Petani Berdasi/ Petani Bersafari
PETANI BERDASI/PETANI BERSAFARI
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Petani adalah profesi yang mengelola tanah untuk menanam berbagai komoditas, seperti padi, buah-buahan, sayur-mayur, dan bunga. Hasil panennya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau dijual kepada orang lain. Petani memiliki peran penting dalam dunia pertanian dan ekonomi global. Mereka tidak hanya menentukan ketersediaan pangan, tetapi juga berkontribusi secara signifikan pada ekonomi global.
Petani dapat dibedakan menjadi beberapa golongan, seperti petani pemilik lahan, petani penyewa lahan, petani penggarap, dan buruh tani. Ada juga yang membaginya ke dalam tiga golongan yakni 1. Petani Kaya : petani yang memiliki luas lahan pertanian 2,5 ha lebih. 2. Petani Sedang : petani yang memiliki luas lahan pertanian 1 sampai 2,5 ha. 3. Petani Miskin : petani yang memiliki luas lahan pertanian kurang dari 1 ha.
Bahkan ada juga yang disebut dengan Petani Berdasi/Petani Bersafari. Istilah petani yang terakhir ini merupakan kiasan yang merujuk pada orang yang berusaha di bidang pertanian, tetapi tidak pernah memegang cangkul. Petani Berdasi menggambarkan sosok pengusaha sukses yang kemana-mana memakai dasi, sedangkan Petani Bersafari merujuk kepada Pejabat Negara yang doyan memakai safari.
Kecenderungan meningkatnya jumlah Petani Berdasi/Petani Bersafari, tentu tidak dapat dihindari. Seiring maraknya alih kepemilikan lahan petani ke non petani, membuat banyak pengusaha dan pejabat yang berinvestasi di sektor pertanian. Alih kepemilikan lahan sawah menjadi hal serius untuk ditangani, karena jika tidak diselesaikan sedini mungkin, bakal mengganggu peningkatan produksi pangan, utamanya beras.
Alih kepemilikan lahan sawah menjadi semakin serius untuk dicermati, setelah muncul fenomena semakin banyaknya petani yang menjual sawah ladang mereka untuk menutupi kebutuhan yang nendesak. Salah satunya keperluan untuk membiayai anak-anak mereka menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi.
Fenomena semakin banyaknya para orang tua di perdesaan, yang berprofesi sebagai petani padi, melarang anak-anaknya menjadi petani padi, kini menjadi masalah serius yang butuh perhatian dari semua pihak. Sebab, salah satu pertimbangannya, bekerja menjadi petani padi saat ini, sama saja dengan memasuki “lautan kemiskinan” yang susah untuk berubah nasib.
Petani padi, tidak lagi dianggap sebagai profesi yang menjanjikan. Suasana hidup yang dialami, hanya sekedar bertahan hidup agar nyawa tetap tersambung. Dengan kepemilikan lahan sawah yang gurem, mana mungkin mereka akan berubah kehidupan. Bahkan bagi mereka yang tercatat sebagai petani gurem dan buruh tani, hidup di negeri ini identik dengan melestarikan kemiskinan.
Sebagai warga bangsa, baik petani gurem atau buruh tani, memiliki hak untuk dapat hidup sejahtera dan bahagia di Tanah Merdeka. Kewajiban Pemerintahlah untuk mensejahtwrakan mereka. Suasana hidup petani berlahan sempit ini, menjadi alasan kuat, mengapa kaum muda perdesaan semakin banyak yang enggan jadi petani padi.
Mereka lebih senang berduyun-duyun pergi ke kota-kota besar meninggalkan kampung halamannya mencari penghidupan yang lebih menjanjikan. Mereka sudah lelah dengan kehidupan ala kadarnya. Mereka ingin ada perubahan ke arah yang senafas dengan cita-cita nasional. Dan sangat wajar, bila mereka pun ingin terbebaskan dari suasana hidup miskin.
Adanya kemauan politik Presiden Prabowo untuk meraih swasembada pangan, tentu patut disambut dengan perasaan gembira. Kaum tani berharap, swasembada pangan yang ingin dicapai, bukan hanya menggenjot produksi pangan setinggi-tingginya, namun juga akan dibarengi dengan terciptanya kesejahteraan petani yang semakin baik.
Dalam bahasa lain, Pemerintah perlu mendesain “swasembada pangan yang mensejahterakan kehidupan petaninya”. Hal ini perlu diingatkan, karena pengalaman selana ini menunjukkan, produksi pangan meningkat, tapi kesejahteraan petaninya jalan ditempat. Apalah artinya produksi meningkat cukup signifikan, bila harga jual di petani malah melorot cukup tajam.
Nelangsa dan sengsaranya kehidupan petani gurem dan buruh tani, tentu sangat berbeda dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh para Petani Berdasi/Petani Bersafari. Mereka terekam sedang ongkang-ongkang kaki sambil menikmati tekonologi paling metakhir, dan dii lain sudut, kita tengok pula ada warga bangsa yang tengah terjebak kemiskinan ekstrim.
Antagonisme kehidupan ini, tampak dengan nyata dalam kehidupan, yang mestinya tidak perlu terjadi di negeri yang telah 79 tahun lebih menikmati kemerdekaannya. Jurang kehidupan antara “penikmat pembangunan” dengan “korban pembangunan”, tidak boleh terus menganga lebar. Sudah saatnya jurang itu semakin dipersempit, bahkan dihilangkan.
Maraknya Petani Berdasi/Petani Bersafari, seharusnya mampu tampil menjadi “prime mover” dalam merubah potret petani ke arah yang lebih baik. Petani Berdasi/Petani Bersafari dengan seabreg “kekuatan” yang dimilikinya, dapat membawa perubahan berarti dalam kehidupan di perdesaan. Pertanyaannya, adakah kemauan mereka untuk memulainya ?
Rupanya, hanya Petani Berdasi/Petani Bersafari, yang lebih pas untuk memberi jawabannya.
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).