30 November 2024 23:34
Opini dan Kolom Menulis

ULAH AGUL KU PAYUNG BUTUT

ULAH AGUL KU PAYUNG BUTUT

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Secara denotasi, “ulah agul ku payung butut” memiliki arti jangan sombong dengan payung jelek. Namun untuk bisa memahaminya, maka haruslah dipahami secara konotasi. Yaitu, “jangan sombong dengan harta yang kita miliki”. Esensi peribahasa Sunda ini mengingatkan (pepeling) kepada kita tentang bagaimana sebaiknya melakoni kehidupan.

Janganlah hidup diwarnai dengan kesombongan, namun yang harus dilakukan adalah hidup penuh dengan kesahajaan. Janganlah kehidupan hanya diisi dengan kemewahan demi kepuasan sesaat, tapi sampai sejauh mana hidup yang sederhana mampu memberi berkah kehidupan.

Dalam kehidupan yang hedonis, kesahajaan menjadi barang yang cukup langka. Budaya hedonis memaksa semua orang untuk hidup sofistikasi. Semua sisi kehidupan diukur dengan materi. Sukses dan kehebatan seseorang dinilai dari tingginya jabatan atau kedudukan di masyarakat.

Orang yang memiliki rumah mewah bertingkat, ada kolam renang, halaman luas, dilengkapi satpam, dianggap lebih keren dibanding dengan rumah yang gubuk di pinggiran desa. Maklum, rumah mewah itu milik sorang Saudagar sedangkan gubuk itu kepunyaan seorang petani gurem.

Kondisi rumah ini secara tidak langsung menggambarkan strata sosial dalam kehidupan nyata di lapangan. Hampir 78 tahun Indonesia Merdeka, rupanya masih menyisakan kesenjangan sosial ysng sangat timpang diantara sesama warga bangsa. Jurang kehidupan masih menganga lebar.

Ada yang hidupnya makmur dan sejahtera. Mereka sering disebut selaku penikmat pembangunan. Lalu ada juga yang nelangsa dan masih memprihatinkan. Mereka inilah yang pantas dikatakan selaku korban pembangunan. Kita boleh setuju atau tidak dengan penggambaran seperti ini. Tapi apa hendak dikata, jika fakta kehidupan yang terjadi, memang seperti itu.

“Ulah agul ku payung butut” betul-betul sebuah peribahasa yang penuh dengan introspeksi diri. Catatan pentingnya, mengapa harus menggunakan kata “payung” ? Mengapa tidak kata “sendal” ? Inilah kekuatan masyarakat Sunda yang menafsirkan siloka kehidupan ysng sarat dengan makna.

Payung, sejatinya alat untuk melindungi. Sebut saja pada saat ada pejabat tinggi yang akan meresmikan suatu proyek pembangunan. Terkadang kita saksikan ada pengawal atau ajudan yang memayunginya karena saat itu sengatan matahari sangat tajam. Payung disini, hakekatnya melundungi sang pejabat tinggi agar tidak kepanasan.

Begitu pun saat hujan tiba. Orang-orang akan memayungi diri agar tidak basah kuyup. Payung inilah pelindungnya. Bahkan kalau musim hujan tiba, sering kita saksikan banyak anak kecil yang menawarkan payung ketika kita keluar dari Mall misalnya. Mereka menawarkan jasa payung agar orang-orang tidak kehujanan menuju tempat parkiran mobil.

“Payung butut” sendiri mengandung arti payung yang jelek. Jadi kalau kita membanggakan diri dengan harta dan jabatan, bukanlah sebuah perilaku yang terpuji. Terlebih jika jabatan itu diraih bukan karena prestasi, namun lebih dikarenakan kedekatan pribadi dengan orang memiliki kekuasaan dan kewenangan. Jika hal ini terus berkembang dan membudaya dalam kehidupan, jabatan tidak lagi menjadi sebuah kebanggaan.

Begitu pun dengan harta kekayaan yang dimilikinya. Janganlah sombong atau pongah dengan harta yang dimiliki. Semua kekayaan ini hanyalah sebuah simbol kehidupan. Akan lebih memilukan, bila harta itu diperoleh dengan cara yang tidak halal. Kita sering lihat banyak orang yang bergelimangan harta ujung-ujungnya harus berhadapan dengan aparat penegak hukum, karena terbukti dirinya melakukan korupsi atau gratifikasi jabatannya.

Sikap dan tindakan “agul ku payung butut”, rasanya menjadi penyakit yang tidak boleh dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dalam budaya bangsa yang menghormati karya dan prestasi, perilaku korup dan nepotisme, bukanlah merupaksn sikap yang terpuji. Kita berkewajiban untuk menendangnya jauh-,jauh. Jangan biarkan bangsa ini terjebak ke dalam gaya hidup yang hedonis dan sofistikasi.

Setiap Pemerintahan yang manggung di negeri ini, selalu mengingatkan perlunya dikembangkan gaya hidup bersahaja dan penuh kesederhanaan. Anehnya, semakin gencar himbauan itu disampaikan, semakin banyak orang yang hidup bermewah-mewahan dan mempertontonkan harta kekayaannya. Ibarat masuk ke telinga kanan, keluar lagi ke telinga kiri.

Memang, tidak gampang merubah gaya hidup. Apalagi yang ingin dirubah adalah gaya hidup sebuah bangsa. Gaya hidup yang tak pernah merasa puas atas apa yang diraih, menjadi masalah serius di masa kini dan mendatang. Merubah sikap seseorang saja, butuh perjuangan yang sangat panjang. Sekalipun pucuk pimpinan bangsa telah menghimbau, namun aparat di bawahnya tidak mendukung, boleh jadi keinginan itu akan berhembus menjadi angin lalu.

Agul ku payung butut merupakan peribahasa yang memberi “warning”, agar dalam mengarungi kehidupan, kita selalu sadar dan mawas diri. Mulailah dengan gaya hidup sederhana dan bersahaja. Jadikan sikap ini sebagai gerakan bangsa. Bebaskan diri dari hidup bermewah-mewahan. Semoga menjadi pencermatan kita bersama.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *