19 November 2024 05:30
Opini dan Kolom Menulis

SIAPA BILANG PETANI JUAL BERAS ?

SIAPA BILANG PETANI JUAL BERAS ?

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Ada anggapan yang keliru. Melejitnya harga beras di pasar, seolah membuat petani untung. Pertanyaannya apakah betul beras yang dijual di pasar itu milik petani ? Atau bisa juga pertanyaannya dirubah, siapa bilang petani menjual beras ? Mungkin ada, tapi pasti jumlahnya sedikit. Umumnya petani akan menjual gabah kering panen. Dari sinilah muncul istilah “petani gabah”.

Lalu, siapa dong yang menjual beras ? Atau siapa sebetulnya yang paling diuntungkan dengan terjadinya kenaikan harga beras ? Jawabnya tegas, pasti bukan petani. Kalau bukan petani, lantas siapa ? Ya, itulah para pedagang. Mereka inilah yang paling senang dengan adanya kenaikan harga beras, yang sekarang ini dikesankan mengalami kenaikan harga yang “ugal-ugalan” atau bahkan “gila-gilaan”.

“Pedagang beras” dalam kaitannya dengan tata niaga perberasan, merupakan kelompok yang paling diuntungkan ketika harga beras di pasar mengalami kenaikan harga yang cukup tinggi. Terlebih jika harga tersebut, jauh diatas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras dan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras yang ditetapkan Pemerintah.

Dihadapkan pada suasana demikian, Pemerintah sendiri terkesan seperti yang tak berdaya mencarikan solusi cerdas dan bernasnya. Walau sudah banyak langkah yang ditempuh Pemerintah untuk “newajarkan” lagi harga beras, ternyata keinginan itu terekam sukar untuk diwujudkan. Harga beras tetap tinggi dan enggan untuk turun kembali.

Bila pedagang beras bisa tertawa lepas sambil menikmati kenaikan harga yang sangat menguntungkan, maka lain lagi ceritanya dengan para petani padi. Mereka hanya mampu tersenyum kecut sambil meratapi nasib dan kehidupannya. Mereka seperti yang susah untuk berubah nasib. Profesi petani padi yang digelutinya, ternyata hanya cukup untuk menyambung nyawa.
Sekitar 100 hari bercocok-tanam padi, hasilnya tidak sebanding dengan apa yang telah mereka korbankan. Petani selalu mempertanyakan, mengapa saat panen tiba, harga jual gabah selalu anjlok ? Pemerintah sebagai “pemilik” kekuasaan dan kewenangan, terlihat lebih banyak melongonya ketimbang mencarikan jalan keluarnya.

Kejadian seperti ini, terus saja selalu berulang setiap musim panen datang. Bahkan menjadi sebuah keanehan, jika saat panen tiba, harga gabah dapat melesat tinggi. Akibatnya wajar, jika harapan petani untuk berubah nasib, lebih mengemuka sebagai jargon dari pada menjadi fakta kehidupan di lapangan. Petani Bangkit Mengubah Nasib, masih lebih enak dipidatokan para pejabat saja.

Yang membuat kita geleng-geleng kepala, mengapa sebelum musim panen tiba, harga gabah di pasaran cukup tinggi, sehingga membuat petani sumringah ? Kalau Pemerintah berpihak ke petani dan kesejahteraannya ingin cepat meningkat, tentu Pemerintah harus berjuang keras untuk mempertahankan agar harga gabah tetap tinggi dan tidak ada upaya untuk menurunkannya lagi.

Sayangnya, sekalipun Pemerintah memiliki kekuasaan dan kewenangan, ternyata semuanya itu seperti yang tak bertuah ketika sudah berhadapan dengan harga gabah disaat musim panen tiba. Mengikuti kebiasaan lama, waktu masa panen datang, dapat dipastikan harga gabah kering panen otomatis akan anjlok. Inilah yang terjadi dan membuat petani padi tetap hidup sengsara dan melarat

Menyadari sebagian besar petani padi berakhir di gabah dalam proses usahatani padi yang digarapnya, semestinya Pemerintah menjaga betul tingkat harga gabah yang wajar dan memberi keuntungan optimal bagi petani di saat musim panen tiba. Tidak banyak permohonan petani kepada Pemerintan. Petani ingin agar waktu musim panen, harga gabah tidak anjlok.

Catatan kritisnya adalah apakah Pemerintah memiliki kemampuan untuk mengendalikan harga gabah dan beras, jika Pemerintah sendiri hanya menguasai gabah dan beras sekitar 9 % dari jumlah beredar di negara kita ? Sisanya, sekitar 91 % malah dikuasai oleh swasta. Dalam kaitan ini, lumrah bila Pemerintah seperti yang tak berdaya mengendalikannya.

Posisi beras dalam pembangunan, akan semakin menyulitkan Pemerintah, jika tidak segera dilakukan terobosan cerdas untuk menanganinya. Dengan turunnya produksi beras secara nasional, yang disebabkan oleh berbagai macam faktor, lalu dilain pihak terjadi pembengkakan kebutuhan beras di dalam negeri, sangat membutuhkan adanya strategi yang lebih cerdas.

Kita tidak bisa lagi, hanya memfokuskan diri pada upaya peningkatan produksi semata, tapu kita pun sudah waktunya memberi perhatian yang lebih sungguh-sungguh ke sisi konsumsi. Kebijakan meragamkan pola makan masyarakat, sudah saatnya dihangatkan kembali. Laju konsumsi masyarakat terhadap nasi, perlu secepatnya direm, sekaligus dijadikan program prioritas ke depan.

Kembali ke judul tulisan kali ini, “siapa bilang petani jual beras”, pada intinya ingin memberi “warning” kepada para penentu kebijakan sektor perberasan, agar jangan salah persepsi dalam mencermati agribisnis perberasan. Sebetulnya, kita ingin agar hasil akhir petani dalam menggarap usahatani padinya berujung di beras, bukan di gabah. Namun dengan berbagai keterbatasan, harapan itu belum dapat diwujudkan.

Harapan tinggal harapan. Kenyataan sungguh jauh berbeda. Status Petani Beras entah kapan bisa diraih. Hingga kini sebutannya masih Petani Gabah. Kita bergarap dengan dipercayanya mantan Ketua Umum HKTI sebagai Presiden NKRI, dalam 5 tahun ke depan akan terjadi perubahan dan perbaikan nasib petani ke arah yang lebih ceria. Kita jelang Petani Indonesia yang sejahtera. Ya, mestinya bisa !

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *