7 October 2024 11:23
Opini dan Kolom Menulis

KISRUH (LAGI !) DATA PANGAN

KISRUH (LAGI !) DATA PANGAN

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Komisi IV DPR terpaksa menunda Rapat Kerjanya dengan Kementerian Pertanian. Alasannya cukup masuk akal. Apa yang akan dibahas dalam Raker tersebut jika orang nomor 1 di Kementerian Pertanian sendiri berhalangan hadir. Belum lagi “pemain penting” yang akan menjadi pembahasan serius dalam Raker tersebut juga tidak hadir. Padahal, Raker kali ini akan mengupas tuntas tentang data produksi beras, yang sampai sekarang sering kontroversial.

Sejak Menteri Pertanian Sjahrul Yasin Limpo diberi kehormatan dan tanggungjawab oleh Presiden Joko Widodo menjabat Menteri Pertanian, program utama dalam 100 hari memulai kerjanya adalah ingin memperbaiki data produksi pangan yang terekam masih amburadul. Menteri Pertanian ingin agar negeri ini memiliki satu data pangan yang akurat dan àkuntabel. Itu sebabnya, wajar jika banyak pihak yang mengapresiasi atas kemauan politik seperti ini.

Namun begitu, setelah sekian lama berlalu, bahkan menjelang Pemerintahan Jokowi selesai, yang namanya data pangan, khususnya terkait dengan produksi padi, masih saja kusruh dan belum memuaskan semua pihak. Kecewanya Ketua Komisi IV atas ketidak-hadiran Dirjen Tanaman Pangan, dapat kita pahami. Lebih lucu lagi, kehadiran Dirjen ke Raker “diwakili” oleh data yang bersumber dari Badan Pusat Statistik itu sendiri.

Soal Satu Data ini, kini kembali muncul menjadi perbincangan yang menghangatkan. Presiden Jokowi sendiri menganggap masalah Satu Data Indonesia merupakan hal yang perlu segera diwujudkan. Data adalah hal yang cukup penting dalam perumusan sebuah perencanaan. Tanpa adanya data yang akurat, dijamin halal perencanaan yang disusun bakal amburadul.

Data yang berbeda, akan menghasilkan kesimpulan yang berlainan. Pengalaman menunjukan, jangankan data itu berbeda, data yang sama pun bisa jadi bakal menimbulkan tafsir yang berlainan. Itulah yang baru saja dialami oleh bangsa kita. Polemik data cadangan beras Pemerintah yang berujung dengan dibukanya lagi kran impor beras, menggambarkan antar Kementerian/Lembaga negara, berbeda tafsir terhadap data yang ada.

Kok bisa ? Bukankah data dasar yang dipakai sama-sama data Badan Pusat Statistik (BPS) ? Mengapa kesimpulan Kementerian Pertanian seolah-olah berlainan dengan Perum Bulog ? Ada apa sebetulnya dengan data yang kita miliki ? Apakah gambaran ini menunjukan betapa sulitnya kita menafsirkan suatu data ? Atau memang, kita belum mampu membaca data dengan benar dan akurat ?

Menyikapi fenomena seperti ini, setidaknya ada dua hal yang dapat dianalisis dengan seksama. Pertama, berkaitan dengan kualitas data yang ada, sehingga membuat tafsir berbeda dari yanf menggunakan data tersebut, dan kedua berhubungan dengan kemampuan para pengguna data dalam menyimpulkan apa yang dianalisisnya. Ke dua hal ini saling berkaitan, sehingga dibutuhkan harmonisasi diantara keduanya.

Kualitas data yang ada, memperlihatlan sampai sejauh mana penyedia data dapat menyuguhkan data yang dimilikinya kepada pengguna data untuk dapat dipahami secara mudah. Sedangkan kemampuan pengguna data untuk membaca data secara benar, sangat ditentukan oleh keakraban fan inter-aksi diri ya dengan data yang tersedia.

Di negara kita, satu-satunya lembaga data yang diakui Undang Undang hanyalah Badan Pusat Statistik (BPS). Lembaga data inilah yang ditugaskan oleh negara untuk mengumpulkan data di berbagai sektor kehidupan dengan menggunakan pendekatan tertentu, baik melalui Sensus atau Survey. Di luar BPS tidak ada lembaga data lain yang keberadaannya diakui oleh Undang Undang.

Atas hal yang demikian, dapat ditegaskan BPS merupakan satu-satunya lembaga data di negeri ini yang bertanggungjawab terhadap ketersediaan data yang ada. Dengan posisinya yang demikian, BPS perlu kreatif dan inovatif dalam menyispkan data untuk selanjutnya dijadilan konsumsi publik. Hanya data yang berkualitas, yang akan memberi rumusan terbaik dalam sebuah perencanaan pembangunan.

Lebih dari itu, banyak pihak yang berharap agar BPS bukan hanya mengumpulkan dan menyusun data sehingga tercetak rapih dalam sebuah buku, tapi yang lebih diutamakan adalah sampai sejauh mana data tersebut mampu menjelaskan apa yang menjadi soal utama dalam melakoni pembangunan itu sendiri. Data harus punya “ruh”, sehingga dapat bicara banyak atas sebuah masalah yang tengah kita hadapi.

Polemik soal cadangan beras Pemerintah yang semakin merisaukan, sempat menghebohkan dunia perberasan di Tanah Merdeka, mestinya tidak perlu terjadi, sekiranya data perberasan yang kita miliki mampu berperan sebagai “pengingat” yang perlu dicermati dengan seksama. Sayang, data perberasan kita masih terbatas pada angka, yang belum mampu bercerita banyak tentang seluk beluk perberasan di tanah air.

Yang membuat banyak pihak mengerutkan dahi, mengapa antar Kementerian dan Lembaga Pemerintah sampai berbeda tafsir terhadap basis data yang sama, yaitu data dari BPS ? Di satu sisi ada yang menyatakan produksi beras kita melimpah ruah, sehingga untuk mengisi cadangan beras Pemerintah yang menipis dapat diperoleh dari hasil produksi petani dalam negeri, namun di sisi lain, ada juga yang berpendapat kita sesegera mungkin harus menempuh impor beras, supaya cadangan beras Pemerintah tetap terjaga dan terpelihara dengan baik.

Dihadapkan pada kondisi yang demikian, tindakan cepat Pemerintah untuk menempuh impor beras, kelihatannya patut diberi acungan jempol. Langkah cepat Pemerintah seperti ini menunjukan keseriusannya dalam menjawab problem yang melibatkan nasib dan kehidupan bangsa. Kita tidak boleh main-main dengan urusan beras, karena bagi bangsa ini, beras merupakan kebutuhan vital yang harus tersedia setiap waktu.

Bayangkan, jika tiba-tiba terjadi krisis pangan global yang menyergap kehidupan kita sehari-hari, dari mana kita akan mencukupi kebutuhan rakyat jika cadangan beras Pemerintah sendiri tidak tersedia secara signifikan ? Atau, bisa saja terjadi bencana alam yang maha dahsyat, sehingga masyarakat memerlukan bantuan pangan yang cukup besar. Lalu, dari mana lagi kita akan memperoleh beras, sekiranya cadangan beras Pemerintah tidak cukup ?

Boleh jadi, impor beras yang dilakukan Pemerintah tidak akan memuaskan semua pihak. Akan tetapi, bila hal ini dikaitkan dengan semakin menipisnya cadangan beras Pemerintah yang dikelola Perum Bulog, maka impor beras adalah tindakan untuk berjaha-jaga seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Saat ini cadangan eras Pemerintah yang dikelola Perum Bulog tinggal sekutar 230 ribu ton.

Angka ini sangat merisaukan. Padahal, idealnya cadangan beras yang dimiliki Pemerintah, setidaknya berada pada angka 1,2 juta ton. Itu sakah satu alasan menfapa Komisi IV DPR ingin menguoasnya bersama Kementerian Pertanian, khususnya Direktirat Jendral Tanaman Pangan. Masalahnya bisa menjadi lebih serius, manakala kita kaitkan dengan pernyataan Bung Karno Proklamator Bangsa, pangan terkait dengan mati hidupnya suatu bangsa.

Satu data beda tafsir soal produksi padi dan cadangan beras Pemerintah misalnya adalah suatu bukti yang menjelaskan adanya perbedaan penilaian terhadap data yang disajikan. Itu sebabnya, data yang disampaikan kepada publik, sebaiknya yang mudah dipahami dan tidak membingungkan. Kepiawaian BPS sebagai “pengelola” data betul-betul sangat dimintakan.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Untuk Anak-anakku

BERBAGI NASIHAT SHUBUHSenin, 7 Oktober 2024 BismillahirahmanirahimAssallamu’alaikum wrm wbrkt Saudaraku…Ada baiknya tulisan ini dikirim kepada anak2 kita (In-syaa-ALLAH baik untuk

Read More »

“LIANG COCOPET”

“LIANG COCOPET” OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA “Liang Cocopet” adalah ungkapan umum dalam kehidupan masyarakat. Tatar Sunda, yang intinya menggambarkan tempat

Read More »

Tanda Terimanya Sebuah Amal

MUHASABAH AKHIR PEKANMinggu, 6 Oktober 2024 TANDA DITERIMANYA SUATU AMAL BismillahirrahmanirrahiimAssalamu’alaikum wr wbrkt… Saudaraku,Perlulah kita ketahui bahwa tanda diterimanya suatu amalan adalah apabila

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *