JANGAN SAMPAI PRODUKSI BERAS 2025 LEBIH RENDAH DARI 2024
JANGAN SAMPAI PRODUKSI BERAS 2025 LEBIH RENDAH DARI 2024
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Sebetulnya, bukan hal aneh, jika produksi beras tahun berjalan, akan lebih rendah hasilnya dibanding tahun sebelumnya. Itulah yang terjadi di tahun 2024. Menurut rilis Badan Pusat Statistik (BPS) berdasar perhitungan Kerangka Sampling Area (KSA), produksi beras nasional 2024 tercatat sebesar 30,34 juta ton. Angka ini lebih rendah ketimbang produksi beras 2023 yang jumlahnya 31,20 juta ton.
Yang jadi pertanyaan, kok bisa produksi beras turun, padahal saat ini kita sedang gencar-gencarnya menggenjot produksi. Apakah turunnya produksi beras ini disebabkan oleh terjadinya “kejahatan kerah putih” yang ketika itu dilakukan Menteri Pertanian, Sekjen Kementerian Pertanian dan Direktur di salah satu Direktorat Jendral ? Atau ada faktor lain yang lebih berurusan dengan teknis pelaksanaan ?
Anjloknya produksi beras, boleh jadi menjadi aib bagi Kementerian Pertanian, yang memiliki tugas fungsi meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pertanian, utamanya beras. Lebih parah lagi, turunnya produksi beras, terjadi di saat kebutuhan beras dalam negeri sedang meningkat, baik untuk konsumsi atau untuk cadangan beras Pemerintah.
Kalau kita cermati pengakuan jujur Menteri Pertanian, turunnya produksi beras di Tanah Merdeka ini, lebih disebabkan oleh 10 faktor penting, yang saat itu belum tertangani dengan baik. Faktor penting yang sering dituding sebagai biang kerok anjloknya produksi beras adalah adanya iklim ekstrim yang dalam kenyataannya diperlihatkan dengan adanya sergapan El Nino.
Pemerintah sendiri, seperti yang tak berkutik menghadapinya. Iklim ekstrim adalah fenomena alam yang terkadang sulit disolusikan jalan keluarnya. Justru yang perlu direnungkan apakah seabreg kebijakan dan program pembangunan yang ditempuh sudah betul-betul bersahabat dengan alam raya ? Atau malah sebaliknya, banyak program yang melahirkan kerusakan lingkungan ?
Sebagai gambaran adalah proses pemupukan tananan yang selama ini dilaksanakan. Apakah selama ini kita menyadari dengan semakin gencarnya sawah ladang dibombardir oleh pupuk kimia, maka lahan sawah akan berkurang tingkat kesuburannya ? Bayangkan, lebih dari 50 tahun, sejak revolusi hijau menggelinding, hampir tiada henti sawah-sawah dipacu untuk menggenjot produksi.
Di lain pihak, kita juga menyadari, hampir tidak ada kebijakan Pemerintah, yang berupaya untuk menyehatkan lagi sawah-sawah yang sedang sakit tersebut. Dalan kondisi tidak sehat, sawah-sawah di paksa untuk panen 3 kali setahun (IP 300), bahkan ada yang dipacu agar panen 4 kali setahun (IP 400). Sawah pun terekam, dipaksa untuk jadi mesin produksi beras.
Pertanyaan kritisnya adalah mengapa Pemerintah tidak cepat-cepat melahirkan kebijakan dan program yang arahnya menyehatkan sawah ? Langkah ini, mestinya segera digarap, karena bagi negara kita, sawah merupakan “investasi kehidupan” bagi keberlangsungan generasi. Kalau tidak dijaga, dipelihara dan dilestarikan, dari mana generasi masa depan akan memperoleh beras ?
Penyelamatan lahan sawah sepertinya tidak cukup efektip ditempuh Pemerintah. Hadirnya UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 12/2020 tentang Lahan Sawah Dilindungi (LSD), terasa belum begitu ampuh mengerem berlangsung nya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.
Itu sebabnya, kita berharap agar dalam rangka mengefektipkan regulasi diatas, perlu dilakukan gerakan penyelamatan lahan pertanian, utamanya lahan sawah, yang melibatkan unsur penta helix dalam pelaksanaannya. Gerakan inilah yang akan melakukan pendampingan, pengawalan, pengawasan dan pengamanan program penyelamatan sawah yang ada.
Sebagai “pabrik” yang menghasilkan beras, sawah yang tersisa, perlu dijaga dari serbuan oknum yang ingin mengalih-fungsikan menjadi non pertanian. Dalam hal ini, Pemerintah perlu tegas dalam bersikap. Jangan pelihara oknum-oknum yang doyan menjual-beliksn peraturan, hanya untuk memuaskan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Di sisi lain, merosotnya produksi beras, bisa juga disebablan oleh tidak berfungsinya infrastruktur pertanian dengan baik. Sebut saja soal irigasi yang sekitar 40 % kini tengah rusak. Tidak berfungsinya irigasi, tentu saja membuat produktivitas menjadi rendah, sehingga produksi tidak sesuai dengan yang ditargetkan. Disinilah dibutuhkan adanya sinergitas dan kolaborasi dari berbagai komponen bangsa.
Sinergi dan kolaborasi Kementerian Pertanian dengan Kementerian PU, menjadi hal sangat penting dan strategis dalam merevitalisasi irigasi di banyak daerah, khususnya di sentra-sentra produksi pangan. Lebih penting lagi, apa yang sebaiknya ditempuh setelah irigasi tersebut direvitalisasi. Hal ini, jelas membutuhkan pencermatan seksama dari kita semua.
Sesungguhnya, masih banyak faktor penyebab lain yang membuat turunnya priduksi beras. Dengan adanya keseriusan Pemerintah untuk menggenjot produksi setinggi-tingginya, kita percaya produksi beras tahun 2025, tidak akan lebih rendah dari produksi beras tahun 2024. Hanya, kalau nemang masih terjadi, maka itu namanya keterlaluan.
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).