29 November 2024 23:35
Opini dan Kolom Menulis

Mendengarkan Keluhan Petani

MENDENGAR KELUHAN PETANI


OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Ada kabar menarik dari Kabupaten Karawang Jawa Barat. Plt Menteri Pertanian yang juga selaku Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi meminta jajaran pejabat Kementerian Pertanian untuk aktif mendengar keluhan-keluhan yang disuarakan oleh para petani. Selanjutnya Arief menegaskan jajaran Kementerian Pertanian, baik di Pusat atau Daerah, harus berupaya mengakomodir apa yang nenjadi kebutuhan petani.

Selama ini banyak hal yang dapat diungkap terkait nasib dan kehidupan petani. Sebagai warga bangsa, petani memang terekam masih hidup menderita. Istilah petani sejahtera, masih belum terbuktikan dalam kehidupan nyata di masyarakat. Justru yang terlihat petani di negeri ini masih terjebak ke dalam lingkaran setan kemiskinan yang tak berujung pangkal. Tulisan kali ini mencoba akan mengulas soal suara petani, di saat bangsa kita memperingati Hari Tani.

Tidak semua suara terdengar menyenangkan. Ada pula suara yang terdengar sendu. Siara bisa menjadi penyemangat, namun ada juga sebagai pelipur lara. Di negeri ini, suara petani terkadang sangat menyayat hati. Apa yang disuarakan petani, benar-benar kata hati yang penuh dengan perasaan. Sedih campur nelangsa, menjadi ciri khas suara petani. Jarang petani di Tanah Merdeka bersuara menggambarkan keriangan.

Kata suara di awal tulisan ini, hanya sebuah perumpamaan bagaimana sesungguhnya potret petani di negeri ini. Apakah benar, petani telah merasakan betapa indahnya kemerdekaan yang telah berusia 78 tahun ? Apakah di negara kita, petani sudah pantas untuk disebut sebagai penikmat pembangunan ? Atau masih belum, mengingat petani masih hidup melarat dan sengsara serta terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan ?

Petani di Tanah Merdeka, khususnya petani yang berlahan sempit, memang berada dalam suasana hidup yang penuh dengan derita. Mereka masih belum mampu menjadikan dirinya terbebas dari belenggu kemiskinan yang menjeratnya. Dengan penghasilan di bawah garis kemiskinan, mereka tetap berjuang untuk tetap dapat menyambung nyawa keseharian. Dan mereka tak pernah menyerah dalam melakoni kehidupam yang semakin berat.

Suasana hidup petani yang tampil ke permukaan kehidupan, memang tidak seindah atribut yang sering dilekatkan kepada mereka. Terasa berat atribut itu harus dibuktikan dalam kehidupan nyata. Julukan “pahlawan pangan”, kelihatannya lebih mengemuka sebagai jargon ketimbang kenyataan di lapangan. Betapa sedihnya, sosok pahlawan pangan, bila ternyata harus berjuang keras untuk memperoleh sesuap nasi demi kehidupannya.

Memang betul, petani merupakan pahlawan pangan. Petani adalah pelaku utama yang kesehariannya bercocok-tanam padi demi memberi makan warga bangsa. Dengan kondisi kehidupan yang memprihatinkan, jarang terdengar ada petani yang mogok kerja atau protes kepada Pemerintah, karena kondisi penghasilannya yang rendah atau pas-pasan. Petani tetap taat asas dan bekerja penuh ikhlas dalam memberi makan kita semua.

Semakin banyaknya pemuda desa yang berduyun-duyun meninggalkan kampung halaman mereka untuk mengadu nasib di perkotaan, kini muncul menjadi soal yang cukup serius untuk ditangani. Mereka migrasi ke kota, tentu bukan tanpa alasan. Bukan saja, profesi petani sudah tidak memberi harapan bagi masa depan kehidupan, ternyata mereka pun tidak pernah memperoleh jaminan dari Pemerintah terkait dengan pekerjaan selaku petani.

Harapan agar Pemerintah segera membuat jaminan bahwa menjadi petani padi di negeri ini akan hidup sejahtera dan bahagia, kelihatannya sepertinya masih belum mampu diwujudkan dalam kehidupan nyata dilapangan. Hingga kini, yang namanya petani, khususnya yang berlahan sempit, tetap hidup memilukan. Hampir 78 tahun Indonesia merdeka, para pengelola bangsa dan negara, terbukti belum mampu menjadikan petani untuk hidup bermartabat.

Kita sendiri, tidak pernah tahu dengan pasti, mengapa Pemerintah seperti yang kesusahan untuk merubah suasana hidup petani, dari kondisi hidup miskin menjadi sejahtera. Padahal seabreg regulasi telah diterbitkan, beragam kebijakan telah dirumuskan, bahkan kucuran politik anggaran pun telah digelontorkan cukup besar, termasuk untuk berbagai jenis subsidi dan bantuan lansung kepada para petani.

Ironismya, sekalipun beragam upaya dan langkah telah ditempuh, ternyata nasib dan kehidupan petani di negeri ini, masih belum mengalami perubahan yang signifikan. Banyak pandangan menyatakan, semua ini terjadi karena Pemerintah relatif lambat dalam melahirkan regulasi terkait dengan perlindungan dan pembelaan terhadap petani. Kita sendiri tidak paham betul, mengapa Pemerintah seperti yang enggan melahirkan UU semacam itu.

Selama 68 tahun Indonesia Merdeka, Pemerintah tidak pernah melahirkan regulasi setingkat UU yang bicara soal perlindungan dan pemberdayaan petani. Baru tahun 2013, kita menerbitkan UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlidungan dan Pemberdayaan Petami. Ini berarti, selama 68 tahum paska kemerdekaan bangsa, kita tidak memiliki regulasi setingkat UU yang melakukan perlindungan terhadap petani. Betul-betul sangat memilukan.

Kini, hampir 10 tahun UU tersebut diterapkan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Selama waktu itu, ternyata nasib petani belum mengalami perubahan yang cukup signifikam. Petani tetap terjebak dalam suasana hidup sengsara dan melarat. Kemiskinan yang menjerat nya seolah-olah sudah menyatu dalam kehidupannya. Petani sangat sulit membebaskan diri dari belenggu kemiskinan yang menempel dalam kehidupannya.

Walau genderang perang melawan kemiskinan petani telah ditabuh sejak lama, kemiskinan masih belum mampu dienyahkan dari kehidupan petani. Kemiskinan sebagai luka pembangunan, tetap menempel dalam kehidupan petani. Bahkan kalau kita mau bersikap jujur, kemiskinan petani di negeri ini, tergolong kedalam jenis kemiskinan klasik yang membutuhkan penanganan secara sungguh-sungguh.

Data yang disampaikan pejabat Badan Pusat Statistik (BPS) lewat Zoom terkait dengan penghasilan petani berlahan sempit, betul-betul cukup mengenaskan. Penghasilan sekitar Rp. 5000,- per hari, bukanlah sebuah pendapatan yang layak. Angka ini sungguh jauh dari kelayakan hidup seorang warga bangsa yang hidup di Tanah Merdeka. Bukan saja mereka hidup di bawah garis kemiskinan, namun dikaitkan dengan kondisi perekonmian bangsa pun, penghasilan sebesar itu, benar-benar sangat memprihatinkan.

Sebetulnya, banyak “suara” menyayat hati yang sering terdengar jika kita bertemu dengan para petani. Paling tidak, petani kerap kali menjerit di saat musim tanam tiba. Mereka kadang bertanya, mengapa Pemerintah seperti yang kurang serius dalam mengelola kebijakan pupuk bersubsidi. Petani juga heran, mengapa masalah kelangkaan pupuk selalu terjadi hampir setiap musim tanam datang. Lebih parah lagi, Pemerintah terekam seperti yang tak berdaya mengatasinya.

Petani di Tanah Merdeka, tampak masih mengenaskan. Banyak cerita pilu yang membuat hati trenyuh mendengarnya. Sebagai anak bangsa, kita berharap agar petani dapat hidup sejahtera dan bahagia. Ini penting dicatat, karena pada suasana sejahtera itulah persoalan lahir batin manusia terselesaikan.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Wayang Kehidupan

Wayang kehidupan (Tatang)    Pentas sekejap menguras air mata Emosi jiwa melanda Menata masa mengingat rasa Rindu menggebu mengingat ibu

Read More »

Nasib “Petani Jerami”

NASIB “PETANI JERAMI” OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Ketika masih menjabat Gubernur Jawa Barat, Kang Emil sapaan akrab Ridwan Kamil, menawarkan

Read More »

Pelangi Pematang Sawah

Pelangi Pematang Sawah (Tatang Rancabali) Masa mudaku lekat keringat Memeluk peluh penuh keluh Pundak hendak memikul beban Gelandang menuju gelanggang

Read More »

Murah Hati

MUHASABAH DIRIKamis, 28 November 2024 BismillahirahmanirahimAsalamu’alaikum wrm wbrkt MUTIARA HATI Saudaraku,Hidup ini disebut  enteng enteng bangga Namun agar hidup ini

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *