2 November 2024 08:18
Opini dan Kolom MenulisReportase

Menatap Masa Depan Guru

Menatap Masa Depan Guru

Oleh Catur Nurrochman Oktavian, M.Pd

 

Tahun 2022, telah meninggalkan kita dengan menorehkan berbagai catatan plus dan minus dalam dunia pendidikan kita. Kebisingan di ruang publik karena berbagai kebijakan pendidikan yang menuai kontroversi, semoga tidak terulang lagi di 2023. Sudah saatnya kita semua melakukan refleksi mendalam, dan melakukan resolusi terbaik di tahun yang baru ini untuk menatap masa depan pendidikan Indonesia yang lebih baik.

Permasalahan utama pendidikan di negeri ini bukanlah kekurangan jumlah guru, melainkan kesejahteraan, persebaran, perlindungan, dan kualitasnya. Menurut data pemerintah, saat ini Indonesia memiliki sekitar 3,3 juta guru. Dari jumlah tersebut, belum semuanya berstatus kepegawaian tetap dan memiliki jaminan kesejahteraan yang memadai.

Keberhasilan pendidikan bukanlah ditentukan oleh kualitas bangunan, kurikulum yang bagus, atau tersedianya sarana prasarana yang lengkap. Guru yang berkualitas menjadi kunci penting bagi keberhasilan pendidikan. Dengan guru yang hebat, menginspirasi, dan penuh kasih sayang, proses pendidikan tetap dapat berlangsung meskipun tidak di ruang kelas. Kurikulum yang bagus tidak akan dapat diterjemahkan dengan baik tanpa guru yang bermutu. Semua guru harus terus ditingkatkan kompetensi pedagogi dan keilmuannya dengan merata dan berkelanjutan.

Perekrutan Guru

Pemerintah berupaya terus memperjelas status kepegawaian dan meningkatkan kesejahteraan guru, sejak tahun 2021 diluncurkan program pengangkatan satu juta guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dari 500 ribu formasi yang diajukan pemda, baru sekitar 293 ribu guru sudah lolos seleksi PPPK tahun 2021, dan mendapat formasi. Dari jumlah tersebut, 272.517 guru yang sudah diangkat dan mendapat surat keputusan penempatan (paparan Kemendikbudristek dalam RDP dengan DPR RI Kamis, 3 November 2022). Masih ada sekitar 193 ribu guru yang sudah lulus ambang batas kelulusan namun belum mendapatkan formasi. Menurut pemerintah, pengangkatan guru PPPK ini akan terus berlanjut di 2022 dan 2023. Namun hingga menjelang akhir tahun 2022, pemerintah daerah (pemda) baru mengajukan 40,9% dari total kebutuhan formasi tahun 2022.

Masalah karut marut dalam perekrutan guru PPPK ini, membuat publik seakan-akan dipertontonkan adanya disharmoni komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Meski era otonomi daerah saat ini mengharuskan pendidikan menjadi kewenangan pemda, namun mengenai manajemen perekrutan gurunya tetap masih diurus oleh pemerintah pusat pun dengan penggajiannya. Pertanyaannya, katanya banyak pemda kekurangan guru tetap ASN (PNS dan PPPK), tetapi mengapa pengajuan formasi masih sedikit? Apakah ada distrust pemda terhadap kebijakan pusat terutama mengenai masalah penggajian?

Benang kusut mengenai manajemen tata kelola guru terutama mengenai perekrutan sudah seharusnya diurai lebih cepat. Karena jika hal ini terus berlarut, maka antrean kekurangan guru tetap akan semakin panjang dengan bertambahnya jumlah guru yang pensiun, sakit, atau meninggal setiap tahunnya. Perlu gerak cepat dari pemerintah pusat dan daerah untuk menuntaskan hal ini mengingat pendidikan menjadi layanan penting dan mendasar bagi masyarakat.

Guru Penggerak

Untuk meningkatkan mutu guru, pemerintah mencetuskan program pendidikan guru penggerak dalam salah satu episode Merdeka Belajar. Apabila ditelisik dari tujuannya, program ini cukup bagus untuk meningkatkan mutu guru dalam memimpin pembelajaran. Hingga tahun 2022, Program Pendidikan Guru Penggerak sudah memasuki angkatan ke-7 dengan target sampai tahun 2024 ada 405.000 guru penggerak yang direkrut.

Guru Penggerak diharapkan menjadi pemimpin pembelajaran dan diprioritaskan menjadi pemimpin di satuan pendidikan yang dikuatkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah. Guru penggerak wajib membagikan kepada guru lain agar ilmu yang didapat melalui program ini menyebar. Guru penggerak menjadikan murid sebagai pusat pembelajaran dan mendidik sesuai kebutuhan murid.

Meski diyakini Kemendikbudristek sebagai sebuah inovasi, program pendidikan guru penggerak menimbulkan berbagai pertanyaan? Sejauh mana efektivitas anggaran yang dilakukan dalam menjalankan program ini? Dari 3.3 juta guru yang ada, apakah target 400 ribu guru sudah cukup sebagai upaya meningkatkan mutu guru dan dapat mendongkrak kualitas pendidikan lebih cepat? Bagaimana nasib peningkatan kompetensi dan karier bagi jutaan guru lain yang tidak mengikuti program pendidikan guru penggerak? Sepertinya masih ada pekerjaan rumah bagi kementerian agar program ini berjalan secara inklusif.

Bagaimanapun hebatnya pendidikan guru penggerak yang dicetuskan, tetapi hanyalah sebuah program kebijakan dari Menteri yang jabatannya berakhir di 2024 nanti. Belum tentu menteri yang baru tetap akan melanjutkan program ini. Berbeda apabila peta jalan pendidikan Indonesia hingga 2045 sudah ditetapkan dan menjadi panduan utama bagi Kemendikbudristek dalam menentukan arah kebijakan bidang pendidikan.

Saatnya di tahun 2023, peta jalan pendidikan dapat dituntaskan sehingga dapat memandu arah yang tepat bagi siapa pun pucuk pimpinan kebijakan pendidikan yang kelak ditugaskan. Semoga di masa datang tidak ada lagi pemeo, “ganti menteri, ganti kurikulum”.

Masa depan guru Indonesia sepertinya masih samar jika para guru hanya menjadi obyek sebuah kebijakan pendidikan. Sudah saatnya para guru melalui organisasi profesi gurunya menjadi subyek penting dalam setiap kebijakan pendidikan. Dengan banyak melibatkan dan mendengarkan suara para guru melalui organisasi profesi guru yang jelas rekam jejaknya, maka setiap kebijakan pendidikan yang diambil akan memiliki “rasa” dan mendasarkan kebutuhan riil di lapangan.

Pendidikan berkualitas untuk semua akan terwujud bila pengambil kebijakan pendidikan fokus menata masa depan pengelolaan guru yang komprehensif dari hulu hingga hilir. Transformasi pendidikan yang menyeluruh dan sistematis harus menyasar dua faktor, yaitu: instrumen kebijakan (kurikulum sekolah, proses pembelajaran, asesmen, dan sebagainya); dan Aktor pelaksana yang mengeksekusi berbagai instrumen kebijakan tersebut.

Faktor instrumen kebijakan sudah banyak dilakukan oleh Kemendikbudristek walau mungkin terkesan masih berfokus pada kebijakan populis jangka pendek. Masalahnya, apakah berbagai upaya kebijakan yang dilakukan sudah menyentuh aktor pelaksana pendidikan secara merata? Yaitu dengan meningkatkan kapasitas guru, tenaga teknis, kepala sekolah, pengawas, pejabat pendidikan daerah secara sistematis dan berkelanjutan.

Peningkatan kapasitas aktor pelaksana pendidikan melalui berbagai episode program “penggerak” lebih bersifat ad-hoc yang mungkin hanya cocok untuk sementara waktu saja. Ibarat obat mungkin hanya untuk menurunkan demam, atau penghilang rasa sakit tapi tidak mengobati dan menyembuhkan penyakit yang sebenarnya.

Student wellbeing (kebahagiaan murid) yang menjadi jargon penting yang diutarakan dalam berbagai kesempatan akan tercapai dengan baik apabila teacher wellbeing pun tercapai. Para guru perlu keluar dari berbagai persoalan penting yang membelitnya, yaitu kesejahteraan, perlindungan, dan kompetensi. Semoga di tahun mendatang, para pengambil kebijakan lebih sering mengulurkan tangan menarik mereka keluar dari berbagai persoalan tersebut dengan lebih arif dan penuh kasih sayang.


===============
Penulis adalah
Wakil Ketua Dewan Eksekutif APKS PB PGRI/Wakil Bendahara PB PGRI
Guru SMPN 1 Kemang, Kabupaten Bogor

Ikatan Iman yang Paling Kokoh

𝓑𝓲𝓼𝓶𝓲𝓵𝓵𝓪𝓪𝓱𝓲𝓻𝓻𝓪𝓱𝓶𝓪𝓪𝓷𝓲𝓻𝓻𝓪𝓱𝓲𝓲𝓶Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barokatuuh  Sabtu, 2 November 2024 / 30 Rabi’ul Akhir 1446 Ikatan Iman yang Paling Kokoh عن أبي عبدالله (عليه

Read More »

ANTARA KABUT DAN KAMU

ANTARA KABUT DAN KAMUOleh Sumarni Pagi yang berkabutDia begitu pongah. “Akulah penguasa jagat raya!”“Akulah….!”teriaknya begitu hebatKau hanya terdiam melihat semua

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *