AMBISI MENGGENJOT PRODUKSI PANGAN
AMBISI MENGGENJOT PRODUKSI PANGAN
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatskan produksi beras nasional bulan Januari – Maret 2025 diproyeksikan meningkat 52,32 dibandingkan waktu yang sama tahun lalu. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras periode ini mencapai 8,67 juta ton, sedangkan tahun.lalu dalam periode yang sama hanya 5,69 juta ton.
Di sisi lain, CNBC Indonesia merilis, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI, Yudi Sastro dalam salah satu kesempatan mengungkapkan, sejumlah strategi pemerintah mendorong produksi pangan nasional menuju target swasembada pangan di pemerintahan Prabowo-Gibran, kini tengah disiapkan dan dirumuskan dengan serius.
Salah satu yang dijadikan titik kuat, Kementerian Pertanian, kembali menggerakkan peran Penyuluh Pertanian sebagai ujung tombak membantu petani meningkatkan produksi, sehingga harus memiliki kemampuan yang luas terkait teknologi hingga persoalan sektor pertanian. Ditargetkan setiap 1 desa punya 1 penyuluh pertanian.
Selain itu, Pemerintah juga mempercepat realisasi 3 juta hektar sawah dalam 4 tahun di seluruh Indonesia termasuk Merauke, Papua.
Walaupun pencetakan sawah membutuhkan penanganan serius, terutama pengelolaan sawah yang selesai dicetak, langkah ini dinilai cukup efektip untuk menambah produksi beras menuju swasembada.
Sebetulnya ada persoalan yang mengganjal terkait dengan upaya menggenjot produksi beras secara besar-besaran ini. Apakah langkah seperti ini akan tetap ditempuh, sekiranya Presiden Prabowo beserta Kabinet Merah Putihnya tidak mencanangkan pencapaian swasembada pangan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya ?
Apakah Menteri Koordinator bidang Pangan bersama Menteri/Kepala Lembaga yang terkait dengan urusan pangan akan bekerja “all out”, untuk melahirkan kebijakan strategis yang mampu mempercepat pencapaian swasemvada pangan ? Pertanyaan semacam ini menjadi penting untuk dijawab, di saat kita berusaha mencari terobosan cerdasnya.
Kalau bangsa ini berkehendak untuk mencapai swasembada pangan, maka kata kuncinya terletak pada produksi yang berlimpah. Tanpa terjadi peningkatan produksi yang signifikan, tidak akan ada swasembada pangan. Itu sebabnya, berbagai kebijakan dan strategi yang dipilih Pemerintah, senantiasa diarahkan pada pencapaian maksud diatas.
Di sisi lain, upaya menggenjot produksi menuju swasembada pangan, bukanlah hal mudah untuk diwujudkan. Sungguh banyak rintangan dan hambatan. Salah satunya berhubungan dengan iklim ekstrim dan cuaca yang tidak berpihak ke sektor pertanian. Sebagai contoh, sergapan El Nino, benar-benar membuat produksi beras secara nasional menjado anjlok.
Dihadapkan pada situasi semacam ini, Pemerintah sendiri seperti yang tak berdaya mengtasinya. Gagal panen terjadi di banyak daerah. Akibatnya, tidak mengherankan bila ujung-ujung nya, bangsa kita harus mengalami “darurat beras”. Produksi menurun cukup signifikan. Harga beras di pasar melonjak. Impor beras membengkak dengan angka cukup fantastis.
Turunnya produksi beras secara nasional, dituding sebagai biang kerok terjadinya darurat beras. Berita cukup mengagetkan, setelah kita mambaca catatan Badan Pusat Statistik (BPS), yang menginformasikan produksi beras secara nasional tahun 2024 lalu, ternyata jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan produksi beras tahun 2023.
Lebih memilukan lagi, ketika ada kabat yang menyebut angka impor beras tahun lalu mencapai leboh dari 4 juta ton. Jumlah ini, melebihi 10 % dari produksi yang dohasilkan oleh para petani di dalam ndgeri. Kalau angka impor beras melebihi angka 10 % dari produksi beras dalam negerinya, FAO menyatakan bangsa tersebut sudah tidak berswasembada beras lagi.
Bagi dunia perpadian dan perberasan nasional tahun 2024 betul-betul menjadi tragedi kehidupan yang mengenaskan. Bustanul Arifin menghitung, luas panen turun 3,24 persen, produksi padi (GKG) turun 4,65 persen, produksi beras turun 2,35 persen, dan produktivitas turun 1,45 persen. Anehnya lagi, Pemerintah menyatakan akan menyetop impor beras untuk tahun 2025.
Hebat sekali, bukan ! Di tengah anjloknya produksi beras, Pemerintah malah menyetop impor beras. Pertanyaan kritisnya, dari mana lagi kita akan memperoleh beras, jika produksi beras dalam neger,i tidak mencukupi kebutuhan beras secara nasional ? Boleh jadi, akan lebih baik, jika Pemerintah tidak menyampaikan kabar yang penuh dengan resiko.
Impor beras sendiri, tidak diharamkan untuk ditempuh. Impor beras, sesuai dengan regulasi, telah dijadikan pilihan untuk memperkuat ketersediaan beras nasional, sekiranya produksi beras di dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional dan cadangan beras nasional pun berada dalam kondisi cukup merisaukan.
Kita sendiri, tidak tahu dengan pasti, mengapa Pemerintah tiba-tiba mengumumkan tidak akan impor beras, di saat produksi beras nasional anjlok ? Apakah disebabkan oleh kekuatan cadangan beras nasional yang di penghujung tahun 2024, dikabarkan telah mendekati angka 2 juta ton ? Atau ada maksud lain, yang secara politis, memang sangat dibutuhkan untuk ditempuh ?
Akhirnya penting disampaikan, ambisi menggenjot produksi beras, sudah saatnya dibarengi dengan gerakan nyata dalam pelaksanaannya di lapangan. Berbagai langkah yang ditempuh, perlu terus disempurnakan. Kita percaya, dengan ambisi kuat, segala cita-cita akan tercapai. Semoga demikian !
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).