6 October 2024 13:32
Opini dan Kolom Menulis

GURUNG GUSUH

GURUNG GUSUH

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Dalam kamus bahasa Sunda, gurung gusur bisa dimaknai dengan kalimat tidak tertib, tergesa-gesa atau terburu-buru. Dalam berbagai aspek kehidupan dapat kita saksikan, betapa banyak warga bangsa yang gurung gusuh. Sebut saja, ketika kita melakukan antrian sebuah pertunjukan musik. Tidak terhindarkan saling serobot terjadi. Semua tampak ingin segera masuk ke lapangan, tempat acara berlangsung. Beginilah potret anak bangsa yang semakin gurung gusuh saja.

Tidak hanya itu. Di kalangan Aparat Sipil Negara (ASN), dapat diamati banyak pejabat Eselon 3 yang gurung gusuh ingin segera menduduki Pejabat Tinggi Pratama alias Eselon 2. Dengan berbagai cara mereka berusaha mencari cantolan sana-sini. Kalau kejadian itu berlangsung di Kabupaten, umumnya mereka akan kasak-kusuk ke berbagai kolega yang bisa mempengaruhi para penentu kebijakan soal mutasi pejabat.

Ada yang getol melobi anggota DPRD setempat. Tidak sedikit yang minta sokongan ke Kapolres atau Dandim setempat. Ada yang minta dukungan pejabat di Provinsi. Ada yang meminta bantuan tokoh masyarakat setempat agar namanya disampaikan ke Kepala Daerah. Bahkan ada juga yang minta dukungan ke Kementerian/Lembaga di tingkat Pusat. Kalau kebetulan ada saudaranya yang di DPR RI, terkadang dimintai pula dukungannya.

Ketergesaan untuk secepatnya menduduki posisi Kepada Dinas/Badan di Kabupaten, membuat Kepala Daerah dan Sekretaris Daerah banyak yang lupa terhadap Sumpah Jabatan yang diikralkannya. Terjadilah jual beli jabatan. Dalam berbagai kejadian, kita saksikan ada Kepala Daerah yang digekandang Aparat Penegak Hukum, karena melakukan perilaku yang tercela. Untuk jabatan Kepala Dinas misalnya dihargakan sekitar X rupiah. Lalu, tarifnya menurun sesuai dengan Eselon yang dibawahnya.

Yang lebih memilukan, ternyata pada jamannya, praktek jual beli jabatan di kalangan ASN ini, telah menjadi modus beberapa Kepala Daerah yang gurung gusuh ingin mengembalikan modal tatkala dirinya ikut Pemilihan Kepala Daerah. Akan tetapi, seiring dengan perguliran waktu, modus operandi jual beli jabatan ini, akhirnya diketahui pula oleh Aparat Penegak Hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tak ayal lagi, cukup banyak Kepala Daerah yang terjaring KPK karena ketahuan membisniskan jabatan dikalangan ASN. Bagi beberapa Kepala Daerah, jual beli jabatan merupakan ladang perkeliruan yang cukup gampang untuk digarap. Tidak terlampau banyak modal yang harus dikeluarkan. Melalui orang kepercayaannya, Kepala Daerah dengan mudahnya dapat meraup duit yang cukup besar. Kalau saja jabatan Eselon 2 dihargakan 100 juta rupiah, maka berapa banyak uang yang didapat jika dilakukan mutasi besar-besaran.

Inilah dampak buruk sikap gurung gusuh. Semua ingin serba cepat. Prinsip kalau bisa dipercepat, mengapa harus diperlambat. Kepala Daerah butuh balik modal dan ASN pun butuh jabatan yang lebih tinggi. Konon kabarnya, kalau seorang ASN menduduki posisi sebagai Pejabat Tinggi Pratama, maka penghasilan per bulannya bakal neningkat secara signifikan. Salah satunya dari sisi tunjangan kinerja. Kalau Eselon 3 hanya sekitar 9 juta perbulan, maka jika jadi Eselon 2, bisa dapat sekitar 20 juta tunjangan kinerjanya.

Perilaku gurung gusuh dalam melakoni kehidupan, sudah saatnya kita tinggalkan. Jangan jadikan syahwat pribadi ingin meraih jabatan dengan cara-cara yang tidak terpuji. Jabatan itu amanah. Jika dalam meraihnya digunakan cara-cara yang salah dan menyimpang dari norma kehidupan, boleh jadi hasilnya tidak barokah. Padahal, jabatan yang diberikan kepada seseorang, ujung-ujungnya harus mampu memberi berkah kehidupan bagi masyarakat .

Untuk memperoleh sebuah jabatan Eselon 2 di Pemerintahan, tentu saja membutuhkan keakhlian khusus dalam meraihnya. Syarat yang paling diutamakan, dirinya harus lulus seleksi yang dilaksanakan oleh Panitia Seleksi. Mulai dari rekam jejak selama jadi ASN. Lalu membuat makalah yang relevan dengan Perangkat Daerah yang dilanarnya. Kemudian diwawancara oleh Pansel yang umumnya para pakar dari berbagai disiplin ilmu, hingga akhirnya muncul tiga orang yang dianggap layak untuk menduduki posisi tersebut.

Selanjutnya 3 nama tersebut diserahkan kepada Kepala Daerah selaku “user” untuk memilih salah seorang dari ketiga nama yang disampaikan Panitia Seleksi. Kepala Daerah, pasti akan berembuk untuk melihat sampai sejauh mana Hasil Pansel ini dibandingkan dengan amatannya selaku pimpinan daerah, terkait dengan kinerja ketiga calon tersebut. Kepala Daerah tentu akan berdialog dengan Pansel yang telah memutuskan 3 nama terbaik dari proses seleksi yang dilakukannya.

Dari berbagai pengalaman, pada situasi seperti ini biasanya Kepala Daerah akan banyak direcoki oleh berbagai “bisikan” dari calon-calon yang merasa memiliki kekuatan dan dapat mempengaruhi keputusan yang bakal diambil oleh Kepala Daerah. Kita sendiri tidak tahu persis, mengapa para calon Pejabat Tinggi Pratama ini tampak begitu semangat untuk merebut Eselon 2, selain kinerjanya, memang pantas untuk menduduki jabatan tersebut.

Bagi calon yang gurung gusuh untuk secepatnya menduduki jabatan tersebut, umumnya mereka akan menempuh segala cara. Mulai dengan melalui pendekatan politik kepada para anggota DPRD yang dianggapnya mampu mendukung calon yang direkomendasikan Pansel. Kemudian, ada juga yang melakukan pendekatan kepada Ulama beken di daerahnya. Bahkan ada juga yang melakukan gerakan penyogokan kepada Kepala Daerah itu sendiri.

Seiring dengan perjalanan waktu, trik-trik yang digambarkan diatas, sudah semakin berkurang, sekalipun masih ada yang coba-coba. Kepala Daerah semakin memahami jual beli jabatan adalah hal yang senantiasa menjadi inceran Aparat Penegak Hukum. Itu sebabnya, para Kepala Daerah tidak begitu tertarik untuk menjadikan jual beli jabatan sebagai sumber penghasilannya. Pengembalian modal kampanye, tidak bisa lagi ditempuh dengan jual beli jabatan Eselon.

Sikap orang-orang yang sekarang terjebak gurung gusuh, sebetulnya telah diingatkan oleh Kuntjoriningrat lewat salah satu buku yang ditulusnya. Menurut pakar kebudayaan ini, sikap menerabas atau serba cepat meraih tujuan, memang menjadi soal serius yang butuh pencermatan kita bersana. Sikap semacam ini, bisa saja menghambat pelaksanaan pembangunan yang kita arungi. Ini penting dipahami, karena langkah penuntasannya, bukan hal yang gampang untuk ditempuh.

Gurung gusuh merupakan perilaku yang muncul dari seseorang, karena ada sesuatu yang ingin diraihnya secara cepat. Sikap semacam ini, tentu bakal melahirkan masalah dalam kehidupan masyarakat yang tertib dan teratur. Itu sebabnya, ada baiknya jika sikap gurung gusuh segera kita tendang jauh-jauh dari kehidupan nyata dan menggantinya dengan sikap yang penuh dengan kesabaran dan ketelatenan.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

“LIANG COCOPET”

“LIANG COCOPET” OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA “Liang Cocopet” adalah ungkapan umum dalam kehidupan masyarakat. Tatar Sunda, yang intinya menggambarkan tempat

Read More »

Tanda Terimanya Sebuah Amal

MUHASABAH AKHIR PEKANMinggu, 6 Oktober 2024 TANDA DITERIMANYA SUATU AMAL BismillahirrahmanirrahiimAssalamu’alaikum wr wbrkt… Saudaraku,Perlulah kita ketahui bahwa tanda diterimanya suatu amalan adalah apabila

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *