18 November 2024 16:24
Opini dan Kolom Menulis

Fenomena Antri Beras

FENOMENA ANTRI BERAS

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Apa pun alasan dan pertimbangannya, tidak seharusnya antri beras terjadi di negeri ini. Dulu, dengan berbagai keterbatasan yang kita alami, bangsa ini sering mengalami antri untuk mendapatkan kebutuhan pokok, tapi sekarang, cukup memalukan bila kita kembali antri sembako, khususnya beras. Akar persoalannya, mengapa bangsa kita harus antri beras, padahal Indonesia dikenal sebagai negeri yang pernah menyabet dua kali penghargaan swasembada beras.

Dalam tahun terakhir ini, produksi beras secara nasional, memang turun cukup signifikan. Surplus beras juga mengalami penyusutan jumlah. Untuk tahun 2023, surplus beras tercatat sekitar 700 ribu ton. Padahal, tahun 2022, kita masih surplus beras sekitar 1,34 juta ton. Anjloknya produksi beras, membuat ketersediaan beras secara nasional menjadi mengkhawatirkan. Terlebih bila hal ini dikaitkan dengan posisi cadangan beras Pemerintah.

Salah satu yang dituding menjadi penyebab utama menurunnya produksi beras adalah adanya sergapan El Nino, yang membuat gagal panen di berbagai daerah. Kementerian Pertanian sendiri, telah memprediksi jumlah gagal panen karena El Nino, ditaksir dalam kisaran 380 ribu ton hingga 1,2 juta ton beras. Dihadapkan pada kondisi seperti ini, dalam jangka pendek kita terpaksa membuka kembali kran impor beras yang selama ini kita tutup rapat. Tanpa impor, dari mana lagi kita akan memperoleh beras ?

Langkah Pemerintah menerapkan kebijakan impor beras, tentu harus kita berikan acungan jempol. Hal ini penting dicatat, karena yang namanya beras, bagi sebagian masyarakat merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang mesti tersedia sepanjang masa. Seorang sahabat malah menegaskan, beras merupakan penyambung nyawa kehidupan. Itu sebabnya, beras harus selalu ada dalam jumlah cukup dan harga yang terjangkau masyarakat. Artinya, Pemerintah tidak boleh main-main dalam melakukan pengelolaannya.
Menjadikan beras sebagai komoditas politis dan strategis dalam peta pembangunan nasional, bukanlah hal yang mengada-ada. Pemerintah, pasti selalu mengingat pesan moral Proklamasi Bangsa Bung Karno yang nenyatakan urusan pangan menyangkut mati hidupnya suatu bangsa. Catatan kritis yang penting disampaikan, mengapa kini Pemerintah seperti yang kurang serius melaksanakan Tata Kelola Perberasan itu sendiri ? Apakah karena fokus Pemerintah lebih fokus terhadap penyelenggaraan Pesta Demokrasi 2024 atau tidak ?

Mau ada Pesta Demokrasi atau tidak, mestinya Pemerintah tetap serius dan fokus dalam menangani soal perberasan. Jangan sekali pun Pemerintah teledor mengelola kebijakan perberasan. Sebab, sekali saja kita keliru merumuskan kebijakan, maka tidak menutup kemungkinan, beras akan tampil menjadi bumerang kehidupan. Beras bisa saja jadi pemantik kerusuhan atau hal lain yang sangat tidak diharapkan terjadi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Ada beberapa fakta kehidupan yang menggambarkan bagaiman beras dapat mengguncang sebuah pemerintahan. Beberapa negara di Afrika Barat sempat bertumbangan karena Pemerintah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan bahan pangan pokok masyarakatnya. Suasana ini terjadi karena adanya protes petani yang mogok tanam bahan pangan pokok masyarakatnya, karena banyak kebijakan, yang dinilai tidak menunjukkan keberpihakan kepada sektor pertanian. Cukup lama aksi protes dilakukan, hingga akhirnya Pemerintah tumbang sendiri.

Terjadinya antrian beras cukup panjang ditambah dengan berdesak-desakan, tentu melahirkan pemandangan yang kurang nyaman untuk dipandang. Apalagi, jika anteian tersebut diviralkan di media sosial, yang langsung dapat ditonton oleh seluruh warga dunia. Lebih heboh lagi, antrian mendapatkan beras ini disandingkan dengan kejadian antri beras di era Orde Lama. Orang-orang pun wajar bertanya, ada apa sebetulnya dengan dunia perberasan yang dialami oleh bangsa Indonesia selama ini ?

Selain melorotnya produksi beras seperti yang digambarkan diatas, dunia perberasan di dalam negeri juga diheboskan dengan melesatnya harga beras di pasar dalam beberapa bulan ke belakang hingga sekarang. Kenaikan harga beras kali ini, betul-betul cukup mengejutkan, karena naiknya harga terkesan ugal-ugalan. Pemerintah sendiri, seperti yang tak berdaya menghadapinya. Walau segala daya dan upaya telah ditempuh, harga beras tetap bertahan pada harga yang cukup tinggi. Harga beras enggan turun, seolah-olah betah menenpati posisi harga yang tinggi.

Produksi kurang, harga melejit tinggi, lengkaplah sudah masalah dunia perberasan yang mesti kita hadapi. Pemerintah sendiri, sepatutnya mencari terobosan cerdas, agar secara bersamaan, kedua masalah klasik dunia perberasan, yakni sisi produksi dan sisi pasar, segera tersekesaikan. Penanganannya, jelas tidak boleh lagi parsial, namun dibutuhkan adanya pola pendekatan yang sistemik. Produksi dan pasar, termasuk harga, pentingi di desain sedemikian rupa, sehingga tidak mengedepan jadi masalah yang tak tersekesaikan dalam kurun waktu yang sesegera mungkin.

Tingginya harga beras di pasar, ditambah dengan tekanan psikologis yang dialami masyarakat, karena banyaknya isu bersuluweran soal turunnya produksi beras, jelas membuat harga beras semakin susah diturunkan. Rasa was-was masyarakat semakin menjadi-jadi ketika terdengar desas-desus bangsa ini tengah menghadapi kelangkaan beras. Problemnya semakun terang benderang ketika masyarakat kesulitan membeli beras di Indomaret, Alphamart, dan lain sebagainya. Lalu, ada yang berbisik, pada kemana beras ini ?

Untuk itu, sekalinya Pemerintah menggelar Operasi Pasar Pangan Murah di berbagai Kabupaten/Kota, maka beramai-ramailah masyarakat menyerbu Pasar Murah tersebut. Sayang, dalam penyelenggaraannya Pemerintah tidak menyangka tingginya animo masyarakat untuk mendapatkan beras dengan harga murah tersebut. Akibatnya antrian panjang, mengular dan berdesak-desakan tak dapat dihindari. Ujung-ujungnya kejadian antri beras pun tampil jadi komodiras politik yang cukup sexy. Banyak pihak yang membahas dan menggunjingkannya.

Isu pun dengan cepat bergeser. Sorotan tidak lagi diarahkan kepada harga beras mahal, tapi lebih menukik ke kejadian antri beras itu sendiri. Kok, bisa masih ada antri beras ? Mengapa teknis pelaksanaannya dipusatkan hanya dibeberapa titik yang memungkunkan masyarakat harus antri ? Apa tidak bisa pelaksanaannya itu dilakukan di banyak titik, agar tidak terjadi antrian panjang ? Janganlah kita beralasan karena staf terbatas atau anggarannya kurang, jika harus digarap di banyak titik. Namun pokok soalnya, kita jangan memancing hal-hal yang dapat dipolitisir oleh puhak tertentu.

Terjadinya antri beras di salah satu Kecamatan di Kota Bandung, Jawa Barat yang sempat viral di media sosial, mestinya dapat dihindari, sekiranya penyekenggara Operasi Pangan Murah dikelola cukup matang. Dalam situasi dunia perberasan saat ini, sekalinya terdengar kabar akan ada kegiatan Operasi Pasar Beras Murah, dijamin halal 100 %, masyarakar akan berbondong-bondong menyambutnya. Antisipasi terhadap gambaran seperti ini, seharusnya sudah dikenali sejak jauh-jauh hari oleh penyelenggara kegiatan Operasi Pasar Murah tersebut.
Sayang hal ini tidak dicermati dengan sungguh-sungguh.

Fenomena antri beras, bukanlah kejadian yang patut untuk dibanggakan. Antri beras merupakan noda pembangunan perberasan yang butuh pencermatan kita bersama. Ironis, sebuah bangsa yang pernah mendapat penghargaan internasional dari FAO (Badan Pangan Dunia) dan IRRI (Lembaga Riset Dunia yang mengkhusukan diri kepada komoditas padi) atas keberhasilannya meraih swasembada beras, kini harus mengalami antri beras. Jelas, gambaran semacam ini, sangat memalukan.

 

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *