11 December 2024 21:58
Opini dan Kolom Menulis

“Mengeroyok” Swasembada Pangan

“MENGEROYOK” SWASEMBADA PANGAN

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Istilah swasembada pangan dalam kepemimpinan Presiden Prabowo, terasa lebih menggema ketimbang ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan. Semua petinggi bangsa, sepakat swasembada pangan merupakan program prioriras Pemerintah yang harus dicapai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bahkan Presiden Prabowo berharap tahun 2027, sudah dapat tercapai.

Munculnya respon masyarakat yang optimis dan pesimis terhadap pencapaian swasembada pangan 2027 nanti, wajar terjadi. Inilah resiko dari sebuah negeri yang menganut sistem demokrasi dalam menjalankan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakatnya. Pro kontra terhadap kebijakan merupakan hal biasa. Tidak lagi menjadi luar biasa.

Sebagai bahasa politik, swasembada pangan bukanlah hal yang baru terdengar dalam kehidupan. Puluhan tahun silam, kita sudah sering mendengarnya. Beberapa Presiden yang sempat manggung di negeri ini, tidak ada satu pun yang tidak pernah bicara swasembada pangan. Semua sepakat, swasembada pangan mutlak diwujudkan di Tanah Merdeka.

Namun begitu, sebagai fakta kehidupan, swasembada pangan sangat sulit untuk diraih. Setelah 79 Indonesia merdeka, belum sekalipun bangsa ini meraihnya. Kita benar-benar belum berpengalaman menggapai swasembada pangan. Yang baru kita raih adalah swasembada beras. Itu pun sifatnya “on trend”. Bukan swasemvada beras berkelanjutan.

Pangan bukan hanya beras. Swasembada pangan, jelas beda dengan swasembada beras. Itu sebabnya, menjadi sangat keliru jika ada yang menyimpulkan swasembada pangan identik dengan swasembada beras. Pencapaian swasembada beras, kita pernah memiliki pengalaman, tapi swasembada pangan belum sekalipun kita mencapainya.

Per definisi, swasembada pangan, bukanlah program yang dapat diraih dalam hitungan tahun. Terlebih bila hal ini dikaitkan dengan suasana pangan di negara kita, yang beberapa komoditas pangan strategisnya masih diimpor untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya. Sebut saja beras, jagunf, kedelai, daging sapi, gula pasir, bawang putih dan lainnya, hingga kini masih kita impor.

Oleh karenanya, tentu menjadi lebih masuk akal, jika bahasa yang digunakan menjadi “swasembada pangan, uramanya beras”. Kalimat “utamanya beras”, menunjukan semangat swasembada pangan yang dimaksud dalam 2927 itu, setidaknya untuk komoditas beras. Syukur-syukur bisa ditambah dengan jenis komoditas pangan yang lain.

Kalau pemahaman swasembada pangan merupakan perjumlahan dari swasembada-swasembada bahan pangan yang ada, seperti beras, jagung, kedekai, daging sapi, gula pasir, bawang putih, cabe, ikan, udang, kopi, karet, dan lain sebagainya, tentu dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menggapainya. Tidak mungkin akan dicapai hanya dalam waktu 3 tahun.

Masalahnya menjadi lebih menjelimet bila anggaran Pemerintah untuk mencapainya tidak mendukung. Apa yang disampaikan Menko bidang Pangan Zulkifli Hasan terkait minta tambahan angfaran Rp. 505 Milyar untuk kebutuhan koordinasi dan sinkronisasi pencapaian swasembada pangan, menunjukan belum selesainya penetapan anggaran yang dibutuhkan.

Pentingnya anggaran koordinasi dan sinkronisasi dalam pencapaian swasembada pangan, tentu sama-sama kita pahami. Swasembada pangan merupakan program yang sifatnya multy-sektor dan multy-pihak. Dalam penggarapannya dibutuhkan sinergitas dan kolaborasi antar lembaga, baik Pemerintah atau pun non Pemerintah.

Dalam bahasa lain, bisa juga dikatakan, meraih swasembada pangan, dibutuhkan adanya “pengeroyokan” dari segenap komponen bangsa, khususnya yang memiliki kaitan dengan pembangunan pangan, baik langsung atau tidak. Itu sebabnya, sejak penyusunan rencana pencapaian hingga ke pelaksanaannya, pengeroyokan itu sudah harus digarap agar diperoleh hasil yang optimal.

Kata kunci swasembada pangan, sesungguhnya berada di aspek produksi. Tanpa terjadinya peningkatan produksi yang signifikan, tidak akan pernah terwujud, yang namanya swasembada. Itu sebabnya, peran dan fungsi Kementerian Pertanian menjadi sangat strategis. Kementerian Pertanian harus mampu memposisikan diri sebagai “prime mover” peningkatan produksi pangan.

Langkah Kementerian Pertanian menggenjot peningkatan produksi dan produktivitas melalui penambahan areal tanam dan percepatan masa tanam yang digarap sejak Pemerintahan Jokowi, tentu saja menjadi cikal bakal dari langkah yang diambil oleh Pemerintahan Prabowo. Justru yang perlu dijadikan titik tekan berikutnya adalah sampai sejauh mana sinergitas dan kolaborasi dapat dilakukan.

Selama ini, Kementerian Pertanian sebagai lembaga Pemerintah yang bertanggungjawab di sisi produksi, telah berkomitmen dengan Kementerian BUMN. Kementerian PU, Bulog dan lain-lain untuk membangun sinergi dan kolaborasi dalam rangka mempercepat pencapaian swasembada pangan. Gerak cepat Kementerian Pertanian semacam ini patut diberi acungan jempol.

Ujung-ujungnya, tentu kita berharap agar langkah pengeroyokan Kementerian/Lembaga, Dunia Usaha, Akademisi, Komunitas dan Media terhadap pencapaian swasembada pangan, betul-betul dapat digarap secara piawai dan profesional.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Melodi Malam

Melodi Malam (Tatang Rancabali) Wahai gulita kau kumpulkan kami di wahana citaBias bintang tiada nampakKelip cantikmu menjadi semu Malu oleh

Read More »

“Mengeroyok” Swasembada Pangan

“MENGEROYOK” SWASEMBADA PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Istilah swasembada pangan dalam kepemimpinan Presiden Prabowo, terasa lebih menggema ketimbang ketahanan, kemandirian

Read More »

PERPRES BARU PUPUK BERSUBSIDI

PERPRES BARU PUPUK BERSUBSIDI OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Babak baru penyaluran distribusi pupuk bersubsidi bakal segera dimulai. Pemerintah lagi-lagi melakukan

Read More »

Hasad

TAUSYIAH JELANG SHUBUHSenin, 9 Desember 2024 Bismillahirahmanirahim,Assalamualaikum wr wbrkt…. keluargaku saudaraku dan sahabatku yang dimuliakan oleh Allah Swt, Semangat Subuh

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *