29 November 2024 12:35
Opini dan Kolom Menulis

Nasib “Petani Jerami”

NASIB “PETANI JERAMI”

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Ketika masih menjabat Gubernur Jawa Barat, Kang Emil sapaan akrab Ridwan Kamil, menawarkan “iklan” di banyak media massa soal Petani Milenial. Diri nya mengundang 6000 anak muda untuk mau gabung menjadi petani yang diharapkan mampu mendongkrak kehidupan nya ke arah yang lebih baik.

Sayang, setelah dilakukan “seleksi” administratif, ternyata hanya sekitar 2300 anak muda saja yang memenuhi syarat untuk menjadi Petani Milenial di Jawa Barat. Tawaran ini menarik, karena di tengah pandemi covid 19 saat itu, para pemimpin di negeri ini dituntut untuk mampu melahirkan terobosan-terobosan cerdas.

Tulisan ini hanya menyentil Kang Emil di tengah kesibukannya kampanye Pilgub DKI bahwa di tengah-tengah Pertanian 4.0, di negeri ini masih bertebaran yang nama nya Petani Jerami. Esensi inilah yang ingin diulas agar Kang Emil dan para pengambil kebijakan di Tanah Merdeka mulai melek semelek-melek nya bahwa ada hal yang lebih serius untuk dituntaskan, seandai nya kita bicara soal pembangunan petani.

Perbincangan tentang kaum tani, seolah tak kunjung selesai. Sejak Booke bicara soal “economic dual” dan Scoot meneliti “moral petani”, pertanyaan tentang bagaimana mensejahterakan kehidupan petani, senantiasa akan mengedepan menjadi perdebatan yang cukup hangat. Semua sepakat bahwa kaum tani perlu dibela dan dilindungi, sekalipun dalam fakta nya seringkali termarginalkan oleh berbagai kebijakan yang diluncurkan.

Anehnya, sekalipun setiap Pemerintahan selalu berjuang keras untuk memerdekakan kaum tani dari jeratan kemiskinan, ternyata hingga detik ini pun yang namanya kaum tani, tetap saja belum mampu hidup layak dan sejahtera. Petani tampak menangis namun tidak mencucurkan air mata. Petani selalu berteriak tapi tidak terdengar suara nya. Begitulah nasib petani di tanah merdeka yang sudah 75 tahun lebih terbebas dari belenggu penjajahan.

Potret diri petani, belum seindah yang didambakan. Petani tetap terjebak dalam kehidupan yang memilukan. Walau pun Indonesia sempat menjadi perhatian warga dunia atas keberhasilan nya dalam mewujudkan swasembada beras 40 tahun lalu, nasib dan kehidupan petani rupanya tidak “seiring” dengan kisah sukses diatas.

Petani tetap melarat, dan belum banyak yang mampu menjadi konglomerat. Padahal jika kita lihat catatan sejarah perjalanan bangsa, yang disebut petani senantiasa akan disimpan ke dalam posisi yang cukup strategis dan penting.

Di masa kemerdekaan, petani dikenali sebagai “soko guru perjuangan” dalam merebut Indonesia merdeka. Di masa Indonesia giat-giat nya melaksanakan pembangunan di berbagai bidang, maka pantas pula bila petani disebut selaku “soko guru pembangunan”. Dan ketika negeri ini memasuki orde reformasi, pada tempatnyalah, kalau petani pun dinamakan sebagai “soko guru reformasi”.

Hal ini wajar tercipta, karena kalau kita ikuti perkembangan pembangunan pertanian, khususnya yang berhubungan dengan perberasan, maka setidaknya ada dua momentum strategis yang melibatkan kerja keras petani padi yang ujung-ujung nya mampu membawa keharuman bagi bangsa dan negara.

Pertama adalah kisah sukses Indonesia meraih swasembada beras di tahun 1984, dan yang kedua adalah kemampuan Indonesia dalam meraih swasembada beras jilid 2 pada tahun 2008 yang lalu.

Namun begitu, penting dicermati bahwa pembangunan pertanian tidak identik dengan pembangunan petani. Belum tentu, pembangunan pertanian yang sukses akan memberi dampak yang signifikan terhadap keberhasilan pembangunan petani.
Bukti nya, di beberapa daerah, naik nya produksi padi secara signifikan, ternyata tidak otomatis menyebabkan naik nya kesejahteraan petani padi.

Malah pernah tercatat oleh BPS yang kemudian dipublis melalui angka NTP (Nilai Tukar Petani) padi, naik nya angka produksi itu menjadikan melorot nya tingkat kesejahteraan petani padi itu sendiri. Inilah yang kemudian mengemuka menjadi sebuah “ironi” pembangunan pertanian di tanah merdeka ini.

Citra dan jati diri petani kembali mendapat sorotan. Pasal nya, tentu bukan hanya hingga detik ini kita belum berani memberi “definisi” yang akurat tentang siapa petani itu, namun di sisi yang lain, ternyata dalam beberapa tahun ke belakang, muncul pula istilah “petani jerami”, setelah sebelum nya mengumandang sebutan “petani berdasi”. Perdebatan panjang tentang profil dan karakteristik petani, rupa nya menjadi semakin mengasyikan untuk dicermati, setelah adanya fenomena baru di lapangan terkait dengan sosok petani itu sendiri.

Ada nya pandangan yang berupaya mendefinisikan petani dari “kedaulatan” nya terhadap lahan sawah, memang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam. Apakah yang disebut dengan petani itu adalah yang “menguasai” lahan sawah, sekalipun yang bersangkutan tidak pernah turun ke sawah, atau kah mereka yang “mengusahakan” lahan sawah, walau pun diri nya tidak memiliki lahan sawah ?

Mereka yang “menguasai” lahan sawah umum nya bagian dari anak bangsa yang hidup dan bermukim di perkotaan. Bisa pejabat yang gandrung berpakaian safari atau pengusaha yang sehari-hari nya senang berjas lengkap dengan dasi nya. Dari gambaran inilah kemudian lahir istilah “petani bersafari” mau pun “petani berdasi”.

Sedangkan mereka yang “mengusahakan” sawah adalah para penyakap, penyewa, penggarap atau petani buruh yang sama sekali tidak memiliki lahan sawah. Mereka menggarap sawah yang bukan milik nya. Mereka bertani hanya untuk menyambung nyawa demi memberi makan sanak keluarga nya.

Mereka tinggal di pedesaan dan seringkali menanggung beban yang cukup berat. Mereka inilah yang dalam nomenklatur pertanian disebut “petani gurem” atau “petani buruh”. Lalu, apa yang dimaksud dengan “petani jerami” ? Apa beda nya dengan istilah “petani gabah” dan “petani beras” ?

“Petani Jerami” adalah sebuah gambaran tentang kisah hidup petani yang dalam melaksanakan usahatani nya hanya mampu menghasilkan jerami, karena pada saat musim panen tiba, mereka harus membayar pinjaman alias utang-utang nya kepada pemilik sawah atau tengkulak yang membantu nya.

Apakah untuk membayar biaya pengobatan karena ada sanak keluarga nya yang sakit, apakah untuk membiayai anak nya sekolah, atau untuk membayar talangan pembelian pupuk, obat-obatan dan lain sebagainya.

Akibatnya, jangankan untuk membawa pulang beras ke rumah, untuk membawa gabah pun mereka itu tidak mampu, karena hasil panenan nya habis untuk membayar utang-utang nya. Yang tersisa adalah tumpukan jerami dan menyebabkan mereka itu mendapatkan atribut selaku “petani jerami”.

Elegie Petani Jerami, sepatutnya kita jadikan bahan pembelajaran dalam merancang “pembangunan petani” ke depan. Masalah petani, ternyata bukan hanya sekedar berbudidaya di sawah ladang atau sekedar menjualnya ke pasar, namun banyak hal lain yang turut terlibat di dalam nya.

Sistim waris dan tekanan alih fungsi lahan misalnya, merupakan dua hal yang paling menonjol dalam melemahkan “kedaulatan petani” terhadap lahan sawah nya. Belum lagi yang terkait dengan fenomena program RASKIN beberapa waktu lalu, dimana sekitar 54 %, penerima manfaat program RASKIN adalah para petani dan nelayan. Artinya, di beberapa daerah terkuak bahwa selain produsen, ternyata mereka pun layak disebut sebagai “net consumers”.
Dihadapkan pada kondisi yang demikian, tentu saja hal ini penting mendapat perhatian serius dari kita bersama. Kita perlu secepatnya mencari solusi cerdas nya. Maksudnya, sebagai anak bangsa, yang nama nya petani tetap harus kita lindungi agar nasib dan kehidupan nya menjadi semakin baik dan tidak termarginalkan sepanjang masa.

Ke arah sanalah sebaiknya kita menuju ! (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Wayang Kehidupan

Wayang kehidupan (Tatang)    Pentas sekejap menguras air mata Emosi jiwa melanda Menata masa mengingat rasa Rindu menggebu mengingat ibu

Read More »

Nasib “Petani Jerami”

NASIB “PETANI JERAMI” OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Ketika masih menjabat Gubernur Jawa Barat, Kang Emil sapaan akrab Ridwan Kamil, menawarkan

Read More »

Pelangi Pematang Sawah

Pelangi Pematang Sawah (Tatang Rancabali) Masa mudaku lekat keringat Memeluk peluh penuh keluh Pundak hendak memikul beban Gelandang menuju gelanggang

Read More »

Murah Hati

MUHASABAH DIRIKamis, 28 November 2024 BismillahirahmanirahimAsalamu’alaikum wrm wbrkt MUTIARA HATI Saudaraku,Hidup ini disebut  enteng enteng bangga Namun agar hidup ini

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *