16 March 2025 20:28
Opini dan Kolom Menulis

BELEKOK

“BELEKOK”

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Kata “belekok” dalam bahasa Sunda berarti bodoh, sama seperti kata “belegug” atau “goblok”. Kata ini termasuk kata kasar. Contoh penggunaan kata “belekok” dalam kalimat: “Maneh mah da belekok sih”. Artinya “kamu sih dasar bodoh”. “Blekok” juga bisa merujuk pada jenis burung bangau. Dalam konteks yang lebih luas, kata belekok juga dapat digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki perilaku yang tidak jujur atau tidak transparan.

Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, sangat dibutuhkan adanya pemimpin yang cerdas dan selalu mencintai rakyatnya. Begitu pun dengan yang terjadi di Jawa Barat. Masyarakat Sunda, jelas sangat menolak hadirnya pemimpin yang “belegug”. Apalagi, bila selain belegug juga pongah dan petantang-petengteng menampilkan kebodohannya.

Sudah dua puluh tahun bangsa ini memilih pemimpinnya dengan sistem Pemilihan Umum secara langsung, setelah sekitar 32 tahun, kita menerapkan Pemilihan Umum dengan sistem perwakilan. Pemilihan Umum secara langsung, tentu memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan dibanding dengan Pemilihan Umum dengan Sistem Perwakilan.

Masalahnya menjadi semakin kompleks, manakala masyarakat yang jadi pemilihnya memiliki tingkat pemdidikan politik ala kadarnya. Mereka umumnya masih terpesona oleh penampilannya yang modis. Masyarakat, cenderung akan memberi penghormatan lebih tinggi kepada calon pemimpin yang datanf menggunakan Toyota Alphard, ketimbang yang datang menggunakan Angkutan Kota.

Begitulah suasana kehidupan yang kita rasakan sekarang. Masyarakat, lebih terpesona oleh penampilan secara fisik dari pada ketulusan nurani untuk memimpin bangsa. Akibatnya wajar, jika kemudian muncul pemikiran, kalau ingin jadi Gubernur, Bupati dan Walikota, tidak perlu membekali diri dengan pemahaman politik. Yang lebih utama adalah kekuatan “cuan” yang dimiliki.

Fenomena penting dalam Pemilihan Umum secara langsung adalah “saweran”. Seketat apapun aturan yang dibuat, namun politik uang masih saja terjadi. Dengan kepiawaian masing-masing Tim Sukses, saweran tetap berlangsung. Bagi masyarakat sendiri, saweran adalah saat yang dinantikan. Dengan suasana hidup yang memprihatinkan, saweran dianggap sebagai rejeki nomplok untuk menyambung nyawa kehidupan.

Dengan aturan Pemilihan Umum Presiden, Anggota Legislatif dan Kepala Daerah dilaksanakan secara serentak setiap 5 tahunan, praktis “saweran politik” pun akan terjadi selama 5 tahunan. Ini berarti, peluang memperoleh rejeki nomplok pasti akan berkurang. Padahal, sebelum ditetapkannya Pemilihan Umum Serentak, peluang masyarakat mendapat saweran, minimal bisa 3 kali dalam 5 tahunan.

Dalam kehidupan masyarakat Sunda, sosok pemimpin itu mesti “berehan” (dermawan). Itu sebabnya, kalau kita cermati perang tarif dalam saweran diantara calon pemimpin, biasanya, yang paling besar nilainya yang akan dipilihnya. Pertanyaannya adalah apakah sikap berehan itu, betul-betul merupakan pencerminan dirinya, atau hanya sekedar untuk merebut simpati rakyat agar memilihnya ?
Jujur harus kita akui, umumnya di negeri ini, kita cukup kesulitan menemukan politisi yang betul-betul memiliki sikap tulus untuk membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat yang memilihnya. Kalau pun ada istilah Daerah Pemilihan (Dapil), biasanya hanya dijadikan alasan untuk meluncurkan bansos atau hibah, yang ujung-ujungnya menguntungkan dirinya sendiri.

Lebih gawat lagi, jika hal ini kita kaitkan dengan data yang pernah disampaikan Aparat Penegak Hukum (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) beberapa waktu lalu. Dipaparkan secara transparan, puluhan Gubernur dan ratusan Bupati/Walikota yang terjerat kasus hukum seperti korupsi dan grativikasi, sehingga mereka terpaksa harus tinggal di hotel prodeo.

Mencermati gambaran seperti ini, wajar-wajar saja, bila ada orang yang menyatakan sebagian besar politisi bangsa ini, cukup pantas untuk disebut sebagai “politisi belekok”. Dengan ksta lain, politisi belekok adalah sebutan untuk politisi yang memiliki perilaku yang tidak jujur, licik, atau curang dalam menjalankan tugasnya sebagai politisi.

Politisi belekok dapat diartikan sebagai politisi yang pertama, menggunakan cara-cara yang tidak etis untuk mencapai tujuan politiknya. Kedua, berbohong atau menyembunyikan fakta untuk mempengaruhi opini publik. Ketiga, menggunakan kekuasaan atau posisinya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Keempat, tidak transparan dalam pengelolaan keuangan atau sumber daya negara. Dan kelima, menggunakan retorika atau manipulasi untuk mempengaruhi opini publik. Politisi belekok dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi politik dan pemerintahan, serta dapat menyebabkan kerusakan pada sistem demokrasi dan keadilan sosial.

Semoga ke depan, para politisi di negeri ini semakin berkurang politisi belekoknya.
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *