5 October 2024 21:23
Opini dan Kolom Menulis

KABAGJAAN TEH SANES KU SEUEURNA HARTA. KABAGJAAN TEH NYAETA DINA HATE NU TEU WALEH NGUCAP SUKUR

KABAGJAAN TEH SANES KU SEUEURNA HARTA. KABAGJAAN TEH NYAETA DINA HATE NU TEU WALEH NGUCAP SUKUR
 
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
 
     Diartikan dengan bebas, peribahasa dalam judul tulisan kali ini adalah “kebahagiaan itu bukan soal banyaknya harta, kebahagiaan ada di dalam hati yang senantiasa mengucap syukur”. Peribahasa Sunda ini, betul-betul sebuah wejangan yang penuh dengan makna kehidupan. Harta yang berlimpah, tidak menjadi ukuran kebahagiaan. Apalagi jika kekayaan yang diraihnya, diperoleh lewat cara-cara yang tidak halal.
 
     Kebahagiaan seseorang atau sebuah keluarga, tidak selamanya diukur oleh rumah yang mentereng, mobil mewah seharga milyaran rupiah, banyaknya emas dan berlian yang dimiliki dan lain sejenisnya. Tapi, kebahagiaan itu akan ditentukan oleh hati yang bersih dan tulus menerima apa yang diperolehnya. Apalah artinya, rumah senilai puluhan milyar rupiah jika untuk membangunnya menggunakan uang rakyat yang didapatkan melalui praktek korupsi ?
 
      Belum lama ini ramai diberitakan adanya seorang pejabat sekelas Menteri yang melakukan pemerasan kepada pejabat di Kementerian yang dipimpinnya. Kalau seseorang ingin jadi pejabat, khususnya menduduki posisi Eselon 1 dan 2, maka mereka harus mau membayar dengan nilai hingga ratusan juta rupiah. Praktek semacam ini, bukanlah hal yang baru. Beberapa waktu lalu, ada Kepala Daerah yang “melelang” jabatan Kepala Dinas dengan nilai yang cukup fantastis.
 
     Pertanyaan kritisnya, kok ada pejabat yang membeli jabatan tersebut ? Bukankah jika pejabat-pejabatnya tidak ada yang mau “membeli” jabatan itu, praktek kejahatan “kerah putih” ini tidak bakal terjadi ? Yang lebih memalukan, bila uang hasil pemerasannya itu, digunakan untuk memuaskan syahwat pribadinya. Diberitakan ada pejabat yang korupsi dan hasil korupsinya itu sebagian digunakan untuk membayar kartu kredit atau angsuran mobil mewahnya. 
     Bagi pejabat seperti ini, boleh jadi dirinya merasa bahagia. Sayang, kebahagiaan yang dibalaninya terkesan sementara. Kebahagiaan semu ini, pasti akan membayangi segala sepak terjang yang dilakukannya. Bila sedang memberi pengarahan atau pembekalan kepada pegawainya, dirinya tampak seperti yang idealis. Dirinya berapi-api pidato soal moral kehidupan. Semangat juga bicara soal kehormatan dan tsnggungjawab sebagai Aparat Sipil Negara.
 
      Ironisnya, seiring dengan perjalanan waktu, dirinya pun harus berhadapan langsung dengan lembaga penegak hukum, karena diduga terlibat dalam praktek korupsi. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, terekam kebahagiaan semu yang dirasakannya, berubah menjadi kehinaan pribadi dan keluarganya. Bagaimana tidak terhina ? Keluarga dicekal ke luar negeri. Tangan diborgol, memakai rompi orange dan kemana-mana dikawal aparat penegak hukum. 
 
      Menjadi pejabat negara, mestinya tetap berpegang kepada Sumpah Jabatan yang diikralkannya. Pejabat tidak boleh berbuat yang aneh-aneh. Pejabat dituntut untuk dapat mengendalikan syahwat pribadinya. Ingat di negeri ini tidak ada seorang pun yang kebal hukum. Presiden, jika melanggar hukum, pasti akan diadili dan didakwa sesuai perundangan yang berlaku. Apalagi seorang Menteri yang tugasnya memang membantu Presiden.
     Di negeri ini, menjadi pejabat publik, bukanlah hal yang mudah untuk diraih. Selain biayanya cukup mahal, juga harus melalui berbagai proses yang cukup menjelimet. Sebut saja untuk menjadi Gubernur Jawa Barat. Sesuai aturan perundangan yang ada, untuk jadi Gubernur dibolehkan melalui jalur perorangan/independen atau melalui Partai Politik. Mengingat banyak pertimbangan, jalur independen, kini tifak dijadikan pilihan. Mereka lebih suka menggunakan jalur Partai Politik.
 
     Pengalaman membuktikan, menggunakan jalur Partai Politik untuk meraih jabatan Gubernur, sangat dibutuhkan biaya yang cukup mahal, khususnya para calon yang bukan kader Partai Politiknya. Setidaknya, sang calon perlu “membeli” kendaraan politik. Setelahnya, perlu menyiapkan alat peraga yang akan disebar di seluruh wilayah Jawa Barat. Belum lagi harus menyiapkan Tim Sukses yang dananya cukup besar.
 
     Apa sesungguhnya yang menjadi tujuan akhir dari seseorang yang berjuang keras menjadi pejabat publik ? Jawabannya tegas, mereka ingin hidup sejahtera dan bahagia. Sebagai pejabat, bukan saja segala kebutuhan difasilitasi negara, namun dengan kekuasaan dan kewenangan yang digenggamnya, dirinya pun mampu berbuat yang terbaik bagi masyarakat yang dipimpin nya. Ini jelas, sebuah harapan yang normatif.
 
     Anehnya, setelah mereka terpilih jadi pejabat, tidak sedikit dari mereka yang harus berhadapan dengan aparat penegak hukum dan berujung jadi penghuni hotel pordeo. Mereka seperti yang melupakan Sumpah Jabatan yang telah diikralkannya itu. Mereka lupa, jika menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya akan berakhir dengan penyesakan yang tak terhingga. Lebih parahnya lagi, mereka pun terpaksa harus menelan malu karena kecerobohan dalam melaksanakan tugas yang diembannya.
 
     Yang terjadi kemudian, harapan menggapai kebahagian sebagai pejabat publik pun berakhir dengan kehinaan diri yang harus diterimanya. Kegagahan selaku pejabat negara yang kemana-mana dikawal ajudan sirna dengan sendirinya. Mobil dinas yang mewah dan sering digunakan kunjungan kerja ke daerah, kini hanya tinggal kenangan. Bahkan fasilitas menginap di hotel berbintang pun tertutup bagi dirinya. Yang bisa dilakukan, paling merenungi nasib yang menimpanya.
 
     Inilah sebuah suasana yang patut dijadikan proses pembelajaran bagi para pejabat publik yang kini tengah manggung di dunia kekuasaan. Kebahagiaan yang diraih selama ini, perlu tetap dijaga dan dinikmati. Jangan sanpai karena mengejar nafsu pribadi, semua aturan dilanggarnya. Sebab, sekalinya gagal mengendalikan hawa nafsu, maka kebahagiaan pun bisa langsung berubah menjadi kehinaan. Itu sebabnya, pejabat publik harus selalu “jembar manah” dalam melaksanakan kekuasaan dan kewenangan nya.
 
     Kebahagiaan itu ada di hati, bukan pangkat atau jabatan. Rasa bahagia, tidak ditentukan oleh melimpahnya harta kekayaan yang dimiliki. Oleh karenanya, seorang pejabat negara yang secara kasat mata bahagia, belum tentu hati nuraninya bahagia. Terlebih jika dalam menjalankan jabatannya, banyak perkeliruan yang dilakukannya. Secara fisik, bisa saja tanpak senang dan bahagia. Namun, batinnya sendiri boleh jadi menderita.
 
     Akhirnya, kita tetap berharap agar Pesta Demokrasi 2024 akan mampu memilih pemimpin bangsa yang benar-benar dapat mewujudkan kebahagiaan bagi segenap bangsa dan pemimpinnya. Selain itu, diharapkan pula tidak akan terjadi lagi ada Pejabat Negara yang harus berurusan dengan Aparat Penegak Hukum.
(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Muhasabah Diri

Semangat SubuhSabtu, 5 oktober 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUHASABAH DIRI Saudaraku,Kadangkala dalam seharian kehidupan kita tak sadar ada tutur kata

Read More »

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Benar yang dikatakan Proklamator Bangsa Bung Karno ketika meletakan batu pertama pembangunan.Gedung Fakultas

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *