9 January 2025 03:27
Opini dan Kolom Menulis

GURU JANGAN GAGAP MENYIKAPI EUFORIA DEEP LEARNING

Oleh IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan)

Saat ini wacana deep learning (pembelajaran mendalam) menjadi trending topic di kalangan pengamat dan praktisi pendidikan. Di media sosial pun berseliweran konten terkait dengan hal ini. Bahkan sempat muncul minkonsepsi bahwa deep learning akan menjadi kurikulum merdeka. Ramainya wacana ini dipantik oleh video obrolan Mendikdasmen Abdul Mu’ti dengan beberapa orang terkait pendekatan deep learning yang rencananya akan diimplementasikan dalam menningkatkan meningkatkan mutu pembelajaran di masa kepemipinannya. Potongan obrolannya pun kemudian beredar di media sosial.

Pascaramainya wacana deep learning, dinas Pendidikan, satuan Pendidikan, organisasi profesi guru, dan komunitas pendidikan ada yang melakukan respon cepat, menindaklanjutinya dengan melakukan seminar, IHT, atau workshop terkait deep learning. Dalam perkembangannya Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Puskurjar) Kemendikdasmen pun mengedarkan paparann singkat terkait deep leraning. Soft copy-nya sudah banyak beredar di grup-grup WA. Paparan tersebut hanya sebuah langkah awal, tentu ke depannya perlu ada sosialisasi, pelatihan, dan panduan teknis yang lebih jelas terkait deep learning agar bisa dipahami dengan mudah oleh para guru.

Di tengah euforia terkait deep learning, cukup banyak guru yang sepertinya gagap dalam menyikapinya. Seolah “kebijakan” ini harus dilaksanakan pada semester ini. Mereka mengaku bingung bagaimana harus mengimplementasikannya dalam pembelajaran. Apalagi dengan menggunakan istilah asing (Bahasa Inggris), deep learning dianggap sebagai barang baru. Apalagi saat mendengar pilar-pilarnya seperti mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning. Dalam pikirannya, mungkin guru yang bertanya “pembelajaran seperti apa lagi ini?”

Deep learning sebenarnya bukan barang baru dalam dunia pendidikan. Hal ini sudah sejak lama dibahas. Lalu, mengapa saat ini terkesan menjadi euforia? Salah satu karakter masyarakat kita adalah kadang gagap dan gelagapan dengan sebuah hal atau kebijakan baru. Teori ini sudah ada sejak tahun 1970-an. Diantaranya dalam artikel jurnal yang ditulis oleh Marton dan Saljo tahun 1976. Artikel tersebut membahas teori pembelajaran mendalam dan pembelajaran dangkal. Kemudian teori experiential learning (Kolb, 1984) yang menekankan pembelajaran berbasis pengalaman yang meliputi refleksi, konseptualisasi, dan eksperimen. Lalu ada buku yang berjudul Deep Learning Engage the World Change to the World yang ditulis oleh Michael Fullan, Joanne Quinn, dan Joanne McEachen tahun 2018.

Kajian deep learning semakin berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi dan informasi, digitalisasi, dan kecerdasan buatan, sehingga deep learning seolah identik dunia teknologi. Saya melihat bahwa deep learning yang disampaikan oleh Pak Mu’ti bukan berorientasi dalam implementasi di dunia teknologi, tetapi lebih fokus kepada implementasinya dalam pembelajaran. Oleh karena itu, muncul tiga pilar penopang deep learning yaitu; 1) mindful learning (belajar penuh dengan kesadaran), 2) meaningful learning (belajar bermakna/mengambil makna dari materi yang dipelajari), dan 3) joyful learning (belajar dengan menyenangkan/ belajar aktif, partisipatif, kooperatif, kolaboratif).

Pada praktiknya, deep learning dengan ketiga pilarnya tersebut disadari atau tidak, guru sudah melaksanakannya dalam pembelajaran. Hanya tidak tahu atau atau tidak sadar hal tersebut adalah deep learning. Saat guru melakukan apersepsi, menyampaikan tujuan pembelajaran, menyampaikan materi, melakukan tanya jawab, mengarahkan siswa berdiskusi, presentasi, menganalisis, mengevaluasi, memecahkan masalah, menyusun dan menyelesaikan sebuah proyek. Hal itu sudah mindful learning. Dengan demikian, mindful learning adalah pembelajaran yang mengaktifkan siswa, fokus pada proses belajar, dan membangun kemampuan berpikir kritis siswa.

Saat siswa memahami, kemudian mampu mengaitkan materi yang dipelajari dengan kondisi nyata dalam kehidupannya (kontekstual), mampu menyimpulkan, merefleksi, dan mengambil hikmah atau makna dari materi yang dipelajari, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu sudah sudah meaningful learning. Dengan demikian, meaningful learning adalah pembelajaran yang mengarahan siswa belajar dan mengambil makna dari pengalaman secara kontekstual.

Saat siswa termotivasi untuk belajar, merasa senang dan gembira selama pembelajaran, berpartisipasi secara aktif dalam diskusi, aktif dalam kerja kelompok, mau bertanya, mau menjawab pertanyaan dari guru atau temannya, lalu menanggapi jawaban dari guru atau temannya secara antusias. Hal itu sudah joyful learning. Dengan demikian, joyful learning adalah belajar menjadi sebuah pengalaman yang sangat berharga dan berkesan bagi mereka. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran guru dalam menciptakan suasana yang menyenangkan tersebut. Guru mampu menghidupkan suasana belajar yang kondusif dan positif. Terbangun chemistry dan hubungan positif antara guru dan siswa.

Deep learning (pembelajaran mendalam) bukan kurikulum, tetapi sebuah alternatif pendekatan pembelajaran yang berpusat pada murid. Oleh karena itu, sebagai sebuah pendekatan pembelajaran, deep learning tidak dikaitkan dengan kurikulum tertentu. Deep learning bisa diintegrasikan atau bisa diimplementasikan pada kurikulum apapun. Sejak zaman CBSA, KTSP, K-13, dan saat ini kurikulum merdeka, deep learning bisa dilakukan.

Begitu pun hal-hal yang pernah menjadi trending topic seperti CTL, STEM, pendekatan saintifik, HOTS, pembelajaran berdiferensiasi, dll. Hal-hal tersebut tidak identik dengan “milik” kurikulum tertentu. Semua bisa dilakukan pada berbagai label kurikulum. Mengapa? Karena kurikulum hanya sebuah “alat” dalam pembelajaran. Dan pemanfataan “alat” tergantung kepada gurunya.

Berdasarkan kepada hal tersebut, para guru tidak perlu “gagap” terkait dengan ramainya wacana dan rencana implementasi deep learning dalam pembelajaran. Lakukan saja pembelajaran seperti biasanya sesuai dengan gaya mengajar guru. Yang penting guru mengajarnya menyenangkan, murid betah belajar bersama gurunya. Mengapa? Karena mengajar pada hakikatnya adalah sebuah seni.

Guru pun tidak perlu gelagapan dalam mengimplementasikan deep learning. Deep learning orientasinya memang mengarahkan kepada kemampuan berpikir (kognitif) tingkat tinggi (HOTS/ Higher Order Thinking Skills) yaitu menganalisis (C-4), mengevaluasi (C-5), dan mencipta (C-6). Walau demikian, guru tidak selalu langsung menerapkannya. Guru harus menyampaikan materi dari dasar dahulu agar siswa tidak mengalami kesulitan. Apalagi, jika siswanya ada yang kemampuan awalnya rendah.

Sebelum masuk ke deep learning (pembelajaran mendalam), guru sebaiknya mengawalinya dengan surface learning (belajar dari permukaan/awal) atau kemampuan berpikir (kognitif) tingkat rendah (LOTS/ Lower Order Thinking Skills) yaitu mengetahui (C-1), memahami (C-2), dan mengaplikasikan (C-3). Siswa belajar secara bertahap sebagaimana mengacu pada Taksonomi Bloom.

Dengan demikian, deep learning jangan dijadikan beban baru bagi guru karena hal tersebut mungkin sudah bahkan sedang dilakukan oleh guru saat ini di kelas. Tinggal dipahami lebih lanjut konsep dan implementasinya agar tidak terjadi miskonsepsi.(*) 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *