5 October 2024 18:10
Opini dan Kolom Menulis

MEMILUKAN, PENGHASILAN PETANI RP. 14.527,- per HARI OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

MEMILUKAN, PENGHASILAN PETANI RP. 14.527,- per HARI

 

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Seperti yang dirilis TEMPO.CO. JAKARTA, Badan Pusat Statistik (BPS) membeberkan data survei terintegrasi pertanian terakhir yang dilakukan pada 2021. Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah mengungkapkan 72,19 persen petani di Indonesia merupakan petani skala kecil dengan rata-rata pendapatan bersih sebesar Rp 5,23 juta dalam setahun. Atau Rp. 435.833 – per bulannya. Dihitung rata-rata per harinya adalah sebesar Rp. 14.527,-

Angka tersebut jauh berada di bawah garis besar kemiskinan , yakni pendapatan Rp 535.547 per bulan. Atau sekitar Rp. 17.851,- per hari. Sedangkan rata-rata pendapatan bersih dari petani skala besar adalah Rp 22,98 juta dalam setahun atau Rp. 1.909. 000 per bulan. Atau sekitar Rp.63.000,- per hari nya. Data seperti ini, sebetulnya sudah sejak lama kita kenali. Petani, khususnya petani gurem dan petani buruh, memang terekam masih hidup cukup memprihatinkan. Mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang tak berujung pangkal.

Mencermati gambaran yang demikian, sangatlah tepat jika Pemerintah perlu memberi perhatian serius terhadap nasib dan kehidupan para petani. Pemerintah tidak boleh abai atas situasi yang terjadi. Pemerintah harus selalu peduli atas hal-hal yang berkaitan dengan keinginan dan kebutuhan petani. Hal ini penting ditempuh agar kehadiran Pemerintah betul-betul dapat terasakan oleh para petani beserta keluarganya.

Nelangsanya kehidupan petani, sudah sama-sama kita kenali. Bagi sebagian besar petani, pembangunan yang telah berlangsung lebih dari 77 tahun ini, di satu sisi telah banyak membawa perubahan, namun di sisi lain, benar-benar membuat luka yang cukup menyakitkan. Mereka sering bertanya ada apa sebetulnya dengan strategi pembangunan yang ditempuh selama ini ? Mereka juga kecewa dengan hasil pembangunan yang menciptakan jurang kian menganga antara yang diuntungkan dengan yang dirugikan pembangunan.

Yang diuntungkan, wajar jika kita katakan sebagai “penikmat pembangunan”, sedang yang dirugikan, tidak salah juga bila disebut sebagai “korban pembangunan”. Keduanya hidup berbarengan, sehingga seolah-olah terjadi hubungan yang harmonis. Catatan kritisnya adalah apakah benar diantara keduanya itu tidak ada pertanyaan : mengapa ada yang disebut penikmat pembangunan, namun di sisi lain ada juga mereka yang disebut selaku korban pembangunan ?

Para penikmat pembangunan, memang jumlahnya sangat sedikit dibanding mereka yang disebut selaku korban pembangunan. Umumnya, mereka tampak seperti yang sedang ongkang-ongkang kaki di atas awan, sambil menikmati hasil teknologi yang paling murakhir. Setiap hari tidak pernah dari jas dan dasi yang dikenakannya. Mobil yang digunakan, setidaknya sekelas Toyota Alphard yang harganya sampai milyaran rupiah. Belum lagi perilaku hidup sofistikasi yang membuat orang-orang ngiler menyaksikannya.

Ditempat lain, kita tengok juga ada segolongan warga bangsa yang kondisi kehidupannya, benar-benar memilukan. Bayangkan dengan penghasilan rata-rata Rp. 14 ribu rupiah per hari, apa yang dapat mereka lakukan. Jika mereka memiliki istri dan anak, uang senilai itu, habis digunakan untuk mencukupi kehodupan utamanya. Untuk sekedar menyambung nyawa kehidupan saja, mereka harus mencari tambahan pendapatan. Yang paling bisa dilakukan menempuh pekerjaan yang sifatnya berburuh pula.

Mereka hidup jauh dari kemewahan. Ibaratnya sebuah keluarga, mereka hanya berharap kepada hasil panen padi yang ditanaminya. Kaitannya dengan usahatani padi, mereka harus menanti sekitar 100 hari, sejak benih padi ditanam hingga di panen. Di rumah mereka tidak pernah terparkir Mobil mahal sekelas Rubicon. Tidak akan pernah pula di rumah petani kita temukan seperanglat alat golf yang harganya mencapai ratidan juta rupiah. Atau motor gede bermerk Harley Davidson.

Lalu, apa dong yang biasa kita temukan ? Yang jela, pasti ada cangkul. Kemudian ada topi caping. Selanjutnya ada baju kebesaran petani, yang warnanya hitam. Dan kebutuhan hidup sehari-harinya. Di lemari mereka, tidak tersimpan sertifikat logam mulia. Tidak tersedia juga yang namanya Pasport untuk syarat berangkat ke luar negeri. Mereka juga, pasti tidak akan pernah mempunyai buku tabungan dan kartu kredit. Di tengah rumah dijamin halal 100 % tidak akan ditemukan televisi berwarna ukuran 60 inchi.

Begitulah sekilas wajah petani Indonesia yang hidup penuh dengan kesederhanaan. Banyak pengamat dan peneliti yang menuding para petani belum hidup layak dan sejahtera selaku bangsa yang merdeka. Namun begitu, kita juga tahu persis, berkat petani inilah orang kota dapat terus menyambung kehidupan. Petani inilah yang menghasilkan beras, yang kemudian menjadi makanan utama sebagian besar masyarakat. Sebagai bentuk ungkapan terima kasih kepada mereka, istilah Pahlawan Pangan seringkali dilekatkan kepada petani.

Langkah melindungi dan membela petani sendiri, mestinya tidak berhenti hanya di tataran regulasi. Sejak sepuluh tahun lalu, bangsa ini telah melahirkan regulasi setingkat Undang Undang. Sayang, UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani ini, lebih mengedepan sebagai hiasan regulasi, ketimbang fakta kehidupan di lapangan. Seiring dengan diterapkannya UU ini, nasib dan kehidupan petani seperti yang jalan ditempat. Bahkan tidak salah jika ada yang menyebut, petani semakin terpental dari pentas pembangunan itu sendiri.

Jargon Petani Bangkit Mengubah Nasib, sepertinya masih belum mampu diwujudkan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di negeri ini. Petani tentu saja butuh jaminan dari Pemerintah. Petani tidak ingin terus-terusan terjebak dalam kemiskinan. Petani pasti mendambakan perubahan dari posisi sebagai korban pembangunan, menjadi penikmat pembangunan. Petani ingin merasakan indahnya buah pembangunan yang hampir 78 tahun kita lalui.

Catatan kritisnya adalah jaminan seperti apa yang dibutuhkan para petani ? Secuil harapannya adalah sampai sejauh mana Pemerintah mampu menjamin jika ada diantara anak bangsa yang berkiprah menjadi petani, maka kehidupannya akan sejahtera dan bahagia. Petani sangat memerlukan jaminan yang demikian. Tinggal sekarang bagaimana Pemerintah mampu merumuskannya ke dalam lsnfkah nyata di lapangan.

Pemerintah sepertinya perlu berbaca diri dalam kemauan politik nya untuk menyelesailan masalah-masalah mendasar dalam pembangunan pertanian dan pembangunan petani. Setidaknya ada dua isu pokok yang sampai saat ini tidak tertuntaskan. Pertama adalah soal kelangkaan pupuk di waktu musim tanam tiba dan kedua terkait dengan problem anjloknya harga gabah dan beras di tingkat petani. Ke dua hal ini terus berlangsung setiap tahun. Pemerintah sendiri terekam seperti yang tidak berdaya menghadapinya.

Kini pokok soalnya telah tergambarkan. Wajah Petani di negeri ini, masih membutuhkan banyak polesan. Petani terlihat masih banyak yang hidupnya susah. Mereka perlu kebijakan dan program Pemerintah, yang benar-benar dapat membawa perubahan, baik nasib atau kehidupannya. Kita percaya, Pemerintah tentu akan berkiprah yang terbaik, guna mewujudkan para petani yang sejahtera dan bahagia.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Muhasabah Diri

Semangat SubuhSabtu, 5 oktober 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUHASABAH DIRI Saudaraku,Kadangkala dalam seharian kehidupan kita tak sadar ada tutur kata

Read More »

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Benar yang dikatakan Proklamator Bangsa Bung Karno ketika meletakan batu pertama pembangunan.Gedung Fakultas

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *