5 October 2024 18:11
Opini dan Kolom Menulis

MENGGUGAT KEPERKASAAN PERTANIAN

MENGGUGAT KEPERKASAAN PERTANIAN

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Keperkasaan sektor pertanian dalam peta bumi pembangunan ekonomi nasional, kini banyak digugat oleh berbagai kalangan. Umumnya, mereka mempersoalkan kinerja sektor pertanian dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Mereka kerap membandingkan kondisi sebelum pandemi Covid 19 dengan suasana setelah pandemi berubah status jadi endemi.

Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mencatat pertumbuhan sektor pertanian tahun 2018 sebesar 3,88 %, yang kemudian menurun jadi 3,6 % tahun 2019. Setelahnya anjlok menjadi 1,77 % pada tahun 2020 dan sedikit meningkat jadi 1,87 % pada tahun 2021. Pada tahun 2022 naik sedikit jadi 2,25 %. Pemerintah terus berupaya agar pertumbuhan sektor pertanian semakin membaik, minimal mencapai angka yang sama dengan sebelum pandemi Covid 19 menyergap.

Namun begitu, patut dicatat, pada saat pandemi Covid 19, kita perlu bangga terhadap kinerja pertumbuhan sektor pertanian. Betapa tidak ! Sebab, sektor pertanian masih mampu tumbuh secara positip, sedang sektor-sektor prioritas lain, malah bertumbuh negatif. Banyak pihak menyebut, sektor pertanian telah tampil sebagai penyelamat ekonomi sekaligus jadi tulang punggung perekonomian bangsa.

Tak kalah menariknya untuk disampaikan, menurunnya pertumbuhan sektor pertanian, bisa jadi disebabkan oleh “jalan ditempat” nya produktivitas padi secara nasional. Tahun 2022, produktivitas padi per hektar tercatat sebesar 5,24 ton. Angka ini naik tipis menjadi 5,26 ton per hektar pada tahun 2023. Data ini, jelas menggambarkan stagnan nya produktivitas padi per hektar, menjadi salah satu penyebab rendahnya pertumbuhan sektor pertanian.

Dalam satu tahun belakangan ini, pertumbuhan sektor pertanian betul-betul cukup terganggu perkembangan nya, setelah El Nino kembali menyergap beberapa daerah di negara kita. Secara nyata, El Nino telah menurunkan capaian produksi padi dengan angka yang cukup signifikan. Gagal panen terjadi di banyak daerah. Bahkan Kementerian Pertanian memprediksi gagal panen padi karena El Nino berkisar antara 380 ribu ton hingga 1,2 juta ton beras.

Konsekwensi turunnya produksi beras, langsung berdampak terhadap surplus yang dihasilkan. Pada tahunb2022, kita masih mencatatkan surplus di angka 1,34 juta ton. Sedangkan pada tahun 2023 melorot menjadi 700 ribu ton beras. Angka diperoleh dengan membandingkan hasil produksi beras dengan tingkat konsumsi masyarakat pada tahun 2023. Produksi tercatat sebesar 30,90 juta ton, sedangkan konsumsi masyarakat tercatat sebesar 30,20 juta ton.

Atas hal yang demikian, sah-sah saja kalau banyak pihak yang melakukan penggugatan terhadap keperkasaan sektor pertanian. Pertanyaan mendasarnya, apakah betul keperkasaan sektor pertanian, khususnya terkait dengan dunia perberasan, kini tengah mengalami pemudaran ? Lalu, ada juga yang melanjutkan dengan pertanyaan, mengapa hal ini dapat terjadi ? Jadi tidak salah jika muncul pertanyaan, ada apa sebetulnya dengan dunia pertanian, khususnya perberasan di negeri ini ?
Dunia perberasan, benar-benar dunia yang penuh dengan misteri. Semangat memposisikan beras sebagai komoditas politis dan strategis saja,
sudah menarik minat untuk menelusuri lebih dalam lagi. Kok bisa, beras disebut sebagai komoditas politis dan strategis. Kenapa beras tidak disebut komoditas ekonomis sebagaimana komoditas pangan yang lain ? Apakah karena beras dinilai sebagai bahan pangan pokok sebagisn besar masyarakat, sehingga perlu mendapat perlakuan secara khusus ?

Atau apakah karena beras telah dikaitkan dengan keberlangsungan suatu bangsa ? Tanpa beras seolah-olah tidak ada kehidupan. Atau bisa saja kita akan tegak lurus dengan apa yang dipidatokan Proklamator Bangsa Bung Karno sekitar 71 tahun lalu, yang menyatakan urusan pangan, termasuk beras, menyangkut mati dan hidupnya suatu bangsa. Itu sebabnya, siapa pun yang berkuasa di negara kita, jangan pernah bermain-main dengan pangan.

Menurunnya peran sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi nasional, tentu perlu dijadikan catatan tersendiri dalam merancang kebijakan dan arah pembangunan ke depan. Turunnya produksi beras, jangan dianggap hal yang sepele. Sebab, dampak yang ditimbulkannya bisa melebar kemana-mana. Soal beras, kini bukan hanya berkaitan dengan urusan perut, tapi juga berhubungan dengan cadangan beras Pemerintah dan keperluan program bantuan pangan beras.

Catatan kritisnya, apa yang harus kita tempuh, jika saat ini, produksi beras para petani padi di dalam negeri, sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan beras di dalam negeri ? Tentu, ini bukan cuma yang bertalian dengan kebutuhan konsumsi masyarakat. Ini penting, karena bila kita bandingkan data produksi beras hasil petani dalam negeri, dengan konsumsi beras masyarakat pada tahun lalu, sebenarnya masih surplus sekitar 700 ribu ton beras. Sayangnya, jumlah yang 700 ribu ton ini, belum mampu mencukupi kebutuhan beras secara keseluruhan.

Satu-satunya jalan keluar dalam jangka pendek, tidak ada solusi lain, kecuali impor. Sekali pun impor beras dinilai sebagai langkah yang tidak populer, tapi demi tersambungnya nyawa kehidupan masyarakat, terpaksa Pemerintah harus menempuhnya. Untung regulasi kita tidak mengharamkannya. Malah dalam penyempurnaan UU No.18/2012 tentang Pangan, yang namanya impor pangan telah dijadikan opsi untuk menutupi keperluan ketersediaan pangan secara nasional.

Dalam kaitannya dengan dunia perberasan, terutama yang erat hubungannya dengan ketersediaan beras, jelas terbukti dunia perberasan nasional terekam sudah tidak perkasa lagi. Sebagai bangsa yang pernah bangga dengan swasembada berasnya (1984 & 2022), kini terpaksa harus membuka kran impornya cukup lebar. Impor beras, kini dinilai sebagai kebutuhan dan tidak lagi hanya sebagai pelengkap kehidupan. Untuk tahun 2024, kita mesti impor beras diatas angka 3 juta ton.

Memilukan dan mengenaskan, memang. Atribut swasembada beras, kini tinggal kenangan. Keperkasaan sektor pertanian, sekarang banyak digugat banyak pihak. Namun begitu, menyerah kepada keadaan, bukanlah jiwa seorang pejuang. Sebagai bangsa yang memiliki tekad meraih Indonesia Emas tahun 2045 mendatang, seabreg tantangan yang menghadang harus dapat kita selesaikan. Kita perlu melahirkan banyak terobosan cerdas. Dan kita pun perlu produktif, kreatif dan inovatif dalam memilih kebijakan yang akan ditelorkan.

Menggenjot produksi beras setinggi-tingginya, dianggap sebagai kebijakan cerdas untuk mengembalikan lagi keperkasaan sektor pertanian, khususnya dunia perberasan di negeri ini. Produksi yang meningkat, menjadi ukuran, sampai sejauh mana kita mampu menguatkan ketersediaan beras yang dimiliki. Kalau ketersediaan beras teruji dari hasil produksi petani dalam negeri, tentu kita tidak perlu nalu hati, sekiranya kita pun berteriak lantang soal keperkasaan sektor pertanian dalan peta bumi ekonomi bangsa.

 

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Muhasabah Diri

Semangat SubuhSabtu, 5 oktober 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUHASABAH DIRI Saudaraku,Kadangkala dalam seharian kehidupan kita tak sadar ada tutur kata

Read More »

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Benar yang dikatakan Proklamator Bangsa Bung Karno ketika meletakan batu pertama pembangunan.Gedung Fakultas

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *