26 October 2024 14:18
Opini dan Kolom Menulis

PERBAIKAN PENDIDIKAN BUKAN HANYA SISTEM, TAPI JUGA POLA PIKIR

*PERBAIKAN PENDIDIKAN BUKAN HANYA SISTEM, TAPI JUGA POLA PIKIR*

Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan, Penulis Buku Pendidikan Indonesia Mau Dibawa ke Mana?)

Pasca pelantikan Mendikdasmen Prof. Abdul Mu’ti, masyarakat, khususnya sebagian pelaku dan pemerhati pendidikan menyampaikan berbagai harapan dan aspiarsinya terhadap peningkatan mutu pendidikan. Diantaranya adalah kaji ulang kurikulum merdeka, PPDB Zonasi, dan Ujian Nasional (UN). Dihapuskannya UN dan kebijakan tidak boleh tidak menaikkan kelas berdampak terhadap rendahnya motivasi belajar peserta didik. Peserta didik tidak terpacu belajar dengan sungguh-sungguh. Bagaimanapun prestasi yang dicapai, ujung-ujungnya tetap naik kelas atau lulus. Belajar tidak lagi dianggap sebagai sebuah tantangan dan mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna, tetapi hanya sebuah aktivitas untuk mendapatkan ijazah.

Hal yang paling mengkhawatirkan saat ini adalah terkait dengan karakter peserta didik. Cukup banyak kasus peserta didik yang bermental lemah, kurang menghormati guru, melawan perintah guru, dan bahkan melakukan kekerasan terhadap guru. Sebagian orang menilai hal ini tidak lepas dari dampak dari kurikulum yang terlalu memberi kemerdekaan kepada murid, sedangkan di sisi lain, guru khawatir bertindak tegas karena takut berurusan dengan hukum.

Sistem yang saat ini masih berlaku merupakan upaya yang dilakukan sebagai solusi terhadap keluhan terhadap rendahnya mutu pendidikan di masa sebelumnya. Kemudian, sistem ini pun kemudian dikeluhkan karena dianggap tidak sesuai dengan harapan. Lalu, muncul keinginan ”bernostalgia” dengan sistem masa lalu sebagai jawaban terhadap kurang memuaskannya sistem pendidikan yang saat ini diberlakukan.

Bongkar-pasang kebijakan, perubahan kurikulum, revisi regulasi, penghapusan regulasi, dan pembuatan regulasi baru menjadi suatu yang mungkin terjadi seiring dengan pergantian kepemimpinan. Sebuah pepatah mengatakan, setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya. Seorang pemimpin kadang ingin meninggalkan legacy pascakepemimpinannya. Hal inilah kadang menjadi motif terhadap adanya perubahan sebuah kebijakan atas nama evaluasi atau inovasi.

Sistem apapun yang digunakan dalam dunia pendidikan, tidak ada yang sempurna. Ada plus dan minusnnya. Setiap kebijakan yang diberlakukan memiliki madhab teori belajar dan filsafatnya masing-masing. Semuanya benar dalam pandangan filsafatnya masing-masing. Pihak yang menyatakan bahwa proses belajar akan terjadi secara efektif dan berdampak jika peserta didik diawasi, dikondisikan, dikendalikan, dan dikontrol oleh guru ada benarnya. Ini yang disebut madhab pembelajaran behaviorisme. Pada pembelajaran yang menggunakan madhab behaviorisme, peran guru sangat dominan atau dikenal juga dengan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centre).

Sedangkan pihak yang menyatakan bahwa belajar harus dilandasi dengan pemberian kesempatan peserta didik untuk mengeksplorasi gagasan, pengalaman, mencari, dan merumuskan solusi dari permasalahan yang dihadapi disebut madhab pembelajaran konstruktivisme. Pada pembelajaran yang menganut madhab konstruktivisme pembelajaran berpusat kepada murid (student centre). Pada tipe pembelajaran ini pun, proses belajarnya diarahkan untuk memanusiakan manusia sejalan dengan filsafat humanisme.

Kembali kepada adanya aspirasi perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan di era Menteri Abdul Mu’ti. Hal itu tentunya sah-sah saja dan layak dihormati sebagai bagian dari demokrasi. Walau demikian, menurut saya, masalahnya bukan pada perbaikan sistem saja, tetapi juga perbaikan pola pikir (mindset) para pemangku kepentingannya (stakeholder).

Pertanyannya adalah jika UN berlakukan kembali, PPDB sistem zonasi dihapus, sistem NEM dikembalikan otomatis akan meningkatkan mutu pendidikan? Saya kira tidak ada yang dapat memastikannya sepanjang pola pikir para pemangku kepentingannya belum baik. Kita masih ingat saat masih ada UN yang tujuannya mengukur prestasi lulusan patokan secara nasional, pada praktiknya diwarnai banyak kecurangan, rekayasa, muncul tim sukses, sampai polisi pun mengawal soal UN dan ”menggerebek” tim sukses yang sedang ”mengakali” Lembar Jawaban UN. Bahkan ada peserta didik yang bunuh diri karena tidak lulus UN.

Protes pun bermunculan terhadap UN. Banyak pihak menilai UN tidak adil. Hanya mengukur prestasi murid hanya dalam waktu beberapa hari dan yang dinilai hanya dari beberapa mata pelajaran seperti matematika, IPA, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Jangan sampai masa depan anak dikorbankan gara-gara tidak lulus UN. UN pada awalnya menjadi syarat lulus dari satuan pendidikan, karena banyak diprotes, kemudian menjadi diubah tidak menjadi syarat lulus dari satuan pendidikan.

UN yang tujuan awalnya untuk kepentingan akademik, bergeser menjadi kepentingan politis dan prestise. Oleh karena itu, masalah integritas dalam pelaksanaannya diabaikan. POS UN sudah buat, pengawasan ketat sampai melibatkan aparat kepolisian sudah dilakukan, tetapi, tetap saja ada celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk mengakali UN. Itulah argumen yang muncul dari pihak yang tidak setuju terhadap UN.

Setelah UN dihapus dan diganti dengan Asesmen Nasional (AN) tahun 2021, mutu pendidikan pun tidak kunjung meningkat. Apalagi Awal 2020 s.d. 2021 ada pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap terjadinya penurunan mutu pembelajaran (learning loss). Peserta didik banyak yang ogah-ogahan belajar karena merasa pasti akan lulus atau diluluskan. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang hanya menggunakan sampel dari total peserta didik pada kelas tertentu juga dinilai menjadi penyebab kurang termotivasinya peserta didik untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Lalu, muncul lagi keresahan terhadap kondisi ini yang dinilai berdampak semakin buruk jika terus dibiarkan.

PPDB sistem zonasi yang tujuannya untuk memberikan kesempatan yang sama dan inklusivitas kepada para calon peserta didik, khususnya di wilayah sekitar sekolah yang dituju juga menimbulkan masalah dan ketidakpuasan. Penyebabnya sama. Ketidakjujuran, manipulasi, rekayasa seperti titip (pemalsuan) Kartu Keluarga (KK). Belum meratanya mutu sekolah dan tidak proporsionalnya sebaran sekolah pada suatu daerah menjadi penyebab PPDB sistem zonasi ini belum sesuai dengan harapan.

Terkait masalah kenaikan kelas, pada dasarnya, jika mengacu kepada pedoman pembelajaran dan asesmen kurikulum merdeka, sekolah boleh saja tidak menaikkan kelas seorang peserta didik, tetapi harus melalui pertimbangan yang sangat matang dan menjadi alternatif terakhir karena harus mempertimbangkan mental dan keragaman kemampuan belajar peserta didik. Kerana hal ini sejalan dengan pembelajaran yang berpihak pada anak dan tidak merugikan anak.

Pada kenyataannya, sekolah memilih untuk tetap menaikkan peserta didik walau sebenarnya tidak layak naik dengan pertimbangan anaknya takut kena mental, orang tuanya protes, mencoret nama baik sekolah, dan menjadi viral. Dibalik alasan tersebut, diakui atau tidak, hal ini juga sebagai dampak guru yang belum mampu melakukan penilaian secara otentik secara akuntabel dan transparan.

Masih banyak kasus nilai peserta didik yang dikatrol atas nama kasihan dan kasih sayang. Saat diminta data-data lengkap terkait nilai peserta, para guru gelagapan, karena tidak memiliki data-data yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, daripada jadi masalah untuk semua pihak, maka menaikkan kelas menjadi win-win solution. Ada yang naik kelasnya tetap di sekolah yang sama atau juga dinaikkan dengan catatan harus pindah sekolah alias ”naik usir”. Biasanya hal ini diberlakukan untuk peserta didik yang bermasalah selain dari sisi nilai, juga dari sisi kehadiran dan sikap/perilaku.

Walau tidak mudah dan menghadapi berbagai tantangan, di tangan Abdul Mu’ti, semoga berbagai masalah pendidikan, khususnya pada jenjang dasar dan menengah yang saat ini masih terjadi bisa dicarikan jalan keluarnya. Saya kira, pada dasarnya semua pihak sependapat bahwa pendidikan merupakan modal yang sangat penting dalam mempersiapkan generasi emas tahun 2045 yang bertepetan dengan 100 tahun Indonesia merdeka dan untuk mempersiapkan generasi yang cerdas dan berkarakter di era global. Perbaikan sistem perlu dan penting, tapi perbaikan pola pikir para pemangku kepentingan juga tidak kalah pentingnya. Perbaikan sistem dan perbaikan pola pikir harus berjalan seiring dan sejalan agar peningkatan mutu pendidikan mencapai tujuannya sesuai dengan amanat UU Sisdiknas.(*)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *