5 October 2024 22:27
Opini dan Kolom Menulis

KELANGKAAN BERAS

KELANGKAAN BERAS

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Direktur Utama Perum Bulog (Persero) Bayu Krisnamurti mengakui tingginya harga gabah di tingkat produsen dan penggilingan menjadi penyebab harga beras makin tidak terkendali, yang berujung pada isu-isu lanjutan seperti gangguan pasok ke tingkat pengecer atau ritel. Berdasarkan pantauannya, harga gabah kering giling (GKG) di beberapa penggilingan bahkan sudah menembus di atas Rp 8.000/kilogram.

Namun begitu, harga gabah kering panen (GKP) yang mampu menembus angka Rp. 7000,- per kilogram ini, ternyata mampu membuat petani senang dan gembira. Petani padi, benar-benar merasakan usahatani padi yang digelutinya selama ini, mampu memberi hasil yang sebanding dengan cucuran keringatnya. Itu sebabnya, naiknya harga gabah dinilai petani padi sebagai wujud berkah kehidupan.

Sebagian besar petani padi, memang berujung di gabah kering panen dalam menggarap usahatani padi. Mereka, rata-rata belum memiliki kemampuan untuk mengolah gabah menjadi beras. Akibatnya, cukup masuk akal, ketika Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Subang dan Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, para petani padi langsung meluapkan kegembiraannya sekaligus mengucapkan rasa terima kasih kepada Presiden Jokowi.

Para petani padi, sepertinya kurang memahami, dengan tingginya harga gabah kering panen, otomatis akan meningkatkan harga gabah kering giling, yang ujungnya bakal meningkatkan harga beras di pasaran. Dengan semakin memudarnya budaya lumbung dalam kehidupan petani, praktis petani tidak lagi memiliki “leuit” di rumahnya.

Saat panen, petani cenderung akan menjual seluruh hasil panenannya kepada bandar, tengkulak, penggilingan stau Perum BULOG. Petani lupa, dengan pudarnya budaya lumbung dalam kehidupan kesehariannya, para petani akan membeli beras untuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini membuktikan, selain sebagai produsen, petani pun kita terekam sebagai “net konsumer”.

Sinyal agar Pemerintah menetapkan harga beras yang wajar, sebetulnya jauh-jauh hari telah dinyalakan oleh Presiden Jokowi kepada para Pembantunya. Sinyal itu muncul, ketika harga beras mulai naik dan terkesan ugal-ugalan. Saat itu, keluar anggapan, kenaikan harga beras disebabkan oleh menurunnya produksi karena adanya sergapan El Nino.

Catatan kritisnya, mengapa terkesan begitu lama para Pembantu Presiden ini memberi jawaban atas keinginan Presiden tersebut ? Permintaan Presiden sebetulnya tidak terlampau rumit. Presiden ingin agar secepatnya ditetapkan harga beras ysng wajar. Kata wajar disini, tentu mengandung makna wajar bagi petani. Lalu, wajar bagi pedagang/pengusaha dan wajar bagi masyarakat.

Lambatnya para Pembantu Presiden seperti ini, tentu dapat kita pahami. Sebagai pimpinan Partai Politik, sebagian besar Pembantu Presiden ini, mana mungkin bisa fokus menangani soal harga beras. Mereka pasti akan lebih serius untuk menggarap kepentingan Partai Politiknya lebih dahulu, khususnya dalam menghadapi Pesta Demokrasi 2024. Buktinya, hingga kini, harga beras yang wajar, tetap belum ketemu-ketemu juga.
Susahnya Pemerintah menurunkan harga beras, bahkan dalam beberapa hari belakangan ini beras premium mulai menghilang di banyak super market, pada intinya menggambarkan kepada kita, situasi perberasan, memang sedang tidak baik-baik saja. Dari sisi produksi, kita tengah menghadapi penurunan dengan angka cukup signifikan.

Sedangkan dari sisi harga, kita tengah dihadapkan pada melesatnya harga yang cukup tinggi di pasaran, sehingga Pemerintah pun seperti tak berdaya mengendalikannya. Beberapa waktu belakangan, harga gabah dan beras jauh melampaui Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan. Bahkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras pun jauh dibawah harga beras di pasaran.

Dihadapkan pada situasi yang demikian, penting dipertanyakan, mengapa upaya menurunkan harga beras, seperti yang sulit untuk diwujudkan. Padahal, setiap daerah Kabupaten/Kota telah melaksanakan operasi pasar murah. Selain itu, Pemerintah juga telah membanjiri pasar-pasar tertentu, diguyur oleh beras impor ?

Tetap tingginya harga beras di pasar, sekalipun telah ditempuh berbagai upaya untuk menurunkannya adalah sebuah bukti betapa susahnya mengendalikan harga atas komoditas politis dan strategis. Solusinya, tidak cukup hanya dengan pendekatan ekonomi, tapi juga harus dibarengi dengan pendekatan yang sifatnya politik juga.

Dalam kaitan ini, tidak salah bila kita pun mulai dengan menelaah regulasi yang mengatur soal perberasan. Salah satunya berkenaan dengan harga. Apakah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras yang ditetapkan masih cocok dan relevan untuk digunakan ? Atau sudah waktunya dikaji ulang, mengingat telah terjadi perubahan di berbagai aspek kehidupan.

Yang penting kita bahas lebih dalam lagi, apakah HPP Gabah masih akan digunakan Rp. 5000,- per kilogram, padahal harga gabah kering panen yang kini berlaku di petani sudah melewati angka Rp. 7000,- per kilogram ? Angka ini jauh diatas HPP. Konsekwensinya adalah apa tidak mungkin kita segera melakukan perhitungan ulang terhadap HPP Gabah dan Beras ?

Akhirnya, untuk menutup tulisan terkait dengan kelangkaan beras ini, ada baiknya kita cermati apa yang disampaikan oleh Kepala Badan Pangan Nasional. Arief Prasetyo Adi menyebut pemerintah mengalami kekurangan ketersediaan stok beras  saat ini. Pada periode Januari-Februari 2024, Bapanas menyebut pemerintah kekurangan stok 2,4 juta ton beras. Jelas dan tegas !

 

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Muhasabah Diri

Semangat SubuhSabtu, 5 oktober 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUHASABAH DIRI Saudaraku,Kadangkala dalam seharian kehidupan kita tak sadar ada tutur kata

Read More »

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Benar yang dikatakan Proklamator Bangsa Bung Karno ketika meletakan batu pertama pembangunan.Gedung Fakultas

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *