4 October 2024 15:26
Opini dan Kolom Menulis

“BEAK DENGKAK”

“BEAK DENGKAK”

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Terjemahan bahasa Indonesia-nya kata beak dengkak adalah “segala usaha telah dilakukan, namun belum berhasil juga meraih tujuan”. Kalimat seperti ini sering diucapkan para pejabat publik, yang merasa kurang berhasil atas kinerja yang dilakukannya. Atau bisa juga diucapkan oleh seorang lelaki muda yang kecewa karena tidak mendapat balasan cinta sucinya dari gadis yang dicintainya.

Beak dengkak, sebetulnya bisa saja dimaknai sebagai sebuah pengakuan. Seorang pejabat publik yang telah diberi kepercayaan, kehormatan dan tanggungjawab oleh rakyat, tentu ingin memberi balasan terbaik atas amanah yang diembannya. Itu sebabnya, para pejabat publik, akan berupaya seoptimal mungkin membuktikan janji-janji kampanye yang disampaikannya.

Walaupun kita tahu, apa yang diucapkan saat kampanye lebih bersifat bahasa politik, namun akan lebih baik, jika ketika kampanye berlangsung, bukan cuma menyampaikan hal-hal yang sifatnya mengecat langit. Rakyat sepertinya sudah bosan mendengar janji-janji gombal yang tidak menapak bumi. Rakyat ingin bahasa yang realistis dan dapat dirasakan dalam kehidupan nyata di lapangan.

Namun begitu, kita juga tidak dapat memungkiri, para calon pejabat publik, rupanya sudah terobsesi oleh hal-hal yang penuh dengan sensasi. Mereka ingin dipandang rakyat sebagai pemimpin yang serba bisa dalam menuntaskan tantangan pembangunan. Mereka ingin terkesan pro rakyat dalam menyampaikan ide dan gagasan, saat masa kampanye berjalan.

Anehnya, setelah dirinya terpilih dan mendapat mandat rakyat untuk menjadi pemimpin di tingkatannya masing-masing, ternyata kiprah yang ditempuh nya, umumnya akan bertolak-belakang dengan apa yang disampaikan dalam kampanyenya. Ada beberapa pejabat publik yang memposisikan diri sebagai “raja kecil”. Bahkan ada pula yang menjadikan dirinya sebagai sumber kebenaran dan pengharapan.

Lalu apa yang terjadi selanjutnya ? Rupanya ada Kepala Daerah yang menganggap dirinya paling berkuasa, paling benar dan paling keren. Dirinya betul-betul tampil ibarat raja kecil di daerah. Tidak boleh dikritik, apalagi disalahkan. Dari suasana inilah muncul anekdot ” ceuk uing soto nya soto”. Padahal kalau kita nikmati, maka itu bukan soto, tapi sayur lodeh.

Begitulah suasana yang terjadi di masyarakat. Inilah salah satu alasannya, mengapa menghadapi Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 nanti, kita harus pandai-pandai memilih Kepala Daerah yang memahami hati rakyat dan bukan cuma memuaskan keinginan dan kebutuhan pribadi atau keluarganya saja. Bangsa ini butuh pemimpin yang berkarakter dan bersahaja.

Idealnya, pejabat publik merupakan sosok panutan yang di hatinya tertanam rasa cinta sangat mendalam terhadap rakyat yang memilihnya. Dirinya, tidak mungkin akan hidup berfoya-foya sambil merampok APBN atau APBD. Lebih gawat lagi, secara diam-diam, bersama konco-konco terdekatnya, melakukan kejahatan kerah putih, hanya untuk menikmati kepuasan sesaat.

Hal ini mengingatkan kita atas kelakuan seorang pejabat publik yang doyan mengundang petani cantil untuk diajak nyanyi bareng dalam acara yang digelarnya. Ceritanya bisa lebih ramai, ketika ujung-ujungnya, sang pejabat publik ini sering menyawer sang penyanyi dengan cuan yang tidak sedikit. Inilah fakta kehidupan. Semua anak bangsa tahu persis cerita seperti itu.

Catatan kritisnya, mengapa para pejabat publik yang sudah berjanji lewat sumpah jabatannya, masih senang melakukan praktek-praktek korupsi dan gratifikasi, padahal sudah banyak contoh yang dioperasi tangkap tangan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) ? Ini yang patut dicarikan solusi cerdasnya. Apakah betul APH sudah beak dengkak dalam melawan kiprah para koruptor ?

Ah, rasanya tidak ! APH tentu akan berjuang habis-habisan untuk memerangi korupsi dan nepotisme yang cenderung merugikan masyarakat. APH tidak akan tinggal diam, jika disekitarnya tercium ada hal-hal yang berkaitan dengan masalah penyalah-gunaan kekuasaan dan wewenang. Masalahnya, bagaimana kalau APH nya ikut terlibat dalam korupsi dan gratifikasi ?

Atas gambaran demikian, wajar jika ada yang bertanya : apakah mungkin korupsi dan sejenisnya bakal hilang dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Tanah Merdeka ? Bukankah masalahnya akan semakin menjelimet, jika dalam fakta kehidupan, ternyata ada APH, baik KPK, Kejaksaan dan Kepolisian yang ikut-ikutan menjadi pelaku kejahatan kerah putih ?

Ini berarti, apakah masih ada keyakinan, korupsi dan nepotisme akan dapat diberangus, sehingga bangsa ini mampu bebas korupsi dan nepotisme ? Keyakinan itu tentu ada. Hanya, apakah keyakinan yang sifatnya mengecat langit akan dapat diwujudkan menjadi menapak bumi ? Ini sebetulnya yang sulit dibuktikan. Apalagi jika ada jargon, korupsi itu dibenci namun direstui.

Akhirnya penting disampaikan, apakah benar, sekarang bangsa kita sudah “beak dengkak” menghadapi praktek korupsi dan nepotisme yang terjadi di negeri ini ? Apakah masih ada keyakinan, suatu saat bangsa ini akan dapat mewujudkan kehidupan yang bebas korupsi ? Atau semua pertanyaan tadi hanyalah sebuah pelipur lara ditengah ketidak-berdayaan kita bersama ?

Semoga dalam kepemimpinan Prabowo/Gibran 5 tahun ke depan praktek korupsi dan nepotisme akan disapu bersih dalam dunia Pemerintahan di negara kita. Harapannya, jangan sampai Pemerintah merasa beak dengkak untuk melawan nya. Harusnya tidak, karena teknologi dan inovasi akan terus tercipta. Termasuk instrumen untuk memerangi praktek korupsi dan nepotisne itu sendiri. (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Benar yang dikatakan Proklamator Bangsa Bung Karno ketika meletakan batu pertama pembangunan.Gedung Fakultas

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *