5 October 2024 18:10
Iklan dan Berita Duka

Kritik Sosial dan Psikologi Masa Dalam Sastra

Kritik Sosial dan Psikologi Massa dalam Sastra
oleh
Asep Suhendar

Sebagai representasi realitas sosial beserta berbagai persoalan di dalamnya, sastra telah dipercaya oleh para penulisnya sebagai media alternatif atau media opsional lain bagi penyaluran ideologi atau atau arus pikir yang dimilikinya termasuk tentang cara mereka memandang berbagai persoalan sosial di dalamnya secara fenomenologis. Sebagian masyarakat memilih penyaluran ide mereka melalui gerakan diplomatik-verbal semacam politisi, gerakan politik praktis, sampai orasi jalanan ala para demonstran seperti para mahasiswa atau buruh yang menyuarakan kepentingan mereka. Dalam konteks sastra dengan konten protes sosial, para sastrawan memilih karya tulisnya sebagaimedia kritik atas persoalan yang ada. Bacalah peristiwa dalam puisi-puisi Wiji Thukul, sang penyair pemberontak yang juga demonstan termasuk juga Rendra atau Kiai Haji Mustofa Bisri yang memiliki tulisan-tulisan dengan substansi kritik sosial yang nyata.
Sastra adalah sebuah media yang berisi rangkaian ide yang mencoba memverbalkan dirinya melalui media bahasa yang memiliki anatomi partikular secara maknawi. Sejak lama para penyair membaptiskan diri pada puisi yang ditulisnya demi penyampaian ide serta intelektualitas dirinya agar idenya tersebut dapat diterima berbagai kalangan tanpa syarat ‘administratif’ yang kaku seperti halnya jika mereka memilih untuk menjadi anggota parpol atau semacamnya. Dengan puisi seseorang bisa menjadi demonstran sekaligus sebagai hakim atau unsur lembaga sosial lain yang diinginkan. Dengan novel yang ditulisnya, seoreng penulis seolah bisa menjadi ‘Nabi Sosial’ yang berusaha menyampaikan kebenaran sekaligus protes atas sebuah ketidakadilan yang mungkin tumbuh dengan begitu massif di dunia nyata yang dia tempati.
Rendra (sebagai contoh), adalah penyair pejuang di masanya, dengan puisi pamfletisnya dia mencoba menyentil ‘manusia’ dengan sindiran retorisnya, simak saja puisi-puisinya dalam antologi ‘Potret Pembangunan dalam Puisi’. Yang begitu kuat ide kritik sosialnya terhadap berbagai persoalan kehidupan di masyarakat.

Hal senada dalam konteks sosial yang berbeda kita temukan pada puisi-puisi Taufiq Ismail dalam ‘Tirani dan Benteng’ atau ‘Malu Aku Jadi Orang Indonesia’ .
Contoh lain adalah prosa yang ditulis novelis sehebat Pramoedya Ananta Toer yang hampir di semua karyanya hendak menyampaikan refleksi kebenaran ideologi yang dipegangnya, yakni realisme sosialis yang ruhnya juga adalah persoalan sosial, kritik pada kekuasaan, feodalisme, kritik pada pelaku penyimpangan dalil-dalil agama, kolonialisme dan lain-lain. Mereka adalah contoh para penyair dan novelis yang merupakan sampel-sampel popular di mana masyarakat intelektual profesional seperti mereka begitu teguh dan konsisten ingin memperbaiki dunia dengan media sastra yang merefleksikan realitas dalam realitas lain yang merupakan hasil transformasi intelektual mereka. Sehingga sastra yang ada di dimensi lain di dunia real manusia dijadikan ruang simulasi dalam menuangkan idea dan misi politiknya.

‘Rekaman sosial’ sastra dalam puisi dan prosa
Dalam puisi, Rendra salah satu penyair yang vokal sekali dalam mengangkat tema kritik sosial yang juga menyinggung persoalan psikologi massa di dalamnya, coba kita simak salah satu puisinya berikut ini,
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta

Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Dari kelas tinggi dan kelas rendah
diganyang
Telah haru-biru
Mereka kecut
Keder
Terhina dan tersipu-sipu

Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kaurelakan dirimu dibikin korban
Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali rambutmu
Karena setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan
Karena
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kaurela dibikin korban

Sarinah
Katakan kepada mereka
Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri
Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
Tentang perjuangan nusa bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
Ia sebut kau inspirasi revolusi
Sambil ia buka kutangmu

Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya

Politisi dan pegawai tinggi
Adalah caluk yang rapi
Kongres-kongres dan konferensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Kemiskinan yang mengekang
Dan telah lama sia-sia cari kerja
Ijazah sekolah tanpa guna

Para kepala jawatan
Akan membuka kesempatan
Kalau kau membuka kesempatan
Kalau kau membuka paha
Sedang diluar pemerintahan

Perusahaan-perusahaan macet
Lapangan kerja tak ada
Revolusi para pemimpin
Adalah revolusi dewa-dewa
Mereka berjuang untuk syurga
Dan tidak untuk bumi
Revolusi dewa-dewa
Tak pernah menghasilkan
Lebih banyak lapangan kerja
Bagi rakyatnya

Kalian adalah sebahagian kaum penganggur yang mereka ciptakan
Namun
Sesalkan mana yang kau kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kau rela dibikin korban

Pelacur-pelacur kota Jakarta
Berhentilah tersipu-sipu
Ketika kubaca di koran
Bagaimana badut-badut mengganyang kalian
Menuduh kalian sumber bencana negara
Aku jadi murka
Kalian adalah temanku
Ini tak bisa dibiarkan
Astaga
Mulut-mulut badut
Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan

Saudari-saudariku
Membubarkan kalian
Tidak semudah membubarkan partai politik
Mereka harus beri kalian kerja
Mereka harus pulihkan darjat kalian
Mereka harus ikut memikul kesalahan

Saudari-saudariku. Bersatulah
Ambillah galah
Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut
Katakanlah kepada mereka

Menganjurkan mengganyang pelacuran
Tanpa menganjurkan
Mengawini para bekas pelacur
Adalah omong kosong

Pelacur-pelacur kota Jakarta
Saudari-saudariku
Jangan melulur keder pada lelaki
Dengan mudah
Kalian bisa telanjangi kaum palsu
Naikkan tarifmu dua kali
Dan mereka akan klabakan
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan berzina
Dengan isteri saudaranya.

Puisi di atas berisi rekaman fenomena sosial di Jakarta dalam konteks waktu tertentu, dimana persoalan pelacuran dan kemiskinan diangkat sebagai objek tematiknya. Potongan puisi tersebut menggambarkan tentang fenomena pelacuran yang diidentikkan sebagai salah satu ekses dari penyakit sosial yaitu kemiskinan yang ternyata meniliki banyak dimensi persoalan di dalamnya, dimensi ekonomi, psikologi, hingga politik, dan hal ini tidak terjadi hanya pada masa Rendra menulis puisi tersebut namun masih berlangsung hingga sekarang.
Jika kita urai secara sederhana, persoalan yang hadir secara ruhiyah pada sajak di atas adalah:
1. Pelacuran sebagai sebuah fenomena sosial
2. Pelacuran yan terjadi di kalangan kelas atas dan kelas bawah
3. Penyesalan yang dirasakan (individu) pelacur (persoalan psikolois)
4. Pelacur dipersalahkan oleh sistem sosial yang berlaku; adat, norma, agama dll
5. Konsumen palacur adalah mentri atau pejabat tinggi (seksologi dan politik)
6. Upaya menghapus pelacuran tapi harusnya beri lapangan kerja (sosio ekonomi)
7. Ajakan demonstrasi bagi para pelacur (politik)
8. Pesan seksualitas, bahwa seks adalah elan hidup yang megikat manusia (psikologi/sesksualitas)
Poin-poin di atas adalah persoalan yang direkam Rendra pada pusinya yang di dalamnya terdapat berbagai persoalan baik individual/psikologis maupun sosial serta irisan keduanya.
Wujud sastra yang paling rasional memotret realitas sosial secara komprehensif selain puisi adalah prosa entah itu cerita pendek atau pun novel dan drama. Yang jelas prosa yang memiliki karakter naratif yang kuat dapat menjadi pilihan terbaik bagi ‘filsuf budaya’ semacam sastrawan sebagai media potret realitas sosial kehidupan nyatanya. Fakta bahwa sastra adalah susbtasi mimetik dari para penulisnya yang merupakan sebuah ‘imitasi realitas kreatif’ atas alam termasuk di dalamnya adalah alam sosial, antropologi, beserta berbagai problematikanya. Termasuk masalah psikologi masyarakat atau kejiwaan massa. Aspek kejiwaan massa dipengaruhi oleh sistem sosial, sistem politik, sistem ekonomi, dan berbagai ekses yang ditimbulkannya baik secara langsung atau pun tidak. Tak kecuali pada masyarakat tradisional dalam ranah masyarakat mikro, yang relatif homogen dari aspek budaya, hingga masyarakat yang kosmopolit dan modern.
Prosa merupakan karya sastra yang mampu memberikan alternatif gambaran dari kondisi sosial dari satu masyarakat. Mulai dari masyarakat elit hingga mastarakat subaltern yang dalam komposisi sosial merupakan unsur terbanyak di dunia ini. Karena struktur prosa sebagai representasi kehidupan suatu masyarakat lebih lengkap dan jelas dibanding dengan karya sastra model lain dengan adanya penggambaran tokoh, latar serta rangkaian kasus dalam setiap sekuen ceritanya. Versi mereka yang memiliki dasar pikiran realisme sosialis yang menyatakan bahwa karya sastra yang baik haruslah mencerminkan kenyataan sosial adalah benar, karena dengan demikian kita bisa menjadikan sastra sebagai referensi pilihan sebagai bahan belajar sejarah sosial suatu bangsa. Walau dalam satu sisi, penulis tetap akan memberikan tempat bagi sentuhan keindahan dan fantasi bagi sebuah karya sastra yang dicipta pada lingkup masyarakat apa pun. Karena antara estetika, stilistika, serta logika empiris layak berdampingan dalam wujud sastra apa pun bentuknya.

Psikologi Massa dalam ruang Simulasi (sastra)
Kita mengenal Seno Gumira Ajidarma sebagai cerpenis yang juga mantan jurnalis sebuah media di Jakarta. karakter tematik cerpen-cerpennya merupakan gabungan antara fantasi sekaligus realitas sosial, kadang memunculkan tema yang satir, penuh dengan bahasa ironi dan diselingi humor ringan yang juga khas. unik memang mengingat jika kita bandingkan antara para penulis kebanyakan jika pola pijak ideanya seorang realis, maka dia akan cenderung mengedepankan ide-ide real dengan substansi tema yang juga faktual, berdasar data yang nyata, pembangunan plot serta setting cerita yang juga real, lurus, dan tidak neko-neko. Kita bisa temukan karakter kuat seperti ini pada Pramoedaya misalnya. Dan sebaliknya karakter fantasi dan surealis bisa kita temukan pada Danarto di kumpulan ‘Godlob’ atau ‘Gergasi’ misalnya yang semuanya mengetengahkan tema surealis yang asimetris sehingga cenderung sulit dicerna alur pikirnya. Agus Noor, Triyanto Triwikromo dan sederet cerpenis lain juga memiliki karakter yang senada.
Seno adalah cerpenis yang memiliki karakter blasteraan antara dua tipe tersebut, mungkin terkesan berlebihan, namun dalam banyak cerpen Seno sering menggabungkan ide realis yang dia potret dari realitas sosial yang ada dengan fantasi ide yang mungkin tidak semua penulis cerita sanggup berpikir kearah sana. Simak cerpen-cerpen berbau fantasinya pada ‘Sepotong Senja Untuk Pacarku’, ‘Negeri Kabut’, atau beberapa cerita pada ‘Dunia Sukab’ yang semuanya merupakan gabungan antar ide real dengan substansi surealis yang fantastik.
Namun ada pula cerpen-cerpennya yang mengetengahkan tema sosial murni dalam perspektif yang lebih dalam memotret sisi psikologi masa. Sebuah problematika tersendiri di masyarakat yang terjadi setiap saat yang kemudian diolahnya menjadi sebuah cerita pendek dengan sense yang kuat menampilkan realitas yang utuh. Psikologi massa atau psikologi sosial adalah sebuah disiplin ilmu sosial yang merupakan gabungan dua disiplin ilmu sosial yang besar yakni sosiologi dan psikologi, namun dua disiplin ilmu ini secara substansial memiliki objek keilmuan yang sama sekali berbeda. Sosiologi memiliki objek kajian masyarakat manusia secara kolektif mulai dari masalah ekonomi, politik, dan budaya, sedangkan psikologi mengkaji aspek diri, self, terkhusus problematika kejiwaan. Namun psikologi sosial mempertemukan dua disiplin ilmu tersebut dengan menjejakan kakinya pada problem sosial yang memiliki karakteristik sekaligus kecenderungan massa yang bersumber pada problem kejiwaan sehingga psikologi massa sering juga disebut ilmu jiwa sosial.
Beberapa persoalan psikologi massa yang muncul pada cerpen-cerpen seno di antaranya adalah; prejudice (prasangka negatif), in group favouritism (fanatisme diri kelompok), out group derogation (kebencian pada kelompok lain) dan berbagai masalah lain nya. Esensi psikologi sosial adalah membahas problematika sosial dari perspektif kejiwaan massa pada demografi tertentu dalam rentang waktu tertentu serta ekses-ekses sosial yang ditimbulkanya.Problem psikologi sosial ini tak lepas dari aspek antropologi budaya, ekonomi, agama, ras, politik dan sebagainya. Goldman, Aegleton, dan Kafka, lebih kurang pernah menyinggung masalah yang demikian. Terlebih bagi masyarakat pendukung realisme sosialis yang menguatkan konsep karya sastra haruslah mencerminkan realitas. Lebih kurangnya, penulis cukup menyepakati konsep ini walau masih sangat terbuka tentang kemungkinan adanya ‘infiltrasi’atau ‘injeksi’ aditif dari estetika dan fantasi di dalamnya.
Hal ini bisa kitalihat dalam cerpen yang berjudul ‘Clara’,’Kunang-kunang Mandarin’ dan ‘Jakarta Suatu Ketika’ yang ke tiganya mengisahkan tentang berbagai persoalan yang melibatkan masalah sosial dan efek dari kerusuhan massa berbau kebencian etnis pada kasus Mei 1998.


Psikologi Massa sebagai realitas ‘sastra’
Kejiwaan massa adalah sebuah kondisi di mana aspek ‘crowd’ atau kumpulan individu yang membentuk grup atau kelompok dalam wilayah yang sama serta waktu yang sama secara bawah sadar atau pun sadar memiliki tujuan atau ‘goal’ yang sama. Dalam kondisi ini massa membaur sehingga hampir tidak mencirikan aspek diri atau ‘self’ karena identitas diri menjadi lebur dan membaur menjadi identitas kolektif kecuali jika di antara grup tersebut ada sosok yang di-tua-kan atau pemimpin yang kuat dan karismatik yang bisa memunculkan semacam superman effect. Contoh peristiwa seperti ini adalah crowd dalam bentuk supporter sepak bola. Individu yang tergabung dalam crowd satu kelompok supporter akan memunculkan identitas group bukannya individu, sehingga memunculkan favoritisme (in-group favouritism) berupa yel-yel grup sendiri atau yel-yel negatif yang cenderung menghinakan kelompok supporter lawan. Ini adalah pristiwa lumrah dalam kondisi crowd. Inilah hal yang disebut psikologi massa. Contoh lain adalah crowd dalam kondisi tawuran masa antar kampung atau tawuran pelajar, termasuk kerusuhan masa dengan dasar kasus berupa clash etnisitas lokal atau pun agama yang ujung-ujungnya berpotensi melahirkan chaos.
Dalam skala yang lebih luas dan massif, in group favouritism bisa terjadi dengan dasar atau atribut yang lebih tinggi sifatnya seperti kesamaan suku, ras, agama, atau aspek etnisitas lainnya yang melibatkan jumlah massa yang massif yang potensi cahaos-nya pun bisa jauh lebih besar. Dalam cerpen Seno yang berjudul ‘Clara’ dikisahkan di dalamnya tentang seorang perempuan keturunan etnis cina yang menjadi korban pemerkosaan. Yang sebelumnya seluruh keluarganya pun; ayah, ibu beserta adik-adiknya mengalami penindasan, pelecehan serta perampokan oleh oknum massa dengan ras yang berbeda. Cerpen ini mengambil latar peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang basis kasusnya adalah sentimen anti cina pada saat terjadinya reformasi. Hal ini yang menginspirasi Seno sepertinya untuk menulis peristiwa ini yang dengan sadar atau tidak Seno telah membongkar hakikat ‘Ingroup favoritism’ dalam konteks negatif yang digambarkan pada tokoh-tokoh penduduk ras pribumi yang melakukan penindasan terhadap warga etnis cina. Hal ini cukup terang menggambarkan bahwa aspek etno-nasionalisme negatif yang berlebihan terjadi dan menjadi bahan bakar kerusuhan etnis ini.
Refleksi tokoh massa, penegak hukum dan karakter lainnya seolah menunjukkan bahwa in group favouritism ini telah begitu kuat menempel di pikiran ‘masyarakat pribumi’ sehingga ketika terjadi kasus-kerusuhan Mei 1998 hal ini meledak dan menimbulkan efek yang luar bisaa merusak dan meluas, seolah semacam reaksi fusi nuklir ‘masalah sosial’ yang berekses sangat buruk. Bahwa in group Favoritism muncul sebagai dasar sentimen etnis tampak pada bagian cerita di mana saat Clara berada dalam mobilnya dia diminta keluar mobil oleh masa yang beringas dan menunjuk-nunjuknya dengan mengatakan bahwa dia itu ‘cina’ serta meperlakukannya seolah binatang dan atau yang lebih buruk.
Diakui atau tidak, bahwa dalam dunia yang real di Indonesia, sentimen anti ‘cina’ ini masih ada bahkan sudah berurat dalam nadi warga pribumi (baca melayu), dalam konteks Indonesia dan hal ini memang sulit dihilangkan dengan alasan apa pun. Ekses lanjut dan senantiasa menempel dalam fenomena in group favouritism adalah out group derogation atau ketidaksukaan pada kelompok lain di luar kelompok mereka dengan alasan perbedaan ras, agama, suku dan sebagainya yang dinilai mereka sebagai sebuah hal yang prinsip sehingga layak untuk dipertentangkan.
Persoalan in group favouritism dan out group derogation muncul dalam satu tatanan masyarakat yang cenderung memiliki pola pikir yang sempit dan tidak terbuka secara pemikiran sosialnya. Hal ini masih cukup lumrah sebenarnya karena ada penyakit sosial lain yang muncul sebelunya dalam kelompok masyarakat yang heterogen ini, penyakit ini adalah patologi sosial yang juga kuat berakar di masyarakat, yakni ‘prejudice’ atau prasangka yang cenderung negatif. Prejudice seringkali terjadi pada masyarakat yang heterogen terlebih jika di dalam aspek demografi tertentu pernah terdapat ‘clash’ antar massa dengan pemicu apa pun yang menyebabkan kecurigaan tersebut. Masyarakat yang stress, miskin, dan rendah level edukasi formalnya bisaanya cukup mudah untuk menderita gesekan seperti ini. Di samping aspek lubrikasi sosial yang rendah atau hampir tidak ada yang bisa membuat gesekan ini terus berlanjut dan menimbulkan potensi konflik.
Kasus pada cerpen ‘Clara’ sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan fenomena ini, di mana sentimen etnis menjadi dasar kebencian di mana yang asalnya berupa kebencian ‘idea’, berimplikasi pada aspek action atau prilaku fisikal berupa penjarahan, pemerkosaan, hingga pembunuhan.
Tidak cukup sampai pada ‘Clara’, Sepertinya Seno belum puas untuk mengangkat tema ini. Dalam kumpulan Sepotong senja untuk Pacarku, terdapat sebuah cerpen berjudul ‘Kunang-kunang Mandarin’. Sepeintas tidak terlihat ada masalah dengan cerpen ini, relative bernarasi dengan lurus menceritakan Sukab seorang peternak kunang-kunang yang seolah ingin memunculkan suspense di akhir cerita yang memberikan indikasi kasus semacam ‘Clara’, yakni kebencian terhadap etnis cina yang direpresntasikan pada ‘Kunang-kunang Mandarin’ pada sosok tokoh Tuan Udin Mandarin. Pada awal hingga akhir cerita tampak lurus dan datar saja, seolah olah tidak ada reinforcement tematik, namun suspense di bagian akhir cerita memang memberikan petunjuk bahwa sosok Sukab si pemilik peternakan kunang-kunang yang digambarkan secara tersembunyi, bahwa dia memiliki banyak teman yang diakhir cerita mereka mengepung Tuan Udin Mandarin yang akan dibunuh. Memang dalam cerpen ini tidak begitu jelas digambarkan motif terpenting Sukab sampai harus berencana membunuh Udin, apakah murni demi kelangsungan bisnis ternak kunang-kunangnya yang memang berasal dari kuku-kuku orang mandarin yang telah mati, atau karena motif yang lebih subtil semacam kebenciannya pada orang dari etnis Mandarin itu (baca cina). Yang jelas secara indeksikal, kebencian etnis pada gambaran tokoh Sukab terhadap Tuan Udin Mandarin memang nyata meski pun terkesan Seno sengaja membuatnya blur.

Inherited Hatred (kebencian yang diwariskan)
Yang paling berbahaya dari sebuah kebencian atas dasar etnis, agama, suku dan hal-hal substansial lain adalah ketika kebencian ini dirasakan secara kolektif dan menjadi sebuah penyakit sosial yang diderita secara bawah sadar, maka potensi yang berikutnya terjadi adalah bertahannya kebencian ini secara kuat dalam pikiran kelompok massa dalam lingkup motif-motif dan identitas sosial tertentu, baik berdasarkan suku, agama, ras dan etnis atau apa pun yang lebih dari itu. Kebencian ini akan secara sadar dan tidak sadar terus diwariskan secara ‘genetika’ sosial. Mulai dari aspek yang paling ringan seperti labelling yang negatif terhadap suku tertentu, diskriminasi kelompok minoritas, hingga penguatan out group derogation tadi inilah inherited hatred yang mata rantainya harus diputus.
Potensi inherited hatred tidak dimunculkan dalam bahasa yang gambalang oleh Seno, namun potensi itu tergambarkan secara tipis dalam cerpen berjudul ‘Eksodus’ pada kumpulan Iblis Tidak Pernah Mati. Dalam eksodus ini diceritakan bahwa ada sekelompok masa yang harus mengungsi namun entah harus ke mana, mereka terusir dari kampung halamannya karena mereka adalah pendatang yang mendiami sebuah wilayah tertentu. Namun banyak di antara pengungsi itu yang telah tinggal puluhan tahun bahkan mereka pun lahir, besar, dan tumbuh di kampung halaman ‘orang lain’ itu. Namun karena berbeda etnis dan identitas sosial lain dengan penduduk ‘asli’ dan kemudian ada peristiwa pemicu yang menyebabkan mereka mengalami pergesekan, maka muncullah konflik. Konflik yang berdarah yang sangat serius sehingga mereka harus meninggalkan kampung halamannya itu. Yang lebih ironis bahwa dalam prosesi eksodus itu pun mereka masih saja terus diburu dan dikejar-kejar oleh penduduk asli untuk dibunuh. Sehingga ada pengungsi yang sampai mati di jalan karena kelaparan hingga menjadi gila. Ironi kembali terjadi bagi mereka yang selamat dari pengejaran dan tidak mati namun kemudian setelah sampai di kampung halaman leluhur mereka yang asli, mereka pun menjadi orang asing di sana dan tidak memiliki apa pun di sana untuk diklaim sebagi miliknya, bahkan saudara tidak punya, harta benda tidak ada, sehingga dipastikan di kampung baru nya pun mereka akan mengalami penderitaan baru. Sungguh sebuah sarkasme budaya yang sangat besar yang ingin dipotret Seno. Ekses dari ini adalah kebencian yang terus berkepanjangan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Diakui atau tidak fenomena inherited hatred ini ada dan berlangsung hingga kini di negeri ini dengan berbagai alasan.

Penulis adalah penyuka sastra, menulis puisi, sajak sunda, menulis esai pendidiakn dan sastra.
Pengajar SDN Margahayu 13, dan SMPIT Cendikia Qurani, Arjasari, Kab. Bandung

 

 

Muhasabah Diri

Semangat SubuhSabtu, 5 oktober 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUHASABAH DIRI Saudaraku,Kadangkala dalam seharian kehidupan kita tak sadar ada tutur kata

Read More »

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Benar yang dikatakan Proklamator Bangsa Bung Karno ketika meletakan batu pertama pembangunan.Gedung Fakultas

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *