NGAGORENG DAGING KU GAJIH NA ……
NGAGORENG DAGING KU GAJIH NA ......
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Pengertian, makna, atau arti peribahasa Sunda “ngagoreng daging ku gajih” adalah mengambil keuntungan dengan modal orang lain. Dicermati kata per kata nya adalah sebagai berikut :
Ngagoréng /nga-go-réng/ (verba) – ‘menggoreng’, kecap rundayan yang asalnya dari kata goréng, ditambah rarangkén hareup nga- (nga- + goréng → ngagoréng).
Daging /da-ging/ (nomina) – ‘daging’.
Ku /ku/ – oleh, termasuk kecap pangantét bahan.
Gajih /ga-jih/ – gaji (lemak).
Menurut Husni Cahya Gumilar dalam Sundapedia.Com, contoh kasusnya begini, seseorang dipercaya menjadi bendahara dalam sebuah organisasi atau lembaga. Sebagai bendahara otomatis sedikit banyak orang tersebut memegang uang. Terus, misalnya ikut pengadaan mebelair untuk organisasi tersebut dengan memakai modal dari uang kas organisasi.
Peribahasa Sunda “ngagoreng daging ku gajih”, menunjukkan adanya perilaku seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpuji. Sikap memanfaatkan kesempatan di atas kesempitan, betul-betul tergambar dalam perilaku kehidupannya. Sikap, tindakan dan cara pandang seperti ini, tentu saja bertolak-belakang dengan nilai-nilai budaya yang kita miliki. Budaya adiluhung kita, tidak mengajarkan untuk memanfaatkan peluang yang tidak bertanggung-jawab.
Kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, membutuhkan adanya sikap jujur dari segenap warga bangsa. Kejujuran ini penting, karena dalam gaya hidup yang sofistikasi ditambah dengan budaya hedonis, membuat orang-orang menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya. Sikap jujur lebih mengemuka sebagai basa-basi kehidupan. Dalam fakta nya sering bertolak-belakang dengan apa yang dikatakan. Satu antara tutur kata dan perbuatan, kini menjadi perilaku langka dalam kehidupan.
Pengalaman dalam menghadapi Hajatan Demokrasi misalnya, tidak sedikit para calon pemimpin yang menggunakan cara-cara tidak terpuji guna mendapat dukungan dari para pemilih. Walau sudah dilarang, namun dalam prakteknya masih ditemukan ada calon-calon pemimpin yang saweran uang. Politik uang memang tidak dibolehkan, tapi sampai sejauh mana Badan Pengawas Pemilihan Umum mampu mengawasi sekian banyak Daerah Pemilihan di seluruh Indonesia.
Dengan berbagai modus, tim sukses para calon mengganti uang dengan sembako. Mereka dengan gaya nya masing-masing ada yang mengirim bingkisan sarung bagi para pemilih, mengingat sebentar lagi umat Muslim akan merayakan Idhul Fitri. Atau ada juga yang memberi beras, minyak goreng, gula dan sembako lainnya. Terkadang mereka datang langsung ke Daerah Pemilihan hanya sekedar memperkenalkan diri sebagai calon legislatif atau Kepala Daerah sekaligus mencari tokoh-tokoh masyarakat yang selama ini menjadi panutan masyarakat.
Lewat para tokoh inilah operasi rebut simpati mulai digarap. Sebagai Tim Sukses, tentu saja para tokoh akan “all out” untuk memenangkan jagoannya. Di banyak daerah di Pulau Jawa, tidak sedikit para calon pemimpin yang memanfaatkan petani sebagai lumbung suara. Dengan memanfaatkan para tokoh tani di desa masing-masing, mereka berharap lewat semangat “ngagoreng daging ku gajih”, akan mampu meraih suara sebanyak-banyaknya.
Dengan menggunakan prinsip “ngagoreng daging ku gajih”, dianggap akan menekan biaya yang harus dikeluarkan. Para calon pemimpin, cukup berhubungan dengan Tim Sukses nya saja dalam mengkampanyekan diri kepada para pemilihnya. Setelahnya, bagaimana Tim Sukses melaksanakannya. Selama Tim Suksesnya amanah, maka langkah ini tentu akan memberi hasil terbaik bagi calon pemimpin yang ikut bertanding guna memperebutkan jatah menjadi pemimpin bangsa dan negara.
Namun ceritanya akan menjadi lain jika yang terjadi adalah Sukses Tim. Ini berarti Tim nya yang sukses, tapi calonnya gagal. Ini yang tidak betul. Sebesar apa pun uang yang disiapkan, tentu tidak akan memberi hasil optimal, jika Tim Suksesnya “mak mak meuk meuk” mendahulukan kepentingan Tim Sukses nya ketimbang memperjuangkan kemenangan calon pemimpin yang diusungnya. Banyak Tim Sukses yang tidak meneruskan titipan calon untuk diberikan kepada para pemilih.
Akibatnya wajar, jika setelah Hajat Demokrasi selesai, banyak calon yang kecewa, mengingat dirinya tidak mendapat dukungan rakyat. Padahal, calon tersebut telah mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Rasa kecewa ini, mestinya tidak terjadi, jika dirinya mampu introspeksi diri terhadap yang digarapnya selama proses Hajat Demokrasi berlangsung. Sedihnya lagi, ternyata banyak Tim Suksesnya yang berganti kendaraan. Sukses Tim betul-betul terjadi di Daerah Pemilihan nya sendiri.
Calon pemimpin yang baik, biasanya mereka akan turun langsung ke Daerah Pemilihan. Dirinya akan membangun komunikasi yang inten dengan para pemilih. Calon pemimpin akan terencana untuk bertemu dengan tokoh masyarakat yang dianggap memiliki kapasitas untuk menggerakan cara pandang masyarakat. Diri nya tidak akan mempercayakan sepenuhnya kepada tokoh masyarakat. Namun bersama tokoh yang ada dirinya akan terus membangun silaturahmi yang berkualitas.
Jarang calon pemimpin yang dipilih rakyat sekiranya hanya ongkang-ongkang kaki tanpa mau menginjakan kaku ke Daerah Pemilihan. Besarnya uang yang disiapkan, tidak menjamin dirinya bakal terpilih. Uang memang perlu, tapi bukan segalanya. Masyarakat tampak semakin cerdas dalam memainkan perannya sebagai insan politik. Mereka tidak akan menolak kalau ada calon yang menawarkan dan memberi sesuatu. Namun, tanpa dibarengi dengan ikatan kebatinan dengan masyarakat, uang yang disiapkan bisa saja jadi mubazir.
Masyarakat tidak akan menolak jika diberi amplop. Tapi soal milih jawabannya “kumaha urang” wae. Beginilah situasi yang kini tercipta di masyarakat. Apakah ini keberhasilan pendidikan politik atau tidak, bila masyarakat menganggap Hajatan Demokrasi identik dengan proyek 5 tahunan yang membuat masyarakat ketiban rejeki nomplok. Masyarakat tahu, para calon akan memberi sesuatu. Namanya juga proyek. Yang penting bagaimana meraup untung. Proyek sendiri, biasanya sangat jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan moralitas.
Dihadapkan pada kondisi seperti ini apakah kita mampu memohon kepada masyarakat agar mereka menolak uang yang diberikan calin pemimpin ? Rasanya, sulit hal itu untuk dilakukan. Masyarakat akan senang sekali kalau ada yang memberi sesuatu. Apalagi uang. Hal ini identik ketika masyarakat mendapatkan Bantuan Sosial dari Pemerintah. Bagi rakyat, soal beri-memberi bukanlah hal yang baru. Mereka sudah terbiasa menerima Bantuan Sosial.
Yang lebih memungkinkan adalah jika kita memohon kepada para calon pemimpin agar jangan memberi sesuatu kepada masyarakat, apalagi uang, ketika proses Hajatan Demokrasi berjalan. Pertanyaannya adalah apakah para calon akan menerapkan nilai kejujuran dalam kampanyenya ? Atau tetap mereka akan menerapkan prinsip “ngagoreng daging ku gajih”
? (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).
SAH! Plt. Ketua PGRI Kab Bandung oleh Isak Somantri Fauzi di Masa Transisi
HIBAR – PGRI Kab. Bandung telah melaksanakan serah terima jabatan Ketua dari H. Adang Syafaat kepada Isak Somantri Fauzi pada
Berita Duka
Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah Nandang Gumilar, S.Pd, M.MPd SMAN 1 Cikancung Semoga almarhum diampuni dosanya dan diterima amal Ibadahnya.
Bupati Bandung Berikan BPJS Ketenagakerjaan dan Honorarium bagi Para Operator Motor Baca di Setiap Kecamatan
HIBAR -Bupati Bandung Dadang Supriatna melalui Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispusip) Kabupaten Bandung telah menyalurkan Motor Baca (Torca) kepada 31
Well! Berkat Pendekatan Humanis dan Musyawarah, Pembangunan Pasar Ciparay Tanpa Gejolak
HIBAR– Pembangunan Pasar Ciparay, di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung memasuki babak baru. Pasar terbesar di Kecamatan Ciparay ini akan segera
ACUNGAN JEMPOL KEBERPIHAKAN PJ. GUB JABAR KE PERTANIAN
ACUNGAN JEMPOL KEBERPIHAKAN PJ. GUB JABAR KE PERTANIAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Tidak lama lagi Pj. Gubernur Jawa Barat akan
7 KEBIASAAN ANAK HEBAT INDONESIA JANGAN SAMPAI MISKONSEPSI DAN JADI BEBAN ADMINISTRASI BARU
7 KEBIASAAN ANAK HEBAT INDONESIA JANGAN SAMPAI MISKONSEPSI DAN JADI BEBAN ADMINISTRASI BARU Oleh IDRIS APANDI(Praktisi Pendidikan) Salah satu program