18 November 2024 02:33
Opini dan Kolom Menulis

SWASEMBADA PANGAN : BUKAN HANYA “BAHASA POLITIK” !

SWASEMBADA PANGAN : BUKAN HANYA “BAHASA POLITIK” !

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Benar seperti yang dipidatokan Proklamator Bangsa Bung Karno sekitar 72 tahun lalu. Dinyatakan urusan pangan menyangkut mati dan hidupnya suatu bangsa. Bagi bangsa kita, pangan merupakan sumber kehidupan, sekaligus sumber penghidupan sebagian besar warga masyarakat. Itu sebabnya, Pemerintah penting untuk menanganinyq secara serius.

Setidaknya, dikenal ada empat madhab dalam pembangunan pangan, yakni swasembada, ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan. Swasembada pangan dianggap sebagai kata kunci terwujudnya ketahanan, kenandirian dan kedaulatan pangan. Tanpa terwujud swasembada pangan lebih dulu, omong kosong kita akan meraih ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan.

Atas gambaran demikian, menjadi cukup masuk akal, bila Pemerintahan Prabowo/Gibran telah mencanangkan pencapaian swasembada pangan sebagai salah satu prioritas yang ingin diraihnya. Swasembada pangan penting untuk segera diwujudkan. Bahkan Presiden Prabowo menegaskan agar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, kita ditantang untuk dapat membuktikannya.
Namun begitu, patut disadari hasrat untuk mewujudkan swasembada pangan dalam suasana kekinian, bukanlah hal mudah untuk dicapai. Menggapai swasembada pangan, benar tidak segampang anak-anak membolak-balik telapak tangan bermain “hom pim pah”. Swasembada pangan adalah proses panjang yang butuh perjuangan untuk meraihnya.

Istilah swasembada pangan di awal Pemerintahan Prabowo/Gibran, rupanya mampu menyedot perhatian publik untuk ikut menyikapinya dengan seksama. Banyak pengamat yang optimis, hasrat mencapai swasembada pangan bukanlah hal yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Tapi, di sisi lain ada juga pihak-pihak yang meragukannya.

Perbedaan cara pandang seperti ini wajar terjadi. Pro kontra dalam menyikapi suatu kemauan politik juga sangat dihalalkan dalam iklim demokrasi. Tinggal sekarang, bagaimana kemanpuan kita untuk mengolahnya, sehingga diperoleh solusi cerdas yang diharapkan. Kita ingin swasembada pangan, bukan sekedar “bahasa politis”, namun menjadi “bahasa realitas”.

Ketika seorang Presiden bicara soal swasembada pangan, tentu respon publik akan sangat berbeda jika yang bicara itu seorang Guru Besar Pangan dari Universitas. Yang disampaikan Presiden cenderung akan dianggap sebagai “bahasa politis”, sedangkan di sisi lain, yang diutarakan Guru Besar, umumnya akan dinilai sebagai “bahasa teknokratik”.

Tugas kita bersama adalah bagaimana “menyandingkan” kedua bahasa diatas menjadi satu kesatuan cara pandang dalam mewujudkan kemauan politik tersebut menjadi sebuah fakta dalam kehidupan. Dalam bahasa lain, kita perlu segera mengejawanrahkan dari bahasa politis menjadi bahasa realitas. Atau bisa juga ditegaskan merubah wacana menjadi kenyataan.

Kalau swasembada pangan disusun oleh aneka macam swasembada berbagai jenis bahan pangan seperti beras, jagung, kedelai, daging sapi, gula pasir, bawang putih, dan lain sebagainya, dapat disimpulkan, swasembada pangan akan susah dicapai hanya dalam kurun waktu lima tahun. Untuk satu jenis bahan pangan saja seperti beras, dibutuhkan perjuangan panjang untuk mencapainya.

Bila kita ikuti rumusan Badan Pangan Dunia (FAO), tentang hakekat swasembada, maka persyaratan pokoknya, 90 % dari produksi yang dihasilkan diraih oleh para petani di dalam negeri. Sisanya yang 10 %, boleh saja kita impor. Jadi, kalau kita mau swasembada beras, 90 % kebutuhan dalam negeri harus dihasilkan oleh produksi dalam negeri.

Ketika Pemerintah dalam tahun ini merencanakan impor beras sebesar 5 juta ton, dapat dipastikan, kita kehilangan atribut swasembada beras. Mengapa ? Sebab, angka 5 juta ton, jelas sudah diatas 10%. Produksi beras dalam negeri sendiri hanya sekitar 31 juta ton. Mestinya, impor beras yang dilakukan, masimal 3,1 juta ton, jika predikat swasembada beras masih ingin digenggam.

Terlepas dari beratnya tantangan yang harus dijawab, swasembada pangan sebagai bahasa politik Presiden, tentu harus dapat diamankan. Sebagai bangsa yang pernah berpengalaman menggapai swasembada beras, mestinya pengalaman kisah sukses swasembada beras dapat ditularkan kepada upaya mencapai swasembada pangan.

Masalahnya adalah apakah Pemerintah saat ini mau dan ikhlas untuk belajar terhadap pengalaman Pemerintahan Orde Baru dalam kegemilangannya meraih swasembada beras ? Atau, apakah masih ada diantara kita yang berpandangan semua produk Pemerintahan Orde Baru itu jelek semua, sehingga tidak ada satu pun program yang pantas untuk ditiru dan diteladani ?

Saat inilah, kita sebagai bangsa dituntut untuk “jembar manah” dalam menyikapi perjalanan pembangunan yang diarungi. Swasembada beras 1984 adalah proses monumental yang mendunia. Kisah sukses swasembada beras, telah tercatat dengan tinta emas dalam peta bumi pembangunan psngan dunia. Semua warga dunia sepakat, apa yang diraih Indonesia adalah prestasi berkelas internasional.

Akhirnya perlu diingatkan upaya menggeser makna swasembada pangan dari bahasa politis menjadi bahasa realitas, tentu sangat membutuhkan kerja keras dan kerja cerdas segenap komponen bangsa. Pertanyaan kritisnya adalah apakah kita siap untuk melakoninya ? Sebagai bangsa pejuang, jawaban yang disampaikan harusnya SIAP !

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Dzikir dan Syukur

  𝓑𝓲𝓼𝓶𝓲𝓵𝓵𝓪𝓪𝓱𝓲𝓻𝓻𝓪𝓱𝓶𝓪𝓪𝓷𝓲𝓻𝓻𝓪𝓱𝓲𝓲𝓶Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wabarokatuuh Sabtu, 16 November 2024 / 14 Jumadil awal 1446 Dzikir dan Syukur ِّ عَنْ مُعَاذِ

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *