24 January 2025 23:54
Opini dan Kolom Menulis

Relasi Sastra dan Ilmu Sosial

Relasi Sastra dan Ilmu Sosial


Oleh Asep Suhendar

Sebagai karya kreatif, sastra adalah wujud produk kesuksesan pengarang membangun ide yang awalnya berada di dunia ‘jiwa’ menjadi lebih konkret dan menghasilkan makna yang baru. Ide yang dituangkan dalam bentuk tulisan itu menjadi sesuatu yang memiliki tingkat keindahan tertentu, itulah kodrat estetika sastra. Oleh karena itu su-sastra diartikan sebagai sebuah tulisan yang memiliki tingkat ‘kemuliaan’ tinggi. Tentu tidak akan mungkin menepiskan eksistensi kitab suci, namun bagi masyarakat intelektual tradisional tertentu sastra bisa jadi merupakan hidangan utama dalam bagian konsumsi jiwa mereka.
Model sastra Abrams yang menggambarkan 3 titik antara alam, pembuat dan pembaca cukup menggambarkan bahwa sastra adalah esensi dari 3 sub sistem yang membangun dirinya menjadi satu produk pikir yang mapan. Sumbernya adalah alam semesta lalu diproduksi oleh penulis dengan seperangkat alat intelegensianya kemudian dilemparkan ke masyarakat umum sebagai konsumen sekaligus kritikus.
Sastra sebagai aktualisasi ide kreatif manusia tidak lepas dari hukum ruhiyahnya sebagai bentuk mimesis, mimesis atas alam, baik alam fisik, alam sosial hingga alam transendental yang bersifat metafisika. Bentuk mimesis tertinggi dari sebuah penjabaran ide ini bisa merupakan sebuah kompresi atas berbagai peristiwa kehidupan yang ada dalam peradaban manusia. Sastra menjadi salah satu dokumentasi sosial yang paling otentik dalam hal merekam kehidupan sosial manusia walau pun sastra pun tidak mungkin bisa melepaskan diri dari subjektivitas penulis yang sangat mungkin memiliki kecondongan ideologis, fanatisme religius dalam batas tertentu, hingga keberpihakan pada isme yang lebih dulu mapan dalam pikirannya.
Bagaimana pun juga sastra telah menjadi arsip kehidupan manusia tertentu yang bisa saja memberikan warna tersendiri bagi fase sosio-politik tertentu, di jaman dan rentang waktu tertentu hal ini beriringan dengan aspek kultur massa di lingkupnya yang juga spesifik. Fakta ini salah satunya tampak pada periodisasi sastra Indonesia yang tercatat pada sejarah sastra Indonesia. Jangan lupakan jasa besar Ajip Rosidi dan H.B Jassin yang telah menulis dan mendokumentasikan sejarah perkembangan sastra Indonesia sejak fase pra-kemerdekaan hingga setidaknya periode awal 90an. Tentu sosok Goenawan Mochamad pun tidak bisa diabaikan sebagai salah satu pengawal perkembangan kritik dan budaya sastra Indonesia setidaknya sejak ia bergabung dalam ‘faksi’ Manifes Kebudayaan pada periode 1963 hingga menjadi penjaga gawang Catatan Pinggir Majalah Tempo sebagai redaktur budaya dan sastra.

Fungsi Sastra
Sastra memiliki fungsi tertentu yang bisa berbeda tergantung pada siapa persoalan ini disampaikan. Sebagaimana pertentangan klasik antara faksi Manifes Kebudayaan dan klan Lekra di fase 1963, di mana H.B Jassin, Goenawan Mohammad, Wiratmo Soekito dkk mendeklarasikan sebuah manifesto kebudayaan tentang pemancangan basic idea kegiatan intelektual kebudayaan mereka sebagai seniman dan budayawan yang ditentang atau bertentangan dengan garis merah para budayawan Lekra di masa itu.
Bagi faksi manifes Kebudayaan, sastra merupakan sesuatu yang independen, dia berdiri sendiri sebagai sastra sebagai sebuah entitas walau mungkin karya tersebut memiliki sumber idea dari realitas sosial yang ada yang melahirkan dirinya, L’art pour l’art. Hal ini berbeda dengan misi para seniman kiri yang mengusung sastra sebagai alat perjuangan kaum tertindas, senjata perang kaum subaltern atau kaum marjinal yang eksis di waktu itu bahkan di jaman mana pun selama penindasan itu ada.
Bagi para seniman kiri, sastra sudah semestinya menjadi atau dijadikan alat perjuangan sosial demi perbaikan hidup agar lepas dari penindasan kekuasan. Sastra juga dijadikan alat untuk memberontak kemapanan ketidakadilan penguasa, kaum aristokrat yang borjuis dan mereka yang dinilai ’mabuk agama’ yang mengabaikan berbagai persoalan yang menyangkut penghidupan dan kehidupan masyarakat.
Sastra akan selalu hidup bersama jamannya. Perkembangan sosial bersama dengan perkembangan ilmu pengetahuannya juga akan senantiasa mengiringinya. Perkembangan sosio-politik pun akan selalu menjadi warna tersendiri dan akan selalu tampil menghidupkan ruh sastra pada jamannya. Puisi-puisi syair melayu Amir Hamzah misalnya yang eksis di awal pintu abad 20 menyajikan gaya bahasa khas melayu dan konten ide romantik, liris dan memiliki estetika khas melayu klasik. Perkembangan prosa tahun 1920an seperti Siti Nurbaya (Marah Roesli), Salah Asuhan (Abdul Moeis), Sengsara Membawa Nikmat (Tuli St. Sati), dan juga, Azab dan Sengsara (Merari Siregar) memiliki tipikal gaya penulisan yang mirip. Sisi tematik yang cenderung senada, yakni kuatnya persoalan budaya, eksistensi budaya dalam krangka etnografis lokal. Kecuali pada ‘Salah Asuhan’, di mana tokoh Hanafi yang lebih ‘modern’ di banding jamannya karena hubungan Asmaranya dengan Corrie yang digambarkan sebagai sosok inlander yang ke’Belanda-belandaan’ secara pemikiran, walau pun background sosial ceritanya sendiri sangat ‘etnik’ ke-Sumateraan.
Fase berikut ketika Indonesia memasuki awal masa revolusi kemerdekaan awal. Di mana dominasi Eropa mulai runtuh oleh gerakan fasisme Jepang yang masuk ke indonesia pada 1942 yang juga berdampak pada pergeseran tema serta gaya bahasa kepenyairan sastrawan indonesia. Adalah sosok Chairil yang dianggap ‘perusak’ estetika penulisan puisi dari yang asalnya mendayu, romantik dan terikat menjadi lebih fluid, bebas, dan ‘kasar’ secara bentuk kebahasaan dan juga tipografi puisi Indonesia. Chairil juga mengusung tema pergerakan anti kolonial dalam puisi-puisinya walau pun terdapat juga puisi cinta dan juga puisi religiusnya.

Relasi Sastra dan Ilmu Sosial
Sastra dan ilmu sosial memiliki relasi tersendiri yang bersifat interdisipliner. Ilmu sosial yang paling berkaitan erat bahkan nyaris memiliki ‘pertalian darah’ dengan sastra adalah sosiologi. Sebagai ilmu sosial yang idependen, sosiologi memiliki ranah keilmuan yang sangat luas, seperti ilmu tentang kajian kemasyarakatan, antropologi (antropologi budaya atau pun antropologi fisik) ekonomi, sejarah hingga hukum dan politik. Dalam hal kajian sastra, sosiologi sastra dalah satu kajian disiplin yang sudah bisa dikatakan mapan dan sah berteman hidup dengan semesta sastra.
Sastra juga memiliki kaitan dengan psikologi sebagai ilmu. Kajian-kajian psikologi sastra telah cukup banyak bermunculan. Hal ini menjadi suatu tawaran tersendiri di mana kajian psikologi sastra telah menjadi satu arus terpisah di mana kajian unsur kejiwaan pada sebuah teks sastra menjadi ranah tersediri untuk dijadikan lahan analisis akademik.
Dalam hal kajian sastra dalam kontekskritik sastra formal-akademik, sosiologi sastra,psikologi sastra, dekonstruksi dan lain-lain, cukup memberikan gambaran bahwa ruang sastra tidak mungin dipisahkan dengan realitas sosial dan ilmu sosial foral yang ada. Faruk sebagai kritikus terkemuka sastra di Indonesia dikenalsebagai salah satu akademisi yang bidang utama kajian-kajiannya adalah sosiologi, antropologi budaya dan strukturalisme genetik.
Dalam konteks pendidikan yang salah satunya objek sasarannya adalah pendidikan karakter, sastra pun ikut ambil baian di dalamnya. Kajian-kajian teori tentang studi prilaku, karakter dan impilikasinya terhadap kehidupan masyarakat terkhusus para peserta didik, mulai dilirik oleh para kritikus untuk ‘dikaitkan’ secara interdisipliner dengan sastra sebagai media alternatif pembelajarannya.
Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang membahas berbagai persoalan masyarakat. Di antaranya masalah relasi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok sosial tertentu, dan relasai antar kelompok. Sosiologi juga berkerja sebagai ilmu yang membidani persoalan kependudukan, antropologi, kebudayaan, pendidikan dan sosio ekonomi.
Masyarakat adalah zoonpoliticon atau manusia yang bermasyarakat yang memerlukan kehadiran individu lain untuk melangsungkan kehidupannya. Hal inilah yang mengakibatkan apa yang disebut dengan proses sosial. Sebagai kodrat mahluk sosial, manusia pasti akan saling membangun relasi dan bersimbiosos antar individu yang lain. Mereka akan membentuk komunitas tertentu, membuat kongsi ekonomi, berpolitik, membangun struktur sosial yang diperlukan hingga mebuat seperangkat sistem hukum dan perundang-undangan untuk engatur kelancaran lalulintas dan ketertiban kehidupan sosial mereka.
Proses sosial teformulasikan selanjutnya secara otomatis dan berbagai persoalan sosial pun akan muncul secara alami selama perkembangan peradaban mereka, sehingga tentu tidak heran semua akan membentuk relasi inter-konektivitas yang menghasilkan co-operasi hingga clash atau konflik.
Banyak karya sastra yang sangat baik menggambarkan tentang realitas sosial masyarakat Indonesia di antaranya karya-karya Pram, novel-novel Klasik Balai Pustaka dan pujangga baru hingga novel-novel realis 80-90an seperti novel-novel Mira W yang populer dan beberapa diangkat ke layar lebar, seri Keluarga Cemara-nya Arswendo yang juga disinetronkan dan di-film-kan. Tidak ketinggalan novel fenomenal Andrea Hirata, Laskar Pelangi pada pertengahan tahun 2000an. Karya-karya Kuntowijoyo dan Hamsad Rangkuti juga tidak bisa dilupakan bahwa dominasi tematik mereka adalah realitas sosial. Agak berbeda dengan beberapa karya Emha Ainun Nadjib dalam kumpulan ‘Gelandangan di kampung Sendiri’ yang selain mengekspose realitas sosial juga melemparkan satir yang getir terhadap masyarakat yang sadar dengan realitas itu, penguasa, hingga masyarakat agama yang dinilai memahami makna kehidupan yang lebih baik.
John dalam Faruk (1999) menyinggung tentang novel Siti Nurbaya sebagai novel yang realistis, yang memenuhi syarat sebagai novel sesuai dengan konsep realisme formal Ian Watt. Hal ini mengindikasikan bahwa Siti Nurbaya sebagai salah satu novel yang menggambarkan realitas sosial (fakta sosiologi) yang sangat relevan dengan keadaan sosial di masyarakat yang sebenarnya.
Dari sektor puisi kita kenal karya-karya Rendra dan Taufiq Ismail. Yang menyajikan aspek-aspek nyata yang ada di masyarakat sehingga menghasilkan puisi-puisi yang cenderung lugas gaya kritik sosialnya.
Sosiologi yang eksis sebagai ilmu sosial digandeng oleh sastra sehingga melahirkan sosiologi sastra dan strukturalisme genetik hingga kritik sastra marxis dan realisme sosialis. Salah satu kajian ini adalah yang telah dilakukan Eka Kurniawan dalam mebedah karya Pramoedya Ananta Toer dengan pisau analsis kajian sastra realisme sosialis.

Psikologi
Psikologi diartikan sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang mengkaji masalah kejiwaan. Masalah kejiwaan tersebut bisa bervariasi, bahwa setiap persoalan yang dialami individu yang berdampak pada perubahan sikap dirinya itulah persoalan psikologi. Wundt via Davidov, dalam Walgito (1999) mengungkapkan bahwa psikologi adalah ‘Science of human consciousness’ yang secara bebas bisa diartikan bahwa psikologi itu ilmu pengetahuan tentang kesadaran manusia. Yang perlu digaris bawahi adalah pengertian kesadaran “consciousness” yang lebih kurang memiliki pengertian kesadaran dalam kerangka pemikiran diri yang paham akan keadaan normal tentang diri dan lingkungannya, menyadari keadaan positif yang seharusnya ada dan sekaligus kondisi di mana tiap individu harus bisa menampatkan diri dalam keadaan yang sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan. Dalam hal ini juga ‘kesadaran’ bisa diartikan situasi pikir individu yang dituntut selalu berada dalam keadaan yang selaras dengan norma sosial serta hukum yang berlaku.
Chaplin, masih dalam Walgito (1999) menjelaskan bahwa psikologi atau psyche memiliki cakupan kajian antara lain; a. principle of life, b. the mind including both conscious and unconscious processes, dan c. the self. Chaplin membuka domain yang lebih luas dibandingkan Wundt, bahwa menurutnya aspek ketidaksadaran juga masuk ke dalam wilayah kajian psikologi.
Cerpen-cerpen Danarto dalam ‘Godlob’ dan ‘Gergasi’, dalam pandangan penulis merupakan cerpen-cerpen dengan sajian konflik batin yang sangat psikologis dalam balutan kisahan yang surealis. Beberapa analis lain mengatakan Danarto menulis karya yang surealis dan eksistensialis sehingga terlalu sulit dipahami oleh pembaca. Demikian pula ‘Ziarah’-nya Iwan Simatupang dan kumpulan cerpenya ‘Tegak Lurus dengan Langit’ yang juga sangat tipikal mengedepankan self-sentrisme ide, ke-akuan dan ego diri yang sama-sama sulit sekali ditemukan esensi pesannya jika hanya mengandalkan pembacaan heuristik.
Psikoanalisis pun ikut berperan menjadi salah satu ranah yang disentuh oleh sastra. Teori Freud , sang penemu konsep id, ego dan super ego dalam diri manusia menggali sisi manusia yang lebih dalam. Hal ini pun menjadi ranah yang sangat menarik untuk dikaji dalam sebuah prosa semisal beberapa cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam antologi Sebuah ‘Pertanyaan Untuk Cinta’, ‘Cantik itu Luka’, Eka Kurniawan atau. ‘Saman’ nya Ayu Utami yang juga menarik dikaji dengan psikoanalisis.
Beberapa konsep dasar teori Freud adalah tentang kedasaran dan ketidaksadaran yang dianggap sebagai aspek kepribadian dan tentang insting dan kecemasan. Menurut Freud (Walgito, 2004:77) kehidupan psikis mengandung dua bagian, yaitu kesadaran dan ketidaksadaran. Bagian kesadaran bagaikan permukaangunung es yang nampak, merupakan bagian kecil dari kepribadian, sedangkan bagian ketidaksadaran (yang ada di bawah permukaan air) mengandung insting-insting yang mendorong semua perilaku manusia.

Selanjutnya Freud menggembangkan konsep id, ego, dan superego sebagai struktur kepribadian. Id berkaitan dengan ketidaksadaran yang merupakan bagian yang primitif dari kepribadian. Kekuatan yang berkaitan dengan id mencakup insting seksual dan insting agresif. Id membutuhkan pemenuhan dengan segera tanpa memperhatikan lingkungan realitas secara objektif. Freud menyebutnya sebagai prinsip kenikmatan. Ego sadar akan realitas. Oleh karena itu, Freud menyebutnya sebagai prinsip realitas. Ego menyesuaikan diri dengan realitas. Superego mengontrol mana perilaku yang boleh dilakukan, mana yang tidak. Oleh karena itum Freud menyebutnya sebagai prinsip moral. Superego berkembang pada permulaan masa anak sewaktu peraturan-peraturan diberikan oleh orang tua dengan menggunakan hadiah dan hukuman. Perbuatan anak semula dikontrol orang tuanya, tetapi setelah superego terbentuk, maka kontrol dari superegonya sendiri (Walgito, 2004:77). Simak dalam Wyatmi (2011)

Psikologi Sosial
Sebagai ilmu yang merupakan irisan gabungan 2 disiplin ilmu besar yakni psikologi dan sosiologi, psikologi sosial menjadi sebuah domain keilmuan tersendiri. Dasar keilmuan yang menjadi ranahnya adalah ilmu jiwa yang menjadi dasar permasalahan yang diderita secara kolektif oleh masyarakat. Psikologi sosial menjadi ilmu dengan ranah ‘filsafat’ tertentu yakni mempelajari berbagai persoalan di masayarakat yang berhubungan erat dengan ekses prilaku individu.
Banyak persoalan sosial yang muncul sebagai ekses dari peristiwa-peristiwa yang pada mulanya berawal dari persoalan individu. Sebagai contoh peristiwa kerusuhan massal yang awalnya bisa disebabkan hanya karena permasalahan individu. Kasus perang suku pada peristiwa Sambas atau Sampit hingga kasus kerusuhan berbau agama di Poso dan di Ambon pada rentang 1998 sampai 2002.
Beberapa konsep persoalan psikologi sosial
1. Anomie
Anomie adalah kondisi kekacauan jiwa dalam diri individu, yang dicirikan oleh ketidakhadiran atau berkurangnya hingga hilangnya standar atau nilai-nilai yang maujud secara umum dalam bentuk norma-norma atau aturan sosial, dan perasaan keterasingan dan ketiadaan tujuan yang menyertainya. Anomie bisa jadi terjadi karena keadaan stress yang berkepanjangan yang dialami individu sehingga masuk pada tingkatan stress selanjutnya hingga depresi.
Anomie sangat umum terjadi apabila masyarakat sekitarnya mengalami perubahan-perubahan yang besar dalam situasi ekonomi, entah semakin baik atau semakin buruk, dan lebih umum lagi ketika ada kesenjangan besar antara teori-teori dan nilai-nilai ideologis yang umumnya diakui dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Crowd
Crowd diartikan kumpulan individu dalam satu saat dan tempat yang sama. Crowd tidak selalu bermakna kondisi rusuh. Ada crowd yang terkendali dan tenang seperti kumpulan orang di bioskop, situasi di mana ada kumpulan masa yang memiliki satu tujuan yang sama seperti hadir dalam kegiatan kampanye sebuah parpol dan lain-lain. Namun memang ada juga crowd yang uncontrolled atau tidak terkendali, yaitu situasi di mana terjadinya kekacauan saat terjadinya kumpulan massa baik yang memiliki tujuan yang sama atau pun tidak. Contoh kerusuhan di acara konser musik, betrok suporter dan sebagainya.
3. Imitasi
Imitasi adalah perilaku meniru yang muncul dalam keadaan kerumunan saat terjadi crowd. Efek crowd akan memicu atau lebih tepatnya saling memicu satu sama lain antar individu untuk maniru prilaku. Hal ini terjadi terutama saat terjadi crowd yang tidak mengalami stabilitas kondisi di mana faktor individu pemimpin tidak hadir. Sebagai contoh dalam kerumunan suporter sepak bola maka akan sangat sering ditemukan kasus teriak-meneriaki pemain lawan yang dilakukan suporter lawannya. Terutama jika para suporter tersebut terprovokasi atau mengalami kekecewaan karena pemain lawan tersebut, seperti saat dia mencetak gol. Saat pemain tersebut diteriaki oleh seorang penonton, besar kemungkinan penonton lain melakukan hal yang sama sehingga yell yell tersebut menjadi tidak terkendali dilakukan oleh hampir semua suporter.


4. Interaksi Sosial
Interaksi sosial adalah proses dinamis antara individu dengan individu lain atau antara individu dengan kelompok sosial tertentu atau interaksi antar kelompok sosial. Dalam hal ini, interaksi sosial akan memungkinkan dalam proses interaksinya masing-masing subjek akan melakukan penyesuaian-penyesuaian atas proses relasinya agar tercapai kesepakatan. Relasi semacam ini memungkinkan bahwa antar subjek interaksi ini saling mempengaruhi (konsep politik). Baca juga Walgito (1999)

Pola interaksi ini mirip dengan pola komunikasi yang melibatkan aspek stimulus, respon, dan feedback.

5. Chaos
Chaos adalah istilah untuk menyebut keadaan yang kacau balau atau rusuh. Chaos terjadi ketika terjadi ketidak seimbangan situasi antara harapan dengan kenyataan yang dialami crowd. Contoh saat pendemo kecewa karena tidak berhasil menyampaikan aspirasi pada individu atau representan lembaga berwenang yang dituju.

Beberapa konsep teori psikologi sosial di atas tercermin juga pada karya-karya sastra yang muncul di khazanah sastra Indonesia. Sebagai contoh bayak karya Seno Gumira Ajidarma yang memiliki konten tematik dengan persoalan psikologi sosial, seperti pada kumpulan cerpennya ‘Iblis Tidak Pernah Mati’ atau ‘Sepotong Senja Untuk Pacarku’. Beberapa cerpen yang menggambarkan peristiwa psikologi sosial ini adalah ‘Eksodus’, ‘Clara’, ‘Jakarta Satu Ketika’, dan ‘Kunang-kunang Mandarin’.
Ilmu sosial sangat dekat dengan eksistensi sastra karena memang sastra tidak pernah terlahir dari kehampaan ruang sosial di mana ia tumbuh, sebagaimana ilmu sosial yang juga lahir akibat dari adanya proses sosial dan dinamika di masyarakat. Jika diibaratkan sebagai sebuah himpunan semesta, sastra merupakan irisan dari realitas dengan daya cipta manusia yang terdapat dalam satu domain besar lingkungan sosial sehingga dipastikan sastra sebagai bagian dari realitas sosial itu sendiri walau pun sastra tidak harus selalu ‘real’ secara tematik dan tidak wajib menjadi sastra yang selalu menggambarkan dirinya sebagai yang ‘realisme sosialis.’

Penulis: pengajar di SDN Marahayu 13 dan Pengajar Bahasa Indonesia di SMPIT Cendikia Qur’ani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *