18 November 2024 19:20
Opini dan Kolom Menulis

AGRICOLA MEDAL FAO

AGRICOLA MEDAL FAO

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

DetikFinance merilis, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menerima penghargaan Agricola Medal dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (Food and Agriculture Organization/FAO). Penghargaan tertinggi FAO itu diserahkan langsung oleh Direktur Jenderal FAO, Qu Dongyu di Istana Merdeka, Jakarta. Penghargaan Agricola Medal diberikan kepada para pemimpin dunia yang dinilai memiliki upaya dan dukungan besar pada tujuan mendasar FAO dalam mencapai ketahanan pangan global.

Dirjen FAO menyebutkan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia menunjukkan perkembangan pesat dalam transformasi sistem pertanian dengan menerapkan prinsip pengembangan pertanian permanen/ berkelanjutan, bahkan di saat dunia sedang menghadapi berbagai tantangan global, seperti pandemi COVID-19.

Pada masa pandemi COVID-19, sektor pertanian telah menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan pertumbuhan 2,2 persen. Tingkat kemiskinan di Indonesia juga terus menurun secara konsisten. Penghargaan Agricola Medal menjadi bukti dari upaya Indonesia dalam mewujudkan ketahanan pangan dan kehidupan masyarakat yang lebih baik, tanpa ada satupun warga yang terabaikan.

Indonesia telah menunjukkan kerjasama dan kolaborasi yang kuat dalam mencapai tujuan bersama di bidang ketahanan pangan global. Seperti tersirat dalam Undang Undang No.18/2012 tentang Pangan, bertumpu pada upaya mencapai swasembada pangan, Pemerintah bertekad kuat untuk mengokohkan ketahanan pangan guna menggapai kemandirian dan kedaulatan pangan.

Apa yang telah digarap oleh Pemerintahan Jokowi selama 10 tahun, kelihatannya, bakal terus dikembangkan oleh Pemerintahan baru masa bakti 2024-2029. Prabowo/Gibran dengan tegas menyatakan, salah satu program prioritas yang perlu diwujudkan adalah mencapai swasembada pangan, energi dan air. Khusus pencapaian swasembada pangan, terekam banyak hal yang bakal digarapnya.

Salah satu kebijakan yang dipilih dan tampil menjadi tugas pokok dan fungsi Kementerian Pertanian adalah menggenjot produksi beras setinggi-tingginya menuju swasembada. Program nyata yang dilakukan adalah dengan mengembangkan lahan rawa sebesar 1 juta hektar. Lalu, program pompanisasi guna menjangkau 500 ribu hektan dan program tanam sisipan padi gogo sebesar 300 ribu hektar.

Selain itu, Pemerintah juga tahu persis, setidaknya ada 10 penyebab utama, mengapa bangsa ini mengalami penurunan produksi beras dengan angka cukup terukur dan signifikan. Ke 10 penyebab tersebut adalah pertama adalah volume pupuk subsidi dikurangi 50 persen. Amran mencatat alokasi pupuk subsidi pada 2021 sebanyak 8,78 juta ton. Namun tiap tahun alokasi pupuk turun hingga hanya 4,73 juta ton tahun ini.

Kedua adalah sebanyak 17 hingga 20 persen petani tidak bisa menggunakan Kartu Tani. Ketiga adalah petani hanya diberi pupuk satu kali tanam. Keempat Lembaran Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Jawa mencatat 30 juta orang tidak boleh menerima pupuk. Kelima, alsintan (alat dan mesin pertanian) sudah tua. Keenam adalah kekeringan akibat El Nino.

Ketujuh adalah saluran irigasi 60 persen kondisinya perlu direhabilitasi. Kedelapan, jumlah petugas penyuluh lapangan (PPL) hanya 50 persen dari kebutuhan. Kesembilan bibit unggul berkurang. Dan kesepuluh anggaran turun. Inilah 10 titik lemah dari proses pembangunan pertanian di negeri tercinta. Diluar ini, tentu akan ada masalah lain yang tak kalah menarik untuk dijadikan bahan diskusi.

Dua masalah serius yang butuh penanganan cerdas dan bernas adalah soal alih fungsi lahan/alih kepemilikan lahan dan alih generasi petani padi. Ke dua problem ini ibarat bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak dengan sendirinya. Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi non pertanian, sepertinya butuh pengendalian yang lebih baik, agar tidak semakin menjadi-jadi.

Alih generasi petani padi pun, kini perlu mendapat prioritas dalam penanganannya. Sebab, dengan semakin banyaknya kaum muda yang enggan berprofesi sebagai petani padi, atau lebih senang bermigrasi ke kota-kota besar, maka bangsa ini akan kesulitan untuk mendapatkan kaum muda yang mau turun langsung ke sawah untuk bercocok-tanam.

Agricola Medal FAO, jelas bukan program yang dirancang untuk membuat para penerimanya senang dan riang gembira. Agricola Medal, tentu disiapkan sedemikian rupa oleh FAO, supaya orang-orang yang menerima penghargaan ini, menjadi semakin giat dalam mewujudkan ketahanan pangan global seperti yang digambarkan oleh Dirjen FAO diatas.

Catatan kritisnya adalah apakah FAO akan memberi perhatian ekstra terhadap beberapa Kepala Negara yang telah diberi kehormatan untuk semakin giat menumbuhkan ketahanan pangan berkualitas ? Atau tidak, karena yang jadi semangat FAO dalam memberi Agricola Medal ini, memang baru sampai pada pemberian penghargaan semata. Sedihnya, setelah penghargaan diterima, hal ini menjadi tanggungjawab masing-masing.

Dasar pertimbangan FAO memberi Agricola Medal kepada beberapa Kepala Negara, tentu bukan hanya berbasis pada kemampuan para petani padi dalam negeri dalam menggenjot produksi padi, sehingga tahun 2022 lalu Indonesia mampu memproklamirkan diri sebagai negara yang mampu meraih swasembada beras, namun hal ini pun dilengkapi oleh kondisi ketahanan pangan bangsa dan negara yang semakin baik.

Semoga pemberian Agricola Medal FAO ini, akan menjadi bekal Prabowo/Gibran dan Kabinetnya dalam melanjutkan kisah sukses pembangunan pangan di negeri ini. Ayo kita genjot produksi dan rem konsumsi pangan masyarakat. Ke arah sanalah sebaiknya kita melangkah.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *