dan kadar hsmpa diterapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran diatas.
Bagi petani dengan dipatoknya harga pembelian Pemerintah sebesar Rp. 6500,- terlepas berapa kadar air dan kadar hampa gabah yang dihadilksn petani, tentu saja membuat petani tidak perlu was-was atas anjloknya harga gabah saat panen berlangsung. Tinggal sekarang, bagaimana Pemerintah menyuluh petani agar mampu menghasilkan gabah kering panen berkualitas baik.
Mari kita ikuti perkembangannya !
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).