19 November 2024 02:39
Opini dan Kolom Menulis

DIBALIK MEMBENGKAKNYA PETANI GUREM !

DIBALIK MEMBENGKAKNYA PETANI GUREM !

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Hasil Sensus Pertanian 2023 memberi gambaran yang memilukan terkait dengan potret petani di negara kita. Selama 10 tahun terakhir (2013-2023), jumlah petani gurem (petani berlahan sempit dengan kepemilikan rata-rata 0,25 hektar) membengkak dengan angka yang cukup signifikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyimpulkan jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) Gurem tercatat sebanyak 16,89 juta.

Dengan kata lain, mengalami kenaikan sebesar 18,49% dari catatan jumlah RTUP Gurem pada 2013 yang jumlahnya hanya sebanyak 14,25 juta. Hal ini, mengindikasikan, lahan pertanian untuk bercocok tanam semakin sempit di berbagai wilayah Indonesia. Atau bisa juga dikatakan telah terjadi penggerusan terhadap lahan pertanian dengan angka yang cukup terukur.

Meningkatnya jumlah rumah tangga petani gurem sebesar 2,64 juta rumah tangga, bukanlah prestasi yang patut untuk dibanggakan. Kenaikan jumlah ini pun bukan target yang ingin dicapai. Mengapa ? Sebab, petani gurem adalah potret petani di Tanah Merdeka yang kondisi kehidupannya cukup memprihatinkan. Mereka sedang terjebak dalam suasana hidup miskin.
Petani Gurem dan Petani Buruh tergolong kedalam jajaran warga bangsa, yang masih belum mampu menjadi “penikmat pembangunan”. Kondisi kehidupannya, jelas sangat kontradiktif dengan 9 Naga, yang disebut-sebut selaku “penguasa ekonomi” di negara kita. Petani Gurem dan Petani Buruh, masih cocok disebut sebagai “korban pembangunan”.

Membengkaknya jumlah rumah tangga petani gurem, boleh jadi tercipta karena semakin membabi-butanya alih fungsi lahan pertanian produktif ke non pertanian. Gelagat seperti ini, sebetulnya telah mengemuka sejak lama. Sayangnya, karena ketidak-pekaan kita atas hal demikian, maka kedaulatan petani atas lahan yang digarapnya menjadi semakin berkurang.

Selain berlangsungnya alih fungsi lahan pertanian yang tak terkendali, bahkan terkesan tanpa etika, meningkatnya jumlah petani gurem, bisa saja diakibatkan oleh sistem pewarisan lahan yang terjadi dikalangan keluarga petani. Pola pewarisan lahan yang berlaku, memungkinkan kondisi kepemilikan lahan menjadi semakin mengecil jumlahnya.

Sebagai gambaran bagaimana fragmentasi lahan pertanian terjadi, dapat ditelaah dari sebuah keluarga petani yang semula memiliki sawah seluas 2 hektar, kemudian dipecah menjadi 0,25 hektar, karena petani tersebut memiliki anak 8 orang. Mengacu pada pengertian petani diatas, mereka yang memiliki lahan sekitar 0,25 hektar, pantas disebut sebagai petani gurem.

Jumlah rumah tangga petani gurem yang hampir mendekati angka 17 juta rumah tangga atau sekitar 68 juta jiwa ini, tentu jadi soal tersendiri bagi pembangunan petani di negeri ini. Kondisi kehidupannya yang belum mampu membebaskan diri dari jerat kemiskinan, menuntut kepada kita untuk sesegera mungkin mencarikan jalan keluar terbaiknya.

Ini penting dicatat, mengingat berbagai pertimbangan yang ada. Sebagai warga bangsa, keluarga petani gurem memiliki hak untuk hidup sejahtera. Tugas Pemerintahlah untuk mensejahterakan kehidupan mereka. Pertanyaannya adalah apakah Pemerintah telah serius untuk mewujudkannya ? Atau belum, karena sampai sekarang, yang namanya “petani sejahtera” lebih mengemuka sebagai hiasan pidato para pejabat ?

Stop pidato pejabat yang penuh dengan bunga-bunga kehidupan. Ayo segera buktikan, yang namanya petani gurem sejahtera bukan hanya “omon-omon” semata. Sudah saatnya kita memiliki cara pandang yang sama, agar petani gurem pun mampu merasakan nikmatnya pembangunan. Bebaskan mereka dari stigma pembangunan yang kurang senafas dengan spirit pembangunan.
Begitu dan begitulah seterusnya. Menjelang Indonesia Emas 2045, atau sering juga dikaitkan dengan peringatan 100 tahun Indonesia Merdeka, sudah saatnya sedini mungkin disiapkan landasan yang kokoh guna menggapai petani sejahtera. Pemerintah perlu tampil dengan seabreg pendekatan, yang benar-benar mampu membebaskan petani gurem dari suasana hidup melarat.

Membela dan melindungi petani gurem dari berbagai kebijakan yang seolah-olah meminggirkan mereka dari pentas pembangunan, tidaklah semudah kita membolaj-balik telapak tangan. Ukurannya tidak juga hanya dilihat dari produksi yang meningkat sangat signifikan. Apalah artinya produksi yang meningkat, jika harga jual di saat panen, tidak mampu menutup biaya yang dikeluarkan petani.

Produksi yang meningkat, hanya akan menambah kesejahteraan petani, jika harga di pasar, betul-betul sesuai dengan harapan petani. Contoh, harga gabah kering panen sebesar Rp.8000,- per kilogram, terbukti mampu membuat senang para petani. Tapi kalau harga beras mencapai angka diatas Rp.16.000,- per kilogram, pasti akan menyusahkan para petani.

Menjawab fenomena yang tengah tercipta di dunia pergabahan dan dunia perberasan, kita ingin agar Pemerintah hadir di kehidupan para petani. Pemerintah, seharusnya mampu menawarkan pemikiran cerdas untuk memberikan jalan keluar terbaiknya. Instrumen regulasi apa yang harus disiapkan supaya tercapai “win win solution”. Petani, pedagang dan masyarakat akan mendapat manfaat yang optimal.

Tanpa ada perbaikan yang mendasar dalam mendesain pembangunan pertanian, boleh jadi 10 tahun ke depan, jumlah petani gurem dan petani buruh, bakal semakin membengkak. Pemerintah tentu harus pro aktif dalam menyikapinya. Pemerintah jangan lagi berperan sebagai pemadam kebakaran. Namun, sudah waktunya menerapkan pola deteksi dini. Ya, kenapa tidak !

 

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *