6 October 2024 19:38
Opini dan Kolom Menulis

Falsafah “Bendo”

FALSAFAH "BENDO"

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Dalam sebuah diskusi sekitar 3 tahun lalu, sesepuh perempuan Jawa Barat Ceu Popong yang sempat menjadi Wakil Rakyat selama 5 periode di DPR RI, sempat menegaskan bahwa masyarakat itu tergantung penguasa. Dalam bahasa lain nya “rahayat mah kumaha nu di bendo”.
Pertanyaan selanjut nya adalah “kumaha ari nu di bendo na” ? Bagaimana dengan penguasa nya ?

Pengungkapan nilai-nilai budaya Sunda yang diutarakan Ceu Popong diatas, pada hakekat nya memberi “warning” kepada kita bahwa dalam melakoni pembangunan selama ini, apa-apa yang diinginkan rakyat, ujung-ujung nya akan sangat ditentukan oleh penyikapan para penguasa terhadap aspirasi rakyat tersebut.

“Nu di bendo” memang masih segala nya. Keinginan rakyat belum tentu sama dengan harapan penguasa. Kalau rakyat menyukai aksi unjuk rasa sekira nya ada hal- hal menyakiti hati nurani nya, belum tentu penguasa menyenangi aksi rakyat turun ke jalan.

Kalau tiba-tiba pupuk bersubsidi hilang dari pasaran, lalu para petani datang rame-rame ke DPR, maka belum tentu gerakan ini satu nafas dengan mau nya penguasa. Akibat nya wajar, bila kemudian ada pihak yang menyatakan, antara aspirasi rakyat dengan sikap penguasa, identik dengan harapan dan kenyataan. Idealisme dan realisme.

Slogan “kumaha nu di bendo” dalam mengarungi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, jelas bukan hal yang perlu untuk dilestarikan. Yang harus dicarikan solusi cerdas nya adalah bagaimana cara nya agar yang di bendo dan yang tidak di bendo, mampu memiliki sikap, tindakan dan wawasan yang sama terhadap penyelenggaran pembangunan.

Mind-set kedua nya penting di satu pikirkan dan di satu hatikan. Tidak boleh ada sekat. Apalagi diciptakan jarak kehidupan. Dalam nilai-nilai kesundaan, dikenal juga istilah “someah”. Arti nya perilaku yang menghargai keberadaan para pendatang. Dalam bahasa “kirata” (dikira-kira nyata), someah itu memiliki makna “hade ka semah” (baik kepada tamu).

Arti nya jika kita harus berperilaku baik kepada tamu, maka harus lebih bail lagi kepada yang bukan tamu. Itu sebab nya, bila seseorang didaulat untuk menjadi yang dibendo, maka diri nya tidak boleh “adigung” atau sombong. Justru sebalik nya yang berbendo itu harus mampu “menyatukan sikap” dengan yang memberi bendo nya.

Bendo adalah sebuah kiasan kepemimpinan yang bakal diberikan kepada seseorang yang “masagi” atau sosok nanusia yang mesti nya paripurna. Penerima bendo harus mampu menampilkan kehidupan yang sederhana, dekat dengan rakyat dan tentu saja harus mampu menghindari diri dari sikap angkuh, sombong dan merasa paling pinter.

Rakyat tidak butuh sosok manusia yang “guminter” (merasa paling pinter), namun masyarakat senantiasa menunggu hadir nya sosok yang cakap dan cerdas. Rakyat tidak memerlukan orang yang sombong, namun yang ditunggu-tunggu masyarakat adalah manusia yang mampu menyelami hati rakyat. Itu sebab nya, yang dibendo perlu memahami kearifan lokal dan mau menjalani nya.

Seiring dengan perjalanan waktu, menjadi yang dibendo, rupa nya membutuhkan cost politik yang semakin mahal. Untuk menjadi Gubernur di pulau Jawa, boleh jadi akan membutuhkan dana puluhan milyar rupiah.

Bila ingin jadi Bupati/Walikota, keperluan nya sudah bukan ratusan juta rupiah lagi. Apalagi jadi Presiden. Tapi sudah dalam hitungan milyaran rupiah. Bisa jadi angka nya akan lebih besar lagi. Begitu pula bila ingin jadi Wakil Rakyat.

Kebutuhan dana politik untuk jadi anggota DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi dan DPR RI juda DPD RI, bervariasi dari ratusan juta hingga milyaran rupiah. Dengan kata lain, untuk menjadi yang dibendo itu, jelas tidak ada yang gratis.

Ironis nya setelah diri nya menjadi yang dibendo, sikap rakus dan lupa diri, mulai dipertontonkan. Akibat nya, tentu tidak mengherankan, bila kemudian tersiar kabar tentang ada nya yang di bendo di Operasi Tangkap Tangan KPK. Mulai Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota sudah cukup sering dijebloskan ke penjara.

Bendo adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Bendo bukan hanya simbol kekuasaan, namun bendo pun merupakan lambang kearifan dan kesahajaan. Oleh karena nya, pertanyaan Ceu Popong yang di awal tulisan ini, sepatut nya menjadi bahan renungan kita bersama, khusus nya yang sekarang ini sedang di bendo.

Mereka yang sekarang di bendo, sudah saat nya untuk mengaca diri. Mereka penting untuk menyelami kembali suasana kehidupan masyarakat yang tengah tetmrjadi. Apakah mereka yang dibendo memahami dengan pasti hal-hal apa saja yang sekarang ini di dambakan rakyat ?

Benarkah mereka yang dibendo sekarang lebih senang mempertontonkan “kepongahan” dari pada kesahajaan ? Dan yang tak kalah menarik nya untuk dijadikan bahan perenungan bersama adalah apakah benar mereka yang dibendo ini sudah tidak memahami lagi apa yang menjadi falsafah dari bendo itu sendiri ?

Akhir nya dalam rangka mengisi tahun 2021 ini, mari kita buktikan kepada rakyat bahwa bendo itu adalah lambang kehormatan sekaligus juga wujud pertanggungjawaban. Bukan hanya penghias wajah tatkala acara-acara kesundaan dipentaskan.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

“LIANG COCOPET”

“LIANG COCOPET” OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA “Liang Cocopet” adalah ungkapan umum dalam kehidupan masyarakat. Tatar Sunda, yang intinya menggambarkan tempat

Read More »

Tanda Terimanya Sebuah Amal

MUHASABAH AKHIR PEKANMinggu, 6 Oktober 2024 TANDA DITERIMANYA SUATU AMAL BismillahirrahmanirrahiimAssalamu’alaikum wr wbrkt… Saudaraku,Perlulah kita ketahui bahwa tanda diterimanya suatu amalan adalah apabila

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *