“JANGJAWOKAN”
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Sehari setelah pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 27/11/2024, penulis memdapat WA dari Juragan MP Kismono seorang sahabat dalit yang bermukim di Makasar, Sulawesi Selatan. Isi WAnya : “selamat Jawa Barat memiliki Gubernur Jangjawokan”. Membaca WA tersebut penulis langsung ingat lagu Dul Sumbang yang liriknya banyak menyebut kata jangjawokan.
Setelah merenung sekaligus mencoba memahami kira-kira apa yang menhadi esensi dari WA tersebut, muncul pertanyaan, mengapa sahabat baik penulis ini memiliki kesimpulan, seorang Dedi Mulyadi adalah Gubernur jangjawokan ? Apa yang keliru dari kiprah dirinya dalam mengarungi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat selama ini ?
Sebagaimana yang kita baca dari berbagai literatur Sunda, jangjawokan adalah istilah dalam kebudayaan Sunda untuk menyebut mantra yang diwariskan secara turun temurun dalam lingkaran kekerabatan. Jangjawokan berfungsi sebagai penghantar doa dan harapan dalam setiap aktivitas keseharian agar dalam melakoni kehidupan mendapat berkah.
Di sisi lain, ada juga yang berpandangan, jangjawokan adalah mantra dari tatar Sunda yang memiliki proses komunikasi secara khusus dan memiliki tujuan khusus pula. Jangjawokan termasuk ke dalam sajak atau puisi rakyat. Bahkan banyak pihak yang berkeyakinan, mantra jangjawokan ini termasuk ke dalam mantra komunikasi magis.
Di era demokrasi sekarang sah-sah saja seorang anak bangsa memberi penilaian terhadap pemimpinnya. Rakyat memiliki kewajiban moral untuk mengingatkan pemimpinnya agar tidak terjerumus dalam kehidupan.yang menyesatkan. Hal ini identik dengan sikap pemimpin yang ingin mencitrakan dirinya sendiri. Semuanya itu, bebas-bebas saja untuk dilakoni.
Sebut saja seorang Ridwan Kamil mantan Gubernur Jawa Barat, yang mempopulerkan istilah “Jawa Barat Juara”. Atau seorang Dedi Mulyadi yang dalam baligo ketika kampanye Pilkada berlangsung menyebut “Jawa Barat Istimewa”. Bahkan seorang Juragan Kismoni keturunan asli Kesultanan Cirebon pun boleh-boleh saja menyatakan “Jawa Barat Jempol” alias “Jawa Barat is number one”
Terlepas dari setuju atau tidak dengan istilah yang dilekatkan kepada seorang Dedi Mulyadi sebagai “Gubernur Jangjawokan”, namun fakta menunjukkan hasil perolehan suara berdasarkan hitung cepat, terbukti msmpu merebut simpati rakyat Jaw Barat diatas angka 60 %. Sedangkan pesaingnya terdekatnya hanya sekitar 20 %
Dedi Mulyadi, memang telah menunjukkan kelasnya. Dalam memilih pemimpinnya, warga Jawa Barat rupanya masih menyukai tokoh yang mampu menyelami hati rakyat dan mau untuk berkomunikasi dengan rakyatnya. Gambaran seperti ini, ternyata mampu diwujudkan oleh Dedi Mulyadi lewat berbagai penampilan, yang dikemas di berbagai media massa.
Ya, itulah Dedi Mulyadi. Sosok pemimpin yang tak pernah meninggalkan purwadaksi. Dengan gaya yang “ngabodor”, Dedi dapat mengajak warga Jawa Barat untuk memberikan simpatinya. Bahkan dalam kasus Vina Cirebon, yang sempat viral di medsos, Dedi Mulyadi ini terkesan berani passng badan untuk mengungkap kebenaran dan keadilan.
Kembali ke judul tulisan diatas, Jangjawokan memiliki berbagai jenis, di antaranya:
– Asihan atau kinasihan: Mantra untuk membuat orang jatuh cinta
– Jampé: Mantra untuk mengobati orang sakit
– Rajah: Mantra untuk meminta perkenan sebelum melakukan sesuatu
– Mantra kedigdayaan: Mantra yang digunakan saat berhadapan dengan musuh
– Mantra pagar diri: Mantra yang digunakan sebagai perisai diri
– Mantra pakasih: Mantra cinta kasih untuk memikat seseorang
Dari berbagai pengalaman yang kita jumpai di lapangan, untuk membuat jangjawokan ampuh dan bertuah, biasanya ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, seperti berpuasa, mengurangi tidur, atau mandi di tujuh lubuk sungai. Lebih jauh lagi, ada orang yang menyatakan jangjawokan juga merupakan salah satu prosesi dalam pernikahan adat Sunda.
Dalam kehidupan masyarakat Sunda, sebetulnya banyak simbol kehidupan yang dirumuskan lewat kata dan kalimat. Saat anak-anak, kita sering mendengar ucapan “jampe-jampe harupat, geura gede geura lumpat”, yang sering diucapkan para orang tua dalam berbagai kesempatan. Jampe jampe harupat, geura gede geura lumpat” adalah ungkapan dalam tradisi lisan orang tua Sunda zaman dahulu yang artinya “Jampe jampe harupat, cepatlah dewasa cepatlah berlari. Jauhkan dari maksiat, agar selamat dunia akhirat”.
Jampe adalah bacaan mantra atau doa yang digunakan untuk mengobati sakit. Tradisi Jampe Harupat merupakan tradisi lisan orang tua Sunda di zaman dahulu kepada anaknya agar tumbuh dengan kondisi sehat dan baik. Jampe atau jangjawokan seperti ini, dalam masyarakat Sunda telah tumbuh dan berkembang menjadi kekayaan budaya bangsa.
Akhirnya, penting untuk disampaikan. Secara hitung cepat. Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan telah diberi kepercayaan, kehormatan dan tanggungjawab oleh warga Jawa Barat untuk memimpinnya dalam 5 tahun ke depan. Sebagai warga Jawa Barat kita optimis, kepemimpinan mereka akan mampu memberi karya terbaik bagi kemajuan Jawa Barat ke depan.
Tinggal sekarang, sampai sejauh apa yang disampaikannya selama kampanye berlangsung, Dedi Mulyadi akan mampu membuktikannya di lapangan. Kita juga yakin, Dedi Mulyadi adalah Gubernur Jawa Barat yang dapat membuat SATU antara tutur kata dan perbuatan. Selamat berjuang Kang Dedi, sangat banyak jangjawokan yang menopangnya.
(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).