5 October 2024 20:13
Opini dan Kolom Menulis

“MANGGA TI PAYUN & PUNTEN KAPAYUNAN”

“MANGGA TI PAYUN & PUNTEN KAPAYUNAN”

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Arti kata “mangga” dalam bahasa Sunda adalah “silakan”. Digunakan ketika ada seseorang yang berjalan melewati kita (biasanya orang yang dilewati sedang duduk atau berdiri diam). Orang yang melewati tersebut akan berkata “punten” (permisi). Dan orang yang dilewati biasanya akan menjawab “mangga” (silakan).

Kata “tipayun”, digunakan saat misalnya kamu ingin pamit duluan. Ada pula kata “Tiheula, nya”, yang mempunyai arti sama tapi kata “Tipayun, nya” penggunaannya cenderung lebih sopan. Contohnya: Duh, saya harus nganter Ibu ke pasar nih, Tipayun, nya (sambil pergi).

Punten merupakan sebuah kosakata yang memiliki arti luas dalam ahasa Sunda. Punten bisa berarti neminta izin, menolak sebuah ajakan, pengantar untuk menanyakan sesuatu, dan melambangkan orang yang sopan. Mengucapkan kata punteun saat melewati kerumunan orang, memberikan kasan hormat dan santun.

Kapayunan sendiri memiliki makna “keduluan”. Kapayunan kata yang menggambarkan kesantunan seseorang dalam melakukan komunikasi dengan sesamanya. Masyarakat Sunda dikenal sebagai sosok manusia yang menjaga adab dan kesopanan. Itu sebabnya, dalam menghadapi sebuah kompetisi, orang Sunda terbilang susah untuk berani bersikap tegas.

Achnad Heryawan beberapa waktu lalu, sempat menyatakan, sekarang sudah saatnya istilah ‘mangga ti payun’ harus diubah menjadi ‘punten kapayunan’. Sudah saatnya orang Sunda sebagai suku terbanyak kedua di Indonesia, tampil ke depan. Kalau kita masih memegang pengungkapan ‘mangga ti payun’, artinya orang Sunda akan sulit tampil menjadi tokoh dalam segala bidang di kancah Nasional.

Pernyataan Gubernur Jawa Barat dua periode (2009-2019) diatas, sangat menarik untuk dicermati. Betapa tidak ! Sebab, bukan saja semangatnya memberi nafas baru dalam merevitalisasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dalam masyarakat Sunda, namun juga memberi ruang yang lebih terbuka, sekiranya ada sosok anak bangsa untuk berkompetisi dalam berbagai aspek kdhidupan.

Sebetulnya tidak ada yang salah dengan kalimat “mangga ti payun”. Sebagai bentuk penghormatan terhadap para sesepuh, tidak disalahkan bila kita memberi kesempatan kepada yang lebih tua untuk memulai sebuah kegiatan. Contoh dalam acara reuni antar angkatan di SMA. Angkatan yang lebih muda pasti akan mendahulukan angkatan yang lebih tua dalam memotong tumpeng misalnya.
Hal ini wajar ditempuh, karena acara reuni, bukanlah ajang untuk berkompetisi dalam perebutan kekuasaan misalnya. Dalam reuni, kita lebih mengedepankan kangen-kangenan atas nostalgia masa lalu. Reuni bukan arena untuk saling berebut posisi politik. Reuni lebih mempererat tali silaturahmi sesama angkatan atau antar angkatan.

Namun ceritanya akan menjadi lain, jika makna “mangga ti payun” ini dengan kegiatan Pemilihan Kepala Daerah. Untuk jadi Bupati, sebagai kompetitor, kita tidak boleh menyatakan “mangga ti payun Akang nu janten Bupati. Abdi mah engke wae saatos Akang”. Kalimat seperti ini, tentu memiliki nilai kesantunan cukup tinggi. Tapi, kalimat itu tidak cocok jika diterapkan dalam acara kompetisi.

Atau bisa juga dalan kejadian lain. Setelah dilantik, seorang Presiden pasti akan mengangkat Pembantu-Pembantu nya dalam sebuah Kabinet. Presiden memiliki hak prerogatif untuk memilihnya. Namun tidak jarang telah beredar nama-nama unggulan dan sudah ada bocoran tentang siapa saja yang dinominasikan untuk menduduki salah satu jabatan Menteri.

Yang tidak pantas adalah bila ada diantara nama yang diunggulkan tersebut menemui seseorang yang diunggulkan juga sanbil berkata “mangga Akang ti payun. Wios abdi mah bade ngiringan wae”. Celakanya, apa yang dilakukannya itu ketahuan dan terekam oleh para pembisik Presiden. Ujung-ujungnya, bisa jadi kedua nama unggulan tadi tidak ada yang dipilih. Dengan hak prerogatifnya Presiden dapat mengangkat orang yang sama sekali tidak diunggulkan.

Dalam dunia politik, iklim kompetitif memang menjadi ciri penting penerapan sistem demokrasi yang kita anut. Ketika siap untuk berkompetisi, seharusnya tidak boleh lagi ada perasaan tenggang rasa atau ewuh pakewuh. Prinsip dan nilai berkompetisi itulah yang harus dikedepankan. Artinya, keliru sekali jika ada orang yang lebih mengedepankan nilai budaya “mangga ti payun” kalau dirinya sudah siap berkompetisi.
Dunia “perebutan kekuasaan”, tentu akan lebih pas jika kita menggunakan kalimat “punten kapayunan” sebagai wujud keadaban dari yunior ke senior, ketimbang kalinat “mangga ti payun”. Kalimat ini jelas lebih menggambarkan ketegasan sikap seseorang dalam mengikuti sebuah kompetisi, namun juga menunjukkan kesopan-santunan selaku anak bangsa yang berpribadi.

Semoga ke depan, kalimat “punten kapayunan” bakal tampil sebagai nilai budaya dalam arena kompetisi guna merebut sebuah posisi politik di negeri ini. Sebaliknya, kalimat “mangga ti payun”, jangan lagi dijadikan kebanggaan, manakala ada diantara kita yang ingin tampil dalam dunia politik. Kehidupan berbangsa, bernegara dab bernasyarakat, jelas butuh sosok yang tegas, berkarakter dan memelihara adab serta sopan santun.

 

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Muhasabah Diri

Semangat SubuhSabtu, 5 oktober 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUHASABAH DIRI Saudaraku,Kadangkala dalam seharian kehidupan kita tak sadar ada tutur kata

Read More »

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Benar yang dikatakan Proklamator Bangsa Bung Karno ketika meletakan batu pertama pembangunan.Gedung Fakultas

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *